Bujang Ganong (Ganongan) atau Patih Pujangga Anom adalah salah satu tokoh yang energik dalam Seni Reyog Ponorogo. Sosok yang kocak sekaligus mempunyai keahlian lebih dalam seni bela diri. Sehingga dalam setiap pertunjukan Reyog Ponorogo,
penampilannya selalu ditungu-tungu oleh penonton khususnya di kalangan
anak-anak. Bujang Ganong menggambarkan sosok seorang patih muda yang
cekatan, berkemauan keras, cerdik, jenaka dan sakti.
Dari salah satu versi cerita, Bujangganong adalah adik seperguruan
dari Klonosewandono yang kemudian mereka berdua bertemu kembali dan
bersatu, mendirikan kerajaan Bantarangin. Klonosewandono sebagai raja
dan Bujangganong sebagai Patihnya. Dalam dramaturgi seni pertunjukkan
reyog, Bujangganong lah yang dipercaya sebagai utusan dan duta Prabu
Klonosewandono untuk melamar Dewi Songgolangit ke Kediri.
Secara fisik Bujang Ganong digambarkan bertubuh kecil, pendek dan
berwajah buruk, berhidung besar, mata bulat besar melotot, bergigi
tonggos dan berambut panjang gimbal . Bujang Ganong dalam seni reyog
obyog masa lalu tak banyak memainkan peran. Bujangganong hanya menjadi
pelengkap dan sebagai sosok jenaka penghibur penonton, untuk mencairkan
suasana. Bertingkah kocak sekehendak hati diikuti gamelan, menggoda
barongan reyog, menggoda jathil dan juga berinteraksi menggoda penonton.
Belum banyak tarian dan akrobatik-akrobatik Bujang Ganong yang
ditampilkan waktu itu.
Baru kemudian mulai tahun 1980-an tarian Bujang Ganong dikembangkan
dan ditambahkan akrobatik-akrobatik, hingga sampai ke panggung festival
dan akhirnya kita mengenal tari Bujangganong seperti sekarang ini.
Tokoh-tokoh penari Bujangganong waktu itu yang terkenal seperti : Pak
Lekik, Pak Slamet dan Wisnu HP dari generasi mudanya.
Dari versi cerita yang lain, Bujang Ganong dipercaya adalah karakter
yang mewakili Demang Ki Ageng Kutu Suryongalam–salah satu tokoh sakti
sekaligus cendikia Majapahit–yang menggunakan seni pertunjukkan reyog
sebagai media kritik terhadap raja Majapahit waktu itu, Brawijaya V Bre
Kertabumi. Gaya pemerintahan Bre Kertabumi yang seolah didikte oleh
permaisurinya, digambarkan dengan seekor burung merak yang bertengger di
kepala harimau. Ki Ageng Kutu dalam kritiknya–melalui seni pertunjukkan
reyog–membangun karakter Bujangganong dengan segala sifat-sifat
keperwiraan yang mengabdi demi tanah air. Melalui seni pertunjukkan
Reyog dan tokoh Bujangganong dengan segala kualitas yang dimilikinya, Ki
Ageng Kutu mencoba menyampaikan kebenaran dengan kesederhanaannya
sekaligus teladan dengan gerak dan rasa yang konkrit.
Hingga kemudian, Bujang Ganong bukan hanya sekedar sebuah tontonan
yang atraktif tapi keteladanannya mengandung tuntunan yang luhur, bahwa
kualitas seseorang tidak bisa di ukur dari penampilan fisik semata.
Kualitas karakter ini yang membuat Bujangganong memegang peranan penting
dan menjadi tokoh sentral dalam dramaturgi seni pertunjukkan Reyog Ponorogo.
Bujang Ganong dengan segala peran dan kualitasnya menawarkan sebuah
alternatif perenungan spiritual yang lembut namun dalam. Keteladanan
yang pantas diapresiasi, dilestarikan dan di jiwai. Sebuah kearifan
budaya lokal yang mencoba bertutur tentang filosofi dan makna kesejatian
hidup. Bujang Ganong telah tampil ke depan melompat jauh ke masa depan
melebihi jamannya. Ditengah hiruk pikuk cerita fiksi tokoh dan karakter
kepahlawanan asing, Bujangganong mencoba menerobos ke pusat jantung
modernitas yang cenderung absurd.
Sejarah
Dalam pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal sebagai "Singa barong", raja hutan, yang menjadi simbol untuk Kertabhumi, dan diatasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya yang mengatur dari atas segala gerak-geriknya. Jatilan, yang diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggangi kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan kontras dengan kekuatan warok, yang berada dibalik topeng badut merah yang menjadi simbol untuk Ki Ageng Kutu, sendirian dan menopang berat topeng singabarong yang mencapai lebih dari 50 kg hanya dengan menggunakan giginya [2]. Kepopuleran Reog Ki Ageng Kutu akhirnya menyebabkan Bhre Kertabhumi mengambil tindakan dan menyerang perguruannya, pemberontakan oleh warok dengan cepat diatasi, dan perguruan dilarang untuk melanjutkan pengajaran akan warok. Namun murid-murid Ki Ageng kutu tetap melanjutkannya secara diam-diam. Walaupun begitu, kesenian Reognya sendiri masih diperbolehkan untuk dipentaskan karena sudah menjadi pertunjukan populer di antara masyarakat, namun jalan ceritanya memiliki alur baru di mana ditambahkan karakter-karakter dari cerita rakyat Ponorogo yaitu Kelono Sewandono, Dewi Songgolangit, dan Sri Genthayu.
Versi resmi alur cerita Reog Ponorogo kini adalah cerita tentang Raja Ponorogo yang berniat melamar putri Kediri, Dewi Ragil Kuning, namun di tengah perjalanan ia dicegat oleh Raja Singabarong dari Kediri. Pasukan Raja Singabarong terdiri dari merak dan singa, sedangkan dari pihak Kerajaan Ponorogo Raja Kelono dan Wakilnya Bujang Anom, dikawal oleh warok (pria berpakaian hitam-hitam dalam tariannya), dan warok ini memiliki ilmu hitam mematikan. Seluruh tariannya merupakan tarian perang antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Ponorogo, dan mengadu ilmu hitam antara keduanya, para penari dalam keadaan "kerasukan" saat mementaskan tariannya.[3]
Hingga kini masyarakat Ponorogo hanya mengikuti apa yang menjadi warisan leluhur mereka sebagai warisan budaya yang sangat kaya. Dalam pengalamannya Seni Reog merupakan cipta kreasi manusia yang terbentuk adanya aliran kepercayaan yang ada secara turun temurun dan terjaga. Upacaranya pun menggunakan syarat-syarat yang tidak mudah bagi orang awam untuk memenuhinya tanpa adanya garis keturunan yang jelas. mereka menganut garis keturunan Parental dan hukum adat yang masih berlaku.
Pementasan Seni Reog
Tarian pembukaan lainnya jika ada biasanya berupa tarian oleh anak kecil yang membawakan adegan lucu yang disebut Bujang Ganong atau Ganongan.
Setelah tarian pembukaan selesai, baru ditampilkan adegan inti yang isinya bergantung kondisi dimana seni reog ditampilkan. Jika berhubungan dengan pernikahan maka yang ditampilkan adalah adegan percintaan. Untuk hajatan khitanan atau sunatan, biasanya cerita pendekar,
Adegan dalam seni reog biasanya tidak mengikuti skenario yang tersusun rapi. Disini selalu ada interaksi antara pemain dan dalang (biasanya pemimpin rombongan) dan kadang-kadang dengan penonton. Terkadang seorang pemain yang sedang pentas dapat digantikan oleh pemain lain bila pemain tersebut kelelahan. Yang lebih dipentingkan dalam pementasan seni reog adalah memberikan kepuasan kepada penontonnya.
Adegan terakhir adalah singa barong, dimana pelaku memakai topeng berbentuk kepala singa dengan mahkota yang terbuat dari bulu burung merak. Berat topeng ini bisa mencapai 50-60 kg. Topeng yang berat ini dibawa oleh penarinya dengan gigi. Kemampuan untuk membawakan topeng ini selain diperoleh dengan latihan yang berat, juga dipercaya diproleh dengan latihan spiritual seperti puasa dan tapa.
Tokoh-tokoh dalam seni Reog
Jathil
Jathilan ini pada mulanya ditarikan oleh laki-laki yang halus, berparas ganteng atau mirip dengan wanita yang cantik. Gerak tarinya pun lebih cenderung feminin. Sejak tahun 1980-an ketika tim kesenian Reog Ponorogo hendak dikirim ke Jakarta untuk pembukaan PRJ (Pekan Raya Jakarta), penari jathilan diganti oleh para penari putri dengan alasan lebih feminin. Ciri-ciri kesan gerak tari Jathilan pada kesenian Reog Ponorogo lebih cenderung pada halus, lincah, genit. Hal ini didukung oleh pola ritmis gerak tari yang silih berganti antara irama mlaku (lugu) dan irama ngracik.[5]
Warok
Warok merupakan karakter/ciri khas dan jiwa masyarakat Ponorogo yang telah mendarah daging sejak dahulu yang diwariskan oleh nenek moyang kepada generasi penerus. Warok merupakan bagian peraga dari kesenian Reog yang tidak terpisahkan dengan peraga yang lain dalam unit kesenian Reog Ponorogo. Warok adalah seorang yang betul-betul menguasai ilmu baik lahir maupun batin.[4]
0 komentar:
Post a Comment