KONSEP HUKUM MENURUT HANS KELSEN, JOHN AUSTIN, H. L.A HART
1. Konsep Hukum Hans Kelsen
Teorinya yang “murni” (the pure theory of law) bebas dari elemen-elemen asing pada kedua jenis teori tradisional, teori tersebut tidak tergantung pada pertimbangan-pertimbangan moralitas dan fakta-fakta aktual.
Menurut kelsen, filosofi hukum yang ada pada waktu itu dikatakan telah terkontaminasi oleh ideologi politik dan moralitas disatu sisi, dan telah mengalami reduksi karena ilmu pengetahuan disisi yang lain.[1]
Sedangkan hukum itu sendiri harus murni dari elemen-elemen asing yang tidak yuridis. Inilah prinsip metodologis dasarnya dari konsep Hans kelsen tentang konsep hukum murninya.
Hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir[2] yang nonyuridis, seperti unsur sosiologis, politis, historis, bahkan etis.[3] Kelsen memahami pure theory of law-nya sebagai teori kognisi[4] hukum, teori pengetahuan hukum. Ia berulang-ulang kali menulis bahwa satu-satunya tujuan pure theory of law adalah kognisi atau pengetahuan tentang objeknya. Tepatnya ditetapkan sebagai hukum itu sendiri.[5]
Sebagai sebuah teori, ia terutama dimaksudkan untuk mengetahui dan menjelaskan tujuannya. Teori ini berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan, apa itu hukum dan bagaimana ia ada, bukan bagaimana ia semestinya ada. Ia merupaka ilmu hukum (yurisprudensi), bukan politik hukum.[6]
Pure Theory of law adalah teori hukum positif, hanya teori hukum positif, dan bukan teori tentang sistem hukum tertentu. Pure Theory of Law adalah teori hukum umum, bukan penafsiran norma-norma hukum Negara tertentu atau hukum internasional.[7] Namun dia menyajikan teori penafsiran[8].[9] Positivisme hukum[10] lahir karena tekanan yang kuat pada fakta sebagai satu-satunya basis pembenaran atau pertanggungjawaban. Dengan inspirasi dari empirisme filosofis, para pemikir hukum abad ke-19 berusaha menjadikan hukum menjadi produk ilmiah. Itu berarti, hukum dapat diterima apabila ilmiah. Hukum adalah karya ilmiyah. Untuk itu hukum harus mendapatkan pembenarannya dan didukung sepenuhnya oleh fakta empiris.[11]
Bagi kelsen, hukum berurusan dengan bentuk (forma), bukan isi (material). Jadi, keadilan sebagai isi hukum berada diluar hukum. Suatu hukum dengan demikian dapat saja tidak adil, tetapi ia tetaplah hukum karena dikeluarkan oleh penguasa.[12]
2. Konsep Hukum John Austin
Ada dua konsep hukum dari john austin yang kami dapatkan dari berbagai buku, yaitu:
a. Konsep hukum bahwa hukum memiliki dua dimensi hukum
b. Konsep hukum bahwa hukum adalah sebagai komando (law is command of sovereign)
Dari dua konsep hukum yang dia jelaskan konsep hukum bahwa hukum adalah komando lebih banyak diperbincangkan dalam pembahasan-pembahasan pada referens.
John Austin, ahli filsafat hukum inggris, secara umum diakui sebagai ahli hukum pertama yang memperkenalkan positivisme hukum sebagai sistem. Pemikiran pokoknya tentang hukum dituangkan dalam karyanya yang berjudul the province of jurisprudence determind (1832).[13]
a. Dua Dimensi dari hukum
Menurut John Austin, filsafat hukum memiliki dua tugas penting. Kegagalan membedakan keduanya, demikian keyakinan Austin sebagaimana dikutip oleh Murphy dan Coleman, akan menimbulkan kekaburan baik intelek maupun moral. Kedua tugas ini berkaitan dengan dua dimensi dalam hukum, yakni yurisprudensi analisis dan yurisprudensi normatif (Murphy &Coleman, 1990: 19-21; Ronald Dworkin, 1977:18-19).[14]
1. Yurisprudensi analisis
Berkaitan dengan dimensi yang pertama, tugas filsuf hukum adalah melakukan analisis tentang konsep dasar dalam hukum dan struktur hukum sebagaimana adanya. Pertanyaan tentang apa itu hukum, tanggung jawab hukum, hak dan kewajiban hukum, misalnya, adalah contoh pertanyaan-pertanyaan khas yang diajukan filsuf atau pemikir hukum sebagai titik tolak dalam menganalisis dan mencoba memahami konsep dasar tersebut.[15]
2. Yurisprudensi normatif
Dalam buku yang sama dengan yang membahas yurisprudensi analisis dijelaskan bahwa yurisprudensi normatif berusaha mengevaluasi atau mengkritik hukum dengan berangkat dari konsep hukum sebagaimana seharusnya. Pertanyaan-pertanyaan pokok uang diajukan antara lain mengapa hukum disebut hukum, mengapa kita wajib manaati hukum, manakah batas validitas hukum, dan sebagainya. Dengan demikian, dimensi yang kedua ini berurusan dengan dimensi ideal dari hukum.[16]
b. Hukum sebagai komando
Menurut John Austin dalam bukunya the province of jurisprudence determind, hukum harus dipahami sebagai komando, karena semua hukum tidak lain merupakan kumpulan perintah yang bersifat komando ( laws are commands). Hukum selalu berwatak komando.[17] Dengan melihat pernyataan itu kita bisa menarik garis besar dari konsep itu bahwa kata kunci yurisprudensinya adalah komando. Menurutnya hukum yang berlaku dimasyarakat adalah komando umum dari entitas politik yang memiliki kedaulatan, the supreme political authority atau pemilik otoritas polotik yang paling tinggi (sovereign dalam pandangan Austin).[18] Dalam pendapatnya, Austin memberikan Syarat sovereign agar bisa memegang otoritas tertinggi, yaitu:
1. Pemegang otoritas haruslah seseorang atau sekelompok orang yang dipatuhi oleh segenap warganya tanpa terkecuali.
2. Pemegang otoritas ini tidak patuh kepada siapapun (kekebalan hukum)
Dari syarat yang disebutkan di atas menjelaskan bahwa pemegang otoritas tertinggi adalah seorang atau sekelompok yang menguasai secara mutlak, tidak berada dibawah penguasa lain.
Menurut Austin hukum adalah sejumlah perintah yang keluar dari seorang yang berkuasa dalam negara secara memaksakan, dan yang biasanya ditaati.[19] Dari pernyataan tersebut ada pendapat yang mengatakan tentang latar belakang konsepnya dipengaruhi hukum yang dilakukan oleh kaisar Justiniaus I. Seorang kaisar yang memerintah Romawi pada tahun 527-565 M. Dia terkenak karena mampu mensistematiskan hukum romawi kedalam dua tahap, yaitu: tahap Codex Iustinianum I (528 M) dan Codex Iustinianum II (534 M). Codex iustinianum ini menjadi cikal bakal dari berbagai kitab hukum. Berhubungan dengan konsep hukum, kaisar ini terkenal dengan ungkapannya,: “apa yang menyenangkan pangeran memiliki kekuatan hukum”.[20] Dari ungkapan tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum merupakan apa saja yang dikehendaki penguasa, dari gambaran singkat ini terlihat kesamaan arti kehendak penguasa dan arti dari komando.
3. Konsep Hukum Menurut H.L.A Hart
Konsep hukum hart yang dituangkan pada bukunya the concept of law, menjelaskan bahwa pertama-tama hukum harus dipahami sebagai sistem peraturan. Dengan pendapatnya bahwa hukum ternyata adalah suatu sistem peraturan maka bisa di simpulkan ada sedikit kesamaan antara konsep hukun Hohn Austin, yaitu teori hukum murni yang memurnikan hukum dari anasir-anasir asing dengan konsep hukum H.L.A Hart tentang hukum harus dipahami sebagai sistem peraturan.
Melihat dari pernyataan Hart bahwa pertama-tama hukum harus dipahami sebagai suatu sistem peraturan, ia membagi dua dalam konsep hukumnya tentang peraturan itu, yaitu:
a. Peraturan Primer
peraturan primer terdiri dari standar-standar bagi tingkah laku yang membebankan berbagai kewajiban. Peraturan-peraturan primer menentukan kelakuan-kelakuan subjek-subjek hukum, dengan menyatakan apa yang harus dilakukan, apa yang dilarang.[21] Aturan yang masuk dalam jenis ini muncul sebagai akibat dari kebutuhan masyarakat itu sendiri. Adapun kekuatan mengikat dari berbagai aturan jenis ini didasarkan dari penerimaan masyarakat secara mayoritas.
Komunitas prahukum hidup berdasarkan kebiasaan yang lazim ditemukan dalam masing-masing komunitas masyarakat. Struktur sosial yang mengatur perilaku masyarakat prahukum inilah yAng oleh Hart disebutnya sebagai “peraturan primer” atau tepatnya “peraturan kewajiban primer”. Peraturan primer ini kurang lebih sama dengan sopan santun atau etiket. Hart menyebutnya demikian kerena peraturan ini berfungsi sebagai prinsip pokok yang menjadi panduan perilaku manusia[22]. Lebih lanjut Hart menjelaskan bahwa peraturan primer tersebut hanya bisa efektif mengatur tata tertib sosial apabila
1. membuat pembatasan terhadap kekerasan, pencurian, dan penipuan.
2. Mendapat dukungan mayorita.
3. Masyarakat relatif memiliki keterikatan primodial ((misalnya ikatan darah, perasaan, dan keyakinan
Akan tetapi, walaupun meskipun peratutan primer telah memenuhi syarat-syarat tersebut, peraturan primer belum tentu berlaku efektif seperti halnya hukum. Alasannya, peraturan primer bukanlah sistem hukum, melainkan sejumlah standar umum yang terpisah satu sama lain. Meskipun berfungsi sebagai struktur sosial, peraturan primer memiliki beberapa kelemahan mendasar.
1. Dalam peraturan primer tidak ada lembaga atau otoritas resmi yang berfungsi melakukan penilaian dan penyelesaian konflik. Akibatnya terjadi ketidak pastian dalam pekaksanaan peraturan primer.
2. Peraturan primer bersifat statis. Bila terjadi perubahan, maka perubahan itu berjalan begitu lamban sehingga tidak cukup responsif terhadap perkembangan masyarakat. Karena dalam skemanya, masih dibutuhkan proses dimana peraturan itu harus menjadi kebiasaan terlebih dahulu sebelum diterima dan diakui sebagai kewajiban yang harus dpenuhi. Bahkan kadangkala peraturan primer ini bersifat statis dalam arti radikal dan sulit sekali untuk dirubah.
3. Inefisiensi dalam penegakan peraturan primer. Dapat saja terjadi perdebatan berkepanjangan apakah terjadi pelanggaran atua tidak terhadap peraturan tertentu tanpa adanya penyelesaian yang jelas karena peraturan primer tidak memiliki otoritas penentu terakhir.[23]
b. Peraturan Sekunder
Aturan-aturan sekunder adalah sekelompok aturan yang memberikan kekuasaan untuk mengatur penerapan aturan-aturan hukum yang tergolong kedalam kelompok yang sebelumnya atau aturan-aturan primer. Aturan-aturan yang dapat digolongkan kedalam kelompok ini adalah aturan yang memuat prosedur bagi pengadopsian dan penerapan hukum primer. Berisi pemastian syarat-syarat bagi pelakunya kaidah-kaidah primer dan dengan demikian menampakkan sifat yuridis kaidah kaidah-kaidah itu.[24]
Berdasarkan kelemehan-kelemaha peraturan primer, menurut Hart, jalan keluarnya untuk mengatasi permasalahan itu adalah harus ada peraturan sekunder. Dengan begitu peraturan sekunder berfungsi untuk mengatur lebih lanjut peraturan prmer. Paraturan sekunder berisi penjelasan cara dimana peraturan primer secara pasti ditegaskan, diperkenalkan, dibuang, dan fakta pelanggarannya juga ditentukan secara pasti.[25]
Peraturan sekunder dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu:
1. Peraturan pengakuan
Peraturan pengakuan adalah peraturan yang berfungsi mengatasi problem ketidak pastian peraturan primer
2. Peraturan perubahan
Peraturan perubahan adalah peraturan yang vberfungsi untuk mengatasi masalah berkaitan dengan siat status peraturan primer
3. Peraturan penilaian dan penyelesaian konflik
Peraturan ini menetapkan mekanisme untuk mengatasi problem inefiensi dalam peraturan primer.[26]
[1] MKN-UNSRI: Teori Hukum Murni (The Pure Theory Of Law), http://mkn-unsri.blogspot.com/2010/03/teori-hukum-murni-pure-theory-of-law.html, diakses tanggal 21 november 2011
[2] Anasir adalah element, unsur, faktor, dasar.
[3] Prof. Darji Darmodiharjo, S.H. dan DR. Shidarta, S.H., M.Hum., Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008, hal 115.
[4] Kognisi adalah kepercayaan seseorang tentang sesuatu yang didapatkan dari proses berpikir tentang seseorang atau sesuatu. Proses yang dilakukan adalah memperoleh pengetahuan dan memanipulasi pengetahuan melalui aktivitas mengingat, menganalisis, memahami, menilai, menalar, membayangkan dan berbahasa. Kapasitas atau kemampuan kognisi biasa diartikan sebagai kecerdasan atau inteligensi.(wikipedia).
[5] Hans Kelsen, Pengantar Teori Hukum, penerjemah: Siwi Purwadi, Bandung: Nusa Media, 2009, hal 3.
[6] Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, penerjemah: Raisul Muttaqin, Bandung: Nusa Media, 2009, hal 1.
[7] Hans Kelsen, Pengantar Teori Hukum, penerjemah: Siwi Purwadi, Bandung: Nusa Media, 2009, hal 37.
[8] Penafsiran: otentik, gramatikal, teologis
[9] Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, penerjemah: Raisul Muttaqin, Bandung: Nusa Media, 2009, hal 1.
[10] Positivisme Hukum dapat juga dirumuskan sebagai sebuah teori yang menyatakan bahwa hukum hanya akan valid jika berbentuk norma-norma yang dapat dipaksakan berlakunya dan ditetapkan oleh sebuah “instrumen” di dalam sebuah negara. (E. Sumaryono, Etika Hukum, yogyakarta: Kanisius,2002, hal 183)
[11] Andre Ata Ujan, Filsafat Hukum, Yogyakarta: Kanisius, 2009, Hal 66.
[12] Prof. Darji Darmodiharjo, S.H. dan DR. Shidarta, S.H., M.Hum., Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008, hal 115.
[13] Andre Ata Ujan, Filsafat Hukum, Yogyakarta: Kanisius, 2009, hal 68.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Andre Ata Ujan, Filsafat Hukum, Yogyakarta: Kanisius, 2009, hal 68.
[18] Steve Hyasantrix, Hukum dalam perspektif Austin dan Hart, hukum.kompasiana.com/2011/02/23/hukum-dalam-perspektif-austin-dan-hart/, diakses pada tanggal 19 november.
[19] Theo huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius, 1982, hal 187.
[20] Steve Hyasantrix, Hukum dalam perspektif Austin dan Hart, hukum.kompasiana.com/2011/02/23/hukum-dalam-perspektif-austin-dan-hart/, diakses pada tanggal 19 november.
[21] Theo huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius, 1982, hal 187.
[22] Steve Hyasantrix, Hukum dalam perspektif Austin dan Hart, hukum.kompasiana.com/2011/02/23/hukum-dalam-perspektif-austin-dan-hart/, diakses pada tanggal 19 november.
[23] Steve Hyasantrix, Hukum dalam perspektif Austin dan Hart, hukum.kompasiana.com/2011/02/23/hukum-dalam-perspektif-austin-dan-hart/, diakses pada tanggal 19 november.
[24]Theo huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius, 1982, hal 187..
[25] Steve Hyasantrix, Hukum dalam perspektif Austin dan Hart, hukum.kompasiana.com/2011/02/23/hukum-dalam-perspektif-austin-dan-hart/, diakses pada tanggal 19 november.
[26] Ibid.
0 komentar:
Post a Comment