Hubungan Hukum
Hubungan hukum ialah hubungan antara dua atau lebih subyek hukum. Dalam hubungan hukum ini hak dan kewajiban pihak yang satu berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak lain[1]
Kita semua mengetahui bahwa hukum itu mengatur hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain, antara orang dengan masyarakat, antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Jadi dalam semua hubungan di dalam masyarakat di atur oleh hukum.
Barang siapa yang mengganggu atau tidak mengindahkan hubungan ini, maka ia dapat dipaksa oleh hukum untuk menghormatinya.
Misalnya :
A menjual rumah pada B. Perjanjian ini menimbulkan hubungan antara A dan B yang diatur oleh hukum. A wajib menyerahkan rumah kepada B. Sebaliknya B wajib membayar harga rumah kepada A dan berhak meminta runah kepada A. Apabila salah satu pihak tidak mengindahkan kewajibanya maka hakim akan menjatuhkan sanksi hukum. Hubungan A dan B yang diatur oleh hukum ini diberi nama “hubungan hukum atau rechtsbetrekking”.
Jadi setiap hubungan hukum memiliki dua segi: segi beveogdheid (kekuasaan/kewenangan atau hak) dengan lawannya “plicht” atau kewajiban. Kewenangan yang diberikan oleh hukum kepada subyek hukum (orang atau badan hukum) dinamakan “hak”.
Dengan demikian, hukum sebagai himpunan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan sosial memberikan suatu hak kepada subyek hukum untuk berbuat sesuatu atau menurut sesuatu yang diwajibkan oleh hak itu, dan terlaksanakannya kewenangan/hak dan kewajiban tersebut dijamin oleh hukum.
B. Segi Hubungan Hukum
Tiap hubungan hukum memiliki dua segi, yaitu :
1. Beveogdheid atau kewenangan, yang disebut hak, dan
2. Plicht atau kewajiban, adalah segi pasif dari hubungan hukum
Hak dan kewajiban ini kedua-duanya timbul dari suatu peristiwa hukum (misalnya jual beli) dari suatu pasal hukum obyektif (pasal 1474 KUH Perdata). Pun lenyapnya hak dan kewajiban juga bersamaan.
C. Unsur-Unsur Hubungan Hukum
Hubungan hukum memiliki tiga unsur sebagai berikut, yaitu :
1. Adanya orang-orang yang hak/kewajibannya saling berhadapan.
Contoh :
A menjual rumahnya kepada B
A wajib menyerahkan rumahnya kepada B
A berhak meminta pembayaran kepada B
B wajib membayar kepada A
B berhak meminta rumah A setelah dibayar
2. Adanya obyek yang berlaku berdasarkan hak dan kewajiban tersebut di atas (dalam contoh diatas obyeknya adalah rumah).
3. Adanya hubungan antara pemilik hak dan pengemban kewajiban atau adanya hubungan atas obyek yang bersangkutan
Contoh :
- A dan B mengadakan hubungan sewa menyewa rumah
- A dan B sebagai pemegang hak dan pengemban kewajiban
- Rumah adalah obyek yang bersangkutan.
D. Syarat- Syarat Hubungan Hukum
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hubungan hukum itu baru ada apabila telah dipenuhinya sebagai syarat :
1. Adanya dasar hukum, ialah peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum itu, dan .
2. Timbulnya peristiwa hukum
Contoh :
A - B mengadakan perjanjian jual beli rumah.
- Dasar hukumnya pasal 1474 dan pasal 1513 KUH Perdata yang masing-masing menetapkan bahwa si penjual mempunyai kewajiban menyerahkan barang (pasal 1714 KUH Perdata) dan sebaliknya pembeli berkewajiban membayar harga pembelian (pasal 1513 KUH Perdata).
- Karena adanya perjanjian jual beli maka timbul peristiwa hukum (jual-beli), ialah suatu perbuatan hukum yang akibatnya diatur oleh hukum.
E. Macam/Jenis Hubungan Hukum
Secara umum hubungan hukum terbagi menjadi tiga macam, yaitu :
1. Hubungan hukum bersegi satu
2. Hubungan hukum bersegi dua
3. Hubungan antara “satu” subyek hukum dengan “semua” subyek hukum lainnya.
Hubungan ini terdapat dalam hal “eigendomsrecht” (hak milik).
Contoh :
Menurut pasal 570 KUH Perdata, yang menjadi pemilik tanah berhak/berwenang memungut segala kenikmatan (genot) dari tanah itu, asal saja pemungutan kenikmatan itu tidak dilakukan secara bertentangan dengan peraturan hukum atau kepentingan umum. Pemilik pula berhak memindah tangankan atau vervreemden (menjual, memberikan, menukar, mewariskan) secara legal.
Sebaliknya “semua” subyek hukum lainnyaberkewajiban mengakui bahwa yang mempunyai tanah adalah pemiliknya dan berhak memunggut segala kenimatan dari tanah itu.
2. Hak Dan Kewajiban
Sudah lazim bila kita melawankan konsep “kewajiban” dengan hak, dan memberikan prioritas kepada hak. Dalam kita berbicara tentang “hak dan kewajiban”, dan bukan “kewajiban dan hak”, seperti halnya dalam lingkup moral, dimana penekanan yang lebih besar diberikan pada kewajiban; kita berbicara tentang hak sebagai yang berbeda dari hukum. Namun hak adalah hukum – hukum dalam arti kata hukum subyektif yang berlawanan dengan hukum dalam pengertian obyektif, yaitu suatu tatanan hukum atau norma. Dalam menjelaskan hukum, hak diposisikan, dibagian yang sedemikian dominan sehingga kewajiban nyaris tidak kelihatan; dalam bahasa hukum Jerman dan Prancis, kata yang sama, yakni richt dan droit, digunakan untk menyebut “hak” dan juga “hukum”, sebagai system norma yang membentuk tatanan hukum[2].
A. Pengertian Hak
Pada abad ke-19 di Jerman dikemukakan 2 teori tentang hak, yaitu :
1. Teori yang menganggap hak sebagai kepentingan yang terlindung (Belangen theorie dari Rodlof Ven Jhering). Teori ini merumuskan bahwa hak itu merupakan sesuatu yang penting bagi yang bersangkutan, yang dilindungi oleh hukum. Teori ini mudah sekali mengacaukan antara hak dengan kepentingan. Memang hak bertugas melindungi kepentingan yang berhak.
Contoh :
Pemilik rumah demi kepentingannya berhak untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum terhadap rumah milikya, seperti menyewakan, mengontrakan, mengadukan orang yang merusaka rumahnya,
Tetapi dalam realitanya, sering hukum itu melindungi kepentingan dengan tidak memberikan hak kepada orang yang bersangkutan.
Contoh :
Pasal 34 UUD 1945, bantuan Negara terhadap fakir miskin dan anak-anak terlantar. Ini bukan berarti tiap fakir miskin atau anak-anak terlantar langsung berhak atas pemeliharaan Negara.
2. Teori yang menganggap hak sebagai suatu kehendak yang diperlengkapi dengan kekuatan atau wilsmacht theorie (Bernhard Winscheid). Teori ini mengatakan bahwa hak itu adalah : suatu kehendak yang diperlengkapi dengan kekuatan yang oleh tata-tertib hukum diberikan kepada yang bersangkutan. Berdasarkan kehendak itu maka yang bersangkutan dapat memiliki rumah, tanah, dan lain sebagainya. Menurut teori ini orang yang gila dan anak-anak kecil tidak dapat diberi hak, sebab mereka tidak atau belum dapat menyatakan kehendaknya. Sedangkan negeri kita membolehkan dengan pengampunan atau perantaraan walinya, seorang yang gila atau anak-anak kecil dapat diberi hak missal pasal 1 s/d 3 KUH Perdata menyatakan bahwa tidak ada manusia yang tidak mempunyai hak (yang di bawah pengampunan/perwakilan dijalankan oleh pengawas/walinya).
3. Di samping kedua teori tersebut masih terdapat teori gabungan mencoba mempersatukan unsur-unsur kehendak dan kepentingan dalam pengertian hak dari :
a. APELDOORN.
Hak adalah sesuatu kekuatan (macht) yang diatur oleh hukum dan kekuasaan ini berdasarkan kesusilaan (moral) dan tidak hanya kekuatan fisik saja.
Contoh :
Pencuri mempunyai atas barang yang dicuri. Tapi kekuatannya itu (kekuatan fisik) yang tidak berdasarkan kesusilaan (moral) dan keadilan. Oleh karena itu, ini bukan hak.
Selanjutnya dalam bukunya “Inleading tot de studie yang het Nederlanse Recht” Apeldoorn menyatakan bahwa yang disebut dengan hak, ialah hukum yang dihubungkan dengan seorang manusia atau subyek hukum tertentu dan dengan demikian menjelma menjadi suatu kekuasaan, dan suatu hak timbul apabila mulai bergerak.
b. UTRECHT.
Hak bukanlah kekuatan. Hak adalah jalan untuk memperoleh kekuatan, tapi hak itu sendiri bukan kekuatan.
c. LEMAIRE.
Hak adalah sama dengan izin. Izin bagi yang bersangkutan untuk berbuat sesuatu. Tapi izin ini buka bersumber pada hukum melainkan sejajar/sederajat dengan hukum. Hukum berupa perintah/larangan atau izin. Hak adalah hukum yang berupa izin.
Menurut Utrecht izin ini diberikan kepada yang bersangkutan, oleh tata-tertib, bukan oleh karena hak (izin) adalah “subordinated” pada tata-tertib hukum.
Hak pada zaman sekarang terikat sekali oleh kekuatan-kekuatan sosial itu tidak berarti bahwa lambat laun hak itu dihapuskan sama sekali. Dalam suatu masyarakat yang bercorak sosialistis pun manusia mempunyai hak. Hanya kebebasan menjalankan hak itu dibatasi, yaknikebebasan itu diikat oleh banyak kekuatan sosial[3]
B. Macam-Macam Hak
Secara umum hak dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu :
1. Hak mutlak (absolute rechten, onpersoonlijke rechten)
2. Hak relative (nisbi, relative rechten, persoonlijke rechten).
(1) Hak mutlak
Hak mutlak ialah setiap kekuasaan mutlak yang oleh hukum diberikan kepada subyek hukum untuk berbuat sesuatu atau bertindak kepada subyek hukum untuk berbuat sesuatu atau bertindak akan memperhatikan kepentingannya. Kekuasaan ini dikatakan mutlak karena berlaku terhadap setiap subyek hukum lain.
Hak mutlak juga merupakan hak yang memberikan kekuatan kepada yang bersangkutan untuk wajib dihormati oleh setiap orang lain.
Contoh :
Eigendomsrecht atau hak pemilikan.
Hak mutlak berlaku “erga omnes” (terhadap tiap orang yang bersangkutan).
Hak mutlak ini dibagi menjadi beberapa bagian, yang meliputi :
a. Hak pokok (dasar) manusia/asasi
Yaitu hak yang oleh hukum diberikan kepada manusia yang disebabkan hal oleh sesuatu berdasarkan hukum yang kelahiranya secara langsung menimbulkan hak-hak itu.
Contoh :
Pasal UUDS 1950 yang memberikan hak-hak kepada warga Negara Indonesia, yang berbunyi :
(1) Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain.
(2) Seorang tidak boleh dirampas miliknya dengan semena-mena.
(3) Hak milik itu adalah suatu fungsi sosial.
Menurut hukum alam pada asas pikiran rasionalitas, hak pokok merupakan hak yang diberikan kepada manusia dan oleh karenanya merupakan hak yang abadi (tidak dapat dicabut kembali). Tetapi menurut hukum modern hak pokok manusia dapat saja dicabut kembali apabila bertentangan dengan kepentingan umum.
b. Hak publik absolut
Contohnya :
- Hak bangsa atas kemerdekaan dan kedaulatan seperti yang tersebut dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi :
“Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.
- Hak pemerintah untuk memungut pajak dari rakyatnya (Pasal 23 ayat (2) UUD 1945)
c. Sebagian dari hak privat (keperdataan)
Sebagian dari hak privat ini meliputi :
1. Hak pribadi manusia
Yaitu hak atas dirinya yang oleh hukum diberikan kepada manusia.
Contoh :
Pasal 1370 KUH Perdata :
“Barang siapa membunuh orang dengan sengaja atau kurang berhati-hati wajib menggantikan kerugian kepada orang yang ditinggalkan oleh yang dibunuh”.
2. Hak keluarga absolute
Yaitu hak yang ditumbulkan karena hubungan antara anggota keluarga yang satu dengan yang lain.
Hak keluarga ini ada beberapa macam, yaitu :
(a) Hak pengampuan
Misalnya, orang sudah dewasa, yang menderita sakit ingatan menurut undang-undang harus ditaruh dibawah pengawasan atau pengampuan atau curatele. Begitu pula orang dewasa juga dapat ditaruh dibawah curatele dengan alasan bahwa ia mengobralkan kekayaannya. Dalam hal seorang sakit ingatan tiap anggota warga berhak untuk memintakan curatele, sedangkan terhadap seorang yang mengobralkan kekayaannya, permintaan itu hanya dapat dilakukan oleh anggota-anggota keluarga yang sangat dekat saja.
Kedudukan seseorang yang telah ditaruh dibawah curatele, sama seperti orang yang belum dewasa. Ia tidak dapat lagi melakukan persoalan perbuatan-perbuatan hukum secara sah. Tetapi seorang yang ditaruh dibawah curatele dengan alasan mengobralkan kekayaannya, menurut Undang-undang masih dapat membuat testamen, perkawinan atau membuat perjanjian perkawinan, meskipun untuk perkawinan ini ia selalu harus mendapat izin dan bantuan curator serta weeskamer. Bahwa seorang yang ditaruh dibawah curatele atas alasan sakit ingatan tidak dapat membuat suatu testamen dan juga tidak usah diterangkan lagi., karena untuk perbuatan-perbuatan tersebut diperlukan pikiran yang sehat dan kemauan yang bebas.
(b) Hak marital dari suami.
Pasal 105 KUH Perdata berbunyi:
“setiap suami adalah kepala dalam persatuan suami-istri”.
Sebagai kepala keluarga ia berkewajiban memberi bantuan kepada istrinya, atau menghadapkan untuknya dimuka hakim, dengan tak mengurangi beberapa pengecualian yang ada sebagai berikut :
Sebagai suami ia harus mengemudikan urusan harta kekayaan milik pribadi istrinya, kecuali apabila tentang hal itu telah diperjanjikan sebaliknya.
Ia harus mengurus harta kekayaan itu laksana seorang bapak rumah tangga tangga yang baik,(een geode huisvader) dan oleh karenanya pula bertanggung jawab atas segala kealpaan dalam pengurusan itu. Ia tak diperbolehkan memindah tangankan atau membebani harta kekayaan tak bergerak milik istrinya tanpa persetujuan si istri.
(c) Hak perwalian (voogdij)
Ialah pengawasan terhadap anak dibawah umur, yang tidak berada di kekuasaan orang tua serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut diatur oleh undang-undang.
3. Hak atas kekayaan
Yaitu hak yang dapat dihargai dengan uang (op geld waardeebare rechten) yang terdiri dari :
(a) Hak kebendaan (zakelijke rechten)
Hak kebendaan adalah kekuasaan absolut yang oleh hukum diberikan kepada subyek hukum supaya dengan langsung menguasai benda di dalam tangan siapapun juga benda itu berada[4]. Hak kebendaan itu adalah “absolut” karena hukum. Semua subyek hukum lain wajib menghormati hak milik orang yang memilikinya.
Contoh :
A sebagai pemilik tanah dapat menguasai langsung (heerschappy) tidak disebabkan oleh suatu hubungan hukum dengan subyek hukum, seperti karena perjanjian umpamanya A menyewa tanah dari B. A menguasai tanah tersebut karena adanya hubungan perjanjian dengan B.
(b) Hak atas benda immaterial (rechten op immaterieele goederen)
Misalnya pada hak atas barang ciptaan. Perlindungan atas barang ciptaan diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan.
1. Undang-undang (hak) pengarang th. 1912 LNHB 1912 No. 600 (rechersrecht).
2. Undang-undang (hak) Otori th. 1910 LNHB 1922 No. 54.
3. Undang-undang no. 19 tentang hak merek tahun 1992
(2) .Hak Relatif (Nisbi)
Hak relatif adalah setiap kekuasaan/kewenangan yang oleh hukum diberikan kepada subyek hukum lain/tertentu supaya ia berbuat sesuatu, tidak berbuat sesuatu atau member sesuatu.
Contoh :
A meminjamkan uang kepada B.
Dalam perjanjian pinjam-meminjam ditetapkan bahwa B harus membayar kembali uang itu setelah tiga bulan.
Kekuasaan/kewenangan A untuk meminta kembali uang yang dipinjamkan itu setelah tiga bulan hanya berlaku terhadap B saja atau denagan perkataan lain hanya berlaku terhadap suatu subyek hukum tertentu, maka dari kekuasaan/kewenangan itu disebut “hak relatif” ialah hak yang hanya dapat dilakukan terhadap suatu subyek hukum tertentu.
Hak relatif dapat dibagi menjadi beberapa macam, yaitu :
a. Hak publik relatif
Contoh :
Hak dari negara untuk menghukum pelanggar menurut undang-undang pidana. Hak dari negara untuk memungut hak bea dan cukai (pasal 23 ayat 2 UUD 1945) yang berbunyi :
“Segala pajak untuk keperluan Negara berdasarkan undang-undang”.
Hak-hak tersebut menjadi hak relatif karena hanya dapat dilakukan terhadap seorang (subyek hukum) tertentu, yakni terhadap pelanggar (orang) terhadap yang wajib membayar pajak, bead an cukai.
b. Hak keluarga relatif
Contoh :
Hak yang disebutkan dalam pasal 103 dan 104 KUH Perdata ialah :
Pasal 103 KUH Perdata :
“Suami dan istri, dengan mengikat dari dalam suatu perkawinan dan hanyakarena tujuan itupun, terikatlah mereka dalam suatu perjanjian berttimbal bailk, akan memelihara dan mendidik sekalian anak mereka”.
c. Hak kekayaan relatif
Yaitu semua hak kekayaan yang bukan hak kebendaan atau barang ciptaan manusia. Perbedaannya dengan hak kekayaan absolut ialah bahwa yang terakhir ini dapat dijalankan terhdap setiap orang (droit de suite) dan merupakan system tertutup, sedangkan hak kekayaan relatif hanya dapat dijalankan terhadap orang tertentu(bukan droit de suite) dan bukan sistem tertutup[5].
C. Pengertian Kewajiban
Konsep kewajiban pada awalnya merupakan konsep khusus dari bidang moral dalam hubunganya dengan individu yang terhadapnya tindakan tertentu harus dilakukan atau dilarang oleh norma tersebut. Pernyataan “seorang individu mempunyai kewajiban moral, atau diwajibkan menurut moral, untuk melakukan suatu perbuatan” mengandung arti bahwa ada suatu norma valid yang memerintahkan perbuatan ini, atau bahwa individu tersebut harus berbuat menurut cara tersebut.
Eksistensi suatu kewajiban hukum adalah validitas dari suatu norma hukum yang membuat suatu sanksi bergantung kepada lawan dari perbuatan yang merupakan kewajiban hukum tersebut. Kewajiban hukum bukan sesuatu yang terlepas dari norma hukum. Kewajiban hukum semata-mata merupakan norma hukum dalam hubunganya dengan individu yang perbuatanya dikenai sanksi di dalam norma hukum tersebut. Yang merupakan isi dari kewajiban hukum adalah perbuatan yang berlawan dengan perbuatan yang sebagai delik merupakan kondisi pemberian sanksi tersebut. Kewajiban hukum adalah kewajiban untuk menghindari delik yang menjadi kewajiban si subyek adalah “mematuhi” norma hukum[6].
Kewajiban hukum, seperti halnya norma hukum yang identik denganya, memiiki karakter umum atau individual. Norma hukum yang memerintahkan kompensasi atas kerugian, menetapkan (atau lebih tepatnya :merupakan) hukum umum. Keputusan pengadilan-yakni, norma hukum individual-yang menetapkan, dalam perkara konkret, bahwa seorang individu A harus mengompensasi individu B dengan sejumlah uang atas kerugian yang ditimbulkanoleh si A terhadap si B. Keputusan pengadilan ini menetapkan (atau lebih tepatnya: merupakan) kewajiban individual dari si A; yang dengan demikian hanya dinyatakan pemberian sejumlah uang oleh si A kepada si B merupakan isi dari norma hukum individual. Biasanya, kewajiban hukum hanya dijelaskan dalam kasus norma hukum individual, dan dalam arena teori tradisional hanya mempertimbangkan norma hukum umum dan mengabaikan norma individual, keidentikan norma hukum dan kewajiban hukum terabaikan, dan kewajiban hukum dianggap sebagai obyek dari pemahaman hukum yang berbeda dari norma hukum meski kadang terkait dengan norma yang disebut terakhir itu.
Biasanya, isi dari kewajiban hukum adalah berupa perilaku satu orang individu semata; namun ia juga bisa berupa perilaku satu orang individu atau lebih. Ini terjadi bila suatu kewajiban dapat dipenuhi oleh individu yang satu atau yang lain, dan jika kewajiban itu tidak dipenuhi, berarti tidak satu pun dari individu itu yang memenuhi kewajiban ini; atau jika kewajiban itu hanya bisa dipenuhi dengan bekerja sama antara kedua individu itu, dan kewajiban ini dilanggar atau tidak dipenuhi jika kerja sama tersebut tidak berlangsung[7].
D. Macam-Macam Kewajiban.
Menurut Aunstin kewajiban dapat dibedakan menjadi :
1. Kewajiban primer
Yaitu kewajiban yang berupa perintah-printah yang substansinya adalah perbuatan yang dikehendaki oleh pembuat undang-undang
2. Kewajiban sekunder
Yaitu kewajiban yang berupa perintah-perintah yang substansinya dibentuk oleh sanksi yang harus dilaksanakan atau diterapkan bila perintah-perintah primer tidak dipatuhi[8].
Dalam hal ini Austin menyebutkan bahwa kewajiban sekunder sebagai “penerapan sanksi”, sebab tujuannya utamanya adalah mencegah delik atau pelanggaran.
Tetapi pendapat yang banyak berkembang tentang masalah kewajiban hukum menyatakan hal yang berbeda dengan pendapat di atas. Dalam konteks ini,menurut pengertian hukum subyektif, kewajiban hukum dibahas dengan ketidakterkaitan yang mencolok oleh teori hukum. Kadang-kadang diberikan pernyataan bahwa kewajiban hukum bukan konsep hukum sama sekali, bahwa tidak ada kewajiban hukum, hanya kewajiban moral, dan bahwa hanya ada dalam hukum tersebut hak subyektif[9]
Bab III
Penutup dan Kesimpulan
segala puji kami haturkan kepada-Nya atas terselesaikannya penyusunan makalah kami kali ini, semoga makalah kami dapat bermanfaat bagi orang-orang yang ingin mempelajari ilmu hukum secara mendalam.
Adapun kesimpulan dari penyusunan makalah kali ini adalah kita harus mengetahui dan mempelajari elemen-elemen dasar dari ilmu hukum terutama tentang permasalahan hubungan hukum, karena dari sinilah muncul berbagi permasalahan-permasalahan hukum dari yang sederhana sampai yang sangat kompleks sekalipun. Oleh sebab itu sanagatlah penting kiranya kita memahami makalah hubungan hukum ini, sebagai bekal kita dalam mempelajari ilmu hukum lebih lanjut dan mendalam.
Daftar Pustaka
1. Utrecht, E., Drs. Mr. 1955. Pengantar Dalam Hukum Indonesia.Balai Buku Indonesia. Jakarta.
2. Soeroso, R., S.H. 1992. Pengantar Ilmu Hukum. Sinar Grafika. Jakarta.
3. Kelsen, Hans. 2009 Pengantar Teori Hukum. Nusa Media. Bandung.
4. Kelsen, Hans. 2009. Teori Umum Tentang Hukum dan Negara. Nusa Media. Bandung.
5. Kelsen, Hans. 2008. Teori Hukum Murni. Nusa Media. Bandung.
6. Marzuki, Mahmud, Peter. Prof. Dr. SH,.MS.,LL,.M. 2009. Pengantar Ilmu Hukum. Prenada Media Group. Jakarta.
7. Syarifin, Pipin, S.H, dan Chumaidy Zakarsy, A. Drs., 1998. Pengantar Ilmu Hukum. Pustaka Media. Bandung.
[1] Lihat buku Pengantar Ilmu Hukum oleh R. Suroso, S.H, penerbit PT. Sinar Grafika Jakarta 1993, halaman 269
[2] Pendapat ini disampaikan oleh Hans Kelsen dalam bukunya Pure Theory of Law, yang diterjemahkan oleh Raisul Muttaqin dalam judul Teori Hukum Murni penerbit Nusa Media Bandung 2008 halaman 143.
[3]Lihat dalam buku Pengantar Dalam Hukum Indonesia oleh Mr. Drs. E. Utrecht penerbit Balai Buku Indonesia Jakarta 1955 halaman 186-7
[4] Dikutip dari buku Pengantar Ilmu hukum oleh R. Soeroso, S.H penerbit Sinar Grafika Jakarta 2006 halaman 285
[5] System tertutup adalah
[6] Lihat dalam buku teori umum tentang hukum dan Negara oleh Hans Kelsen penerbit Nusa Media Bandung 2008 halaman 85-6.
[7] Lihat Teori Hukum Murni oleh Hans Kelsen penerbiT Nusa Media bandung 2008 halaman
[8] Dikutip dari terjemahan buku Hans Kelsen General Theory of Law and State dalam bab Law of Thing.
[9] Pendapat ini disampaikan oleh Hans Kelsen dalam bukunya Introduction to the Problems of Legal Theory yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berjudul Pengantar Teori Hukum penerbit Nusa Media Bandung 2009 halaman 79
Hubungan hukum ialah hubungan antara dua atau lebih subyek hukum. Dalam hubungan hukum ini hak dan kewajiban pihak yang satu berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak lain[1]
Kita semua mengetahui bahwa hukum itu mengatur hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain, antara orang dengan masyarakat, antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Jadi dalam semua hubungan di dalam masyarakat di atur oleh hukum.
Barang siapa yang mengganggu atau tidak mengindahkan hubungan ini, maka ia dapat dipaksa oleh hukum untuk menghormatinya.
Misalnya :
A menjual rumah pada B. Perjanjian ini menimbulkan hubungan antara A dan B yang diatur oleh hukum. A wajib menyerahkan rumah kepada B. Sebaliknya B wajib membayar harga rumah kepada A dan berhak meminta runah kepada A. Apabila salah satu pihak tidak mengindahkan kewajibanya maka hakim akan menjatuhkan sanksi hukum. Hubungan A dan B yang diatur oleh hukum ini diberi nama “hubungan hukum atau rechtsbetrekking”.
Jadi setiap hubungan hukum memiliki dua segi: segi beveogdheid (kekuasaan/kewenangan atau hak) dengan lawannya “plicht” atau kewajiban. Kewenangan yang diberikan oleh hukum kepada subyek hukum (orang atau badan hukum) dinamakan “hak”.
Dengan demikian, hukum sebagai himpunan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan sosial memberikan suatu hak kepada subyek hukum untuk berbuat sesuatu atau menurut sesuatu yang diwajibkan oleh hak itu, dan terlaksanakannya kewenangan/hak dan kewajiban tersebut dijamin oleh hukum.
B. Segi Hubungan Hukum
Tiap hubungan hukum memiliki dua segi, yaitu :
1. Beveogdheid atau kewenangan, yang disebut hak, dan
2. Plicht atau kewajiban, adalah segi pasif dari hubungan hukum
Hak dan kewajiban ini kedua-duanya timbul dari suatu peristiwa hukum (misalnya jual beli) dari suatu pasal hukum obyektif (pasal 1474 KUH Perdata). Pun lenyapnya hak dan kewajiban juga bersamaan.
C. Unsur-Unsur Hubungan Hukum
Hubungan hukum memiliki tiga unsur sebagai berikut, yaitu :
1. Adanya orang-orang yang hak/kewajibannya saling berhadapan.
Contoh :
A menjual rumahnya kepada B
A wajib menyerahkan rumahnya kepada B
A berhak meminta pembayaran kepada B
B wajib membayar kepada A
B berhak meminta rumah A setelah dibayar
2. Adanya obyek yang berlaku berdasarkan hak dan kewajiban tersebut di atas (dalam contoh diatas obyeknya adalah rumah).
3. Adanya hubungan antara pemilik hak dan pengemban kewajiban atau adanya hubungan atas obyek yang bersangkutan
Contoh :
- A dan B mengadakan hubungan sewa menyewa rumah
- A dan B sebagai pemegang hak dan pengemban kewajiban
- Rumah adalah obyek yang bersangkutan.
D. Syarat- Syarat Hubungan Hukum
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hubungan hukum itu baru ada apabila telah dipenuhinya sebagai syarat :
1. Adanya dasar hukum, ialah peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum itu, dan .
2. Timbulnya peristiwa hukum
Contoh :
A - B mengadakan perjanjian jual beli rumah.
- Dasar hukumnya pasal 1474 dan pasal 1513 KUH Perdata yang masing-masing menetapkan bahwa si penjual mempunyai kewajiban menyerahkan barang (pasal 1714 KUH Perdata) dan sebaliknya pembeli berkewajiban membayar harga pembelian (pasal 1513 KUH Perdata).
- Karena adanya perjanjian jual beli maka timbul peristiwa hukum (jual-beli), ialah suatu perbuatan hukum yang akibatnya diatur oleh hukum.
E. Macam/Jenis Hubungan Hukum
Secara umum hubungan hukum terbagi menjadi tiga macam, yaitu :
1. Hubungan hukum bersegi satu
2. Hubungan hukum bersegi dua
3. Hubungan antara “satu” subyek hukum dengan “semua” subyek hukum lainnya.
Hubungan ini terdapat dalam hal “eigendomsrecht” (hak milik).
Contoh :
Menurut pasal 570 KUH Perdata, yang menjadi pemilik tanah berhak/berwenang memungut segala kenikmatan (genot) dari tanah itu, asal saja pemungutan kenikmatan itu tidak dilakukan secara bertentangan dengan peraturan hukum atau kepentingan umum. Pemilik pula berhak memindah tangankan atau vervreemden (menjual, memberikan, menukar, mewariskan) secara legal.
Sebaliknya “semua” subyek hukum lainnyaberkewajiban mengakui bahwa yang mempunyai tanah adalah pemiliknya dan berhak memunggut segala kenimatan dari tanah itu.
2. Hak Dan Kewajiban
Sudah lazim bila kita melawankan konsep “kewajiban” dengan hak, dan memberikan prioritas kepada hak. Dalam kita berbicara tentang “hak dan kewajiban”, dan bukan “kewajiban dan hak”, seperti halnya dalam lingkup moral, dimana penekanan yang lebih besar diberikan pada kewajiban; kita berbicara tentang hak sebagai yang berbeda dari hukum. Namun hak adalah hukum – hukum dalam arti kata hukum subyektif yang berlawanan dengan hukum dalam pengertian obyektif, yaitu suatu tatanan hukum atau norma. Dalam menjelaskan hukum, hak diposisikan, dibagian yang sedemikian dominan sehingga kewajiban nyaris tidak kelihatan; dalam bahasa hukum Jerman dan Prancis, kata yang sama, yakni richt dan droit, digunakan untk menyebut “hak” dan juga “hukum”, sebagai system norma yang membentuk tatanan hukum[2].
A. Pengertian Hak
Pada abad ke-19 di Jerman dikemukakan 2 teori tentang hak, yaitu :
1. Teori yang menganggap hak sebagai kepentingan yang terlindung (Belangen theorie dari Rodlof Ven Jhering). Teori ini merumuskan bahwa hak itu merupakan sesuatu yang penting bagi yang bersangkutan, yang dilindungi oleh hukum. Teori ini mudah sekali mengacaukan antara hak dengan kepentingan. Memang hak bertugas melindungi kepentingan yang berhak.
Contoh :
Pemilik rumah demi kepentingannya berhak untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum terhadap rumah milikya, seperti menyewakan, mengontrakan, mengadukan orang yang merusaka rumahnya,
Tetapi dalam realitanya, sering hukum itu melindungi kepentingan dengan tidak memberikan hak kepada orang yang bersangkutan.
Contoh :
Pasal 34 UUD 1945, bantuan Negara terhadap fakir miskin dan anak-anak terlantar. Ini bukan berarti tiap fakir miskin atau anak-anak terlantar langsung berhak atas pemeliharaan Negara.
2. Teori yang menganggap hak sebagai suatu kehendak yang diperlengkapi dengan kekuatan atau wilsmacht theorie (Bernhard Winscheid). Teori ini mengatakan bahwa hak itu adalah : suatu kehendak yang diperlengkapi dengan kekuatan yang oleh tata-tertib hukum diberikan kepada yang bersangkutan. Berdasarkan kehendak itu maka yang bersangkutan dapat memiliki rumah, tanah, dan lain sebagainya. Menurut teori ini orang yang gila dan anak-anak kecil tidak dapat diberi hak, sebab mereka tidak atau belum dapat menyatakan kehendaknya. Sedangkan negeri kita membolehkan dengan pengampunan atau perantaraan walinya, seorang yang gila atau anak-anak kecil dapat diberi hak missal pasal 1 s/d 3 KUH Perdata menyatakan bahwa tidak ada manusia yang tidak mempunyai hak (yang di bawah pengampunan/perwakilan dijalankan oleh pengawas/walinya).
3. Di samping kedua teori tersebut masih terdapat teori gabungan mencoba mempersatukan unsur-unsur kehendak dan kepentingan dalam pengertian hak dari :
a. APELDOORN.
Hak adalah sesuatu kekuatan (macht) yang diatur oleh hukum dan kekuasaan ini berdasarkan kesusilaan (moral) dan tidak hanya kekuatan fisik saja.
Contoh :
Pencuri mempunyai atas barang yang dicuri. Tapi kekuatannya itu (kekuatan fisik) yang tidak berdasarkan kesusilaan (moral) dan keadilan. Oleh karena itu, ini bukan hak.
Selanjutnya dalam bukunya “Inleading tot de studie yang het Nederlanse Recht” Apeldoorn menyatakan bahwa yang disebut dengan hak, ialah hukum yang dihubungkan dengan seorang manusia atau subyek hukum tertentu dan dengan demikian menjelma menjadi suatu kekuasaan, dan suatu hak timbul apabila mulai bergerak.
b. UTRECHT.
Hak bukanlah kekuatan. Hak adalah jalan untuk memperoleh kekuatan, tapi hak itu sendiri bukan kekuatan.
c. LEMAIRE.
Hak adalah sama dengan izin. Izin bagi yang bersangkutan untuk berbuat sesuatu. Tapi izin ini buka bersumber pada hukum melainkan sejajar/sederajat dengan hukum. Hukum berupa perintah/larangan atau izin. Hak adalah hukum yang berupa izin.
Menurut Utrecht izin ini diberikan kepada yang bersangkutan, oleh tata-tertib, bukan oleh karena hak (izin) adalah “subordinated” pada tata-tertib hukum.
Hak pada zaman sekarang terikat sekali oleh kekuatan-kekuatan sosial itu tidak berarti bahwa lambat laun hak itu dihapuskan sama sekali. Dalam suatu masyarakat yang bercorak sosialistis pun manusia mempunyai hak. Hanya kebebasan menjalankan hak itu dibatasi, yaknikebebasan itu diikat oleh banyak kekuatan sosial[3]
B. Macam-Macam Hak
Secara umum hak dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu :
1. Hak mutlak (absolute rechten, onpersoonlijke rechten)
2. Hak relative (nisbi, relative rechten, persoonlijke rechten).
(1) Hak mutlak
Hak mutlak ialah setiap kekuasaan mutlak yang oleh hukum diberikan kepada subyek hukum untuk berbuat sesuatu atau bertindak kepada subyek hukum untuk berbuat sesuatu atau bertindak akan memperhatikan kepentingannya. Kekuasaan ini dikatakan mutlak karena berlaku terhadap setiap subyek hukum lain.
Hak mutlak juga merupakan hak yang memberikan kekuatan kepada yang bersangkutan untuk wajib dihormati oleh setiap orang lain.
Contoh :
Eigendomsrecht atau hak pemilikan.
Hak mutlak berlaku “erga omnes” (terhadap tiap orang yang bersangkutan).
Hak mutlak ini dibagi menjadi beberapa bagian, yang meliputi :
a. Hak pokok (dasar) manusia/asasi
Yaitu hak yang oleh hukum diberikan kepada manusia yang disebabkan hal oleh sesuatu berdasarkan hukum yang kelahiranya secara langsung menimbulkan hak-hak itu.
Contoh :
Pasal UUDS 1950 yang memberikan hak-hak kepada warga Negara Indonesia, yang berbunyi :
(1) Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain.
(2) Seorang tidak boleh dirampas miliknya dengan semena-mena.
(3) Hak milik itu adalah suatu fungsi sosial.
Menurut hukum alam pada asas pikiran rasionalitas, hak pokok merupakan hak yang diberikan kepada manusia dan oleh karenanya merupakan hak yang abadi (tidak dapat dicabut kembali). Tetapi menurut hukum modern hak pokok manusia dapat saja dicabut kembali apabila bertentangan dengan kepentingan umum.
b. Hak publik absolut
Contohnya :
- Hak bangsa atas kemerdekaan dan kedaulatan seperti yang tersebut dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi :
“Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.
- Hak pemerintah untuk memungut pajak dari rakyatnya (Pasal 23 ayat (2) UUD 1945)
c. Sebagian dari hak privat (keperdataan)
Sebagian dari hak privat ini meliputi :
1. Hak pribadi manusia
Yaitu hak atas dirinya yang oleh hukum diberikan kepada manusia.
Contoh :
Pasal 1370 KUH Perdata :
“Barang siapa membunuh orang dengan sengaja atau kurang berhati-hati wajib menggantikan kerugian kepada orang yang ditinggalkan oleh yang dibunuh”.
2. Hak keluarga absolute
Yaitu hak yang ditumbulkan karena hubungan antara anggota keluarga yang satu dengan yang lain.
Hak keluarga ini ada beberapa macam, yaitu :
(a) Hak pengampuan
Misalnya, orang sudah dewasa, yang menderita sakit ingatan menurut undang-undang harus ditaruh dibawah pengawasan atau pengampuan atau curatele. Begitu pula orang dewasa juga dapat ditaruh dibawah curatele dengan alasan bahwa ia mengobralkan kekayaannya. Dalam hal seorang sakit ingatan tiap anggota warga berhak untuk memintakan curatele, sedangkan terhadap seorang yang mengobralkan kekayaannya, permintaan itu hanya dapat dilakukan oleh anggota-anggota keluarga yang sangat dekat saja.
Kedudukan seseorang yang telah ditaruh dibawah curatele, sama seperti orang yang belum dewasa. Ia tidak dapat lagi melakukan persoalan perbuatan-perbuatan hukum secara sah. Tetapi seorang yang ditaruh dibawah curatele dengan alasan mengobralkan kekayaannya, menurut Undang-undang masih dapat membuat testamen, perkawinan atau membuat perjanjian perkawinan, meskipun untuk perkawinan ini ia selalu harus mendapat izin dan bantuan curator serta weeskamer. Bahwa seorang yang ditaruh dibawah curatele atas alasan sakit ingatan tidak dapat membuat suatu testamen dan juga tidak usah diterangkan lagi., karena untuk perbuatan-perbuatan tersebut diperlukan pikiran yang sehat dan kemauan yang bebas.
(b) Hak marital dari suami.
Pasal 105 KUH Perdata berbunyi:
“setiap suami adalah kepala dalam persatuan suami-istri”.
Sebagai kepala keluarga ia berkewajiban memberi bantuan kepada istrinya, atau menghadapkan untuknya dimuka hakim, dengan tak mengurangi beberapa pengecualian yang ada sebagai berikut :
Sebagai suami ia harus mengemudikan urusan harta kekayaan milik pribadi istrinya, kecuali apabila tentang hal itu telah diperjanjikan sebaliknya.
Ia harus mengurus harta kekayaan itu laksana seorang bapak rumah tangga tangga yang baik,(een geode huisvader) dan oleh karenanya pula bertanggung jawab atas segala kealpaan dalam pengurusan itu. Ia tak diperbolehkan memindah tangankan atau membebani harta kekayaan tak bergerak milik istrinya tanpa persetujuan si istri.
(c) Hak perwalian (voogdij)
Ialah pengawasan terhadap anak dibawah umur, yang tidak berada di kekuasaan orang tua serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut diatur oleh undang-undang.
3. Hak atas kekayaan
Yaitu hak yang dapat dihargai dengan uang (op geld waardeebare rechten) yang terdiri dari :
(a) Hak kebendaan (zakelijke rechten)
Hak kebendaan adalah kekuasaan absolut yang oleh hukum diberikan kepada subyek hukum supaya dengan langsung menguasai benda di dalam tangan siapapun juga benda itu berada[4]. Hak kebendaan itu adalah “absolut” karena hukum. Semua subyek hukum lain wajib menghormati hak milik orang yang memilikinya.
Contoh :
A sebagai pemilik tanah dapat menguasai langsung (heerschappy) tidak disebabkan oleh suatu hubungan hukum dengan subyek hukum, seperti karena perjanjian umpamanya A menyewa tanah dari B. A menguasai tanah tersebut karena adanya hubungan perjanjian dengan B.
(b) Hak atas benda immaterial (rechten op immaterieele goederen)
Misalnya pada hak atas barang ciptaan. Perlindungan atas barang ciptaan diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan.
1. Undang-undang (hak) pengarang th. 1912 LNHB 1912 No. 600 (rechersrecht).
2. Undang-undang (hak) Otori th. 1910 LNHB 1922 No. 54.
3. Undang-undang no. 19 tentang hak merek tahun 1992
(2) .Hak Relatif (Nisbi)
Hak relatif adalah setiap kekuasaan/kewenangan yang oleh hukum diberikan kepada subyek hukum lain/tertentu supaya ia berbuat sesuatu, tidak berbuat sesuatu atau member sesuatu.
Contoh :
A meminjamkan uang kepada B.
Dalam perjanjian pinjam-meminjam ditetapkan bahwa B harus membayar kembali uang itu setelah tiga bulan.
Kekuasaan/kewenangan A untuk meminta kembali uang yang dipinjamkan itu setelah tiga bulan hanya berlaku terhadap B saja atau denagan perkataan lain hanya berlaku terhadap suatu subyek hukum tertentu, maka dari kekuasaan/kewenangan itu disebut “hak relatif” ialah hak yang hanya dapat dilakukan terhadap suatu subyek hukum tertentu.
Hak relatif dapat dibagi menjadi beberapa macam, yaitu :
a. Hak publik relatif
Contoh :
Hak dari negara untuk menghukum pelanggar menurut undang-undang pidana. Hak dari negara untuk memungut hak bea dan cukai (pasal 23 ayat 2 UUD 1945) yang berbunyi :
“Segala pajak untuk keperluan Negara berdasarkan undang-undang”.
Hak-hak tersebut menjadi hak relatif karena hanya dapat dilakukan terhadap seorang (subyek hukum) tertentu, yakni terhadap pelanggar (orang) terhadap yang wajib membayar pajak, bead an cukai.
b. Hak keluarga relatif
Contoh :
Hak yang disebutkan dalam pasal 103 dan 104 KUH Perdata ialah :
Pasal 103 KUH Perdata :
“Suami dan istri, dengan mengikat dari dalam suatu perkawinan dan hanyakarena tujuan itupun, terikatlah mereka dalam suatu perjanjian berttimbal bailk, akan memelihara dan mendidik sekalian anak mereka”.
c. Hak kekayaan relatif
Yaitu semua hak kekayaan yang bukan hak kebendaan atau barang ciptaan manusia. Perbedaannya dengan hak kekayaan absolut ialah bahwa yang terakhir ini dapat dijalankan terhdap setiap orang (droit de suite) dan merupakan system tertutup, sedangkan hak kekayaan relatif hanya dapat dijalankan terhadap orang tertentu(bukan droit de suite) dan bukan sistem tertutup[5].
C. Pengertian Kewajiban
Konsep kewajiban pada awalnya merupakan konsep khusus dari bidang moral dalam hubunganya dengan individu yang terhadapnya tindakan tertentu harus dilakukan atau dilarang oleh norma tersebut. Pernyataan “seorang individu mempunyai kewajiban moral, atau diwajibkan menurut moral, untuk melakukan suatu perbuatan” mengandung arti bahwa ada suatu norma valid yang memerintahkan perbuatan ini, atau bahwa individu tersebut harus berbuat menurut cara tersebut.
Eksistensi suatu kewajiban hukum adalah validitas dari suatu norma hukum yang membuat suatu sanksi bergantung kepada lawan dari perbuatan yang merupakan kewajiban hukum tersebut. Kewajiban hukum bukan sesuatu yang terlepas dari norma hukum. Kewajiban hukum semata-mata merupakan norma hukum dalam hubunganya dengan individu yang perbuatanya dikenai sanksi di dalam norma hukum tersebut. Yang merupakan isi dari kewajiban hukum adalah perbuatan yang berlawan dengan perbuatan yang sebagai delik merupakan kondisi pemberian sanksi tersebut. Kewajiban hukum adalah kewajiban untuk menghindari delik yang menjadi kewajiban si subyek adalah “mematuhi” norma hukum[6].
Kewajiban hukum, seperti halnya norma hukum yang identik denganya, memiiki karakter umum atau individual. Norma hukum yang memerintahkan kompensasi atas kerugian, menetapkan (atau lebih tepatnya :merupakan) hukum umum. Keputusan pengadilan-yakni, norma hukum individual-yang menetapkan, dalam perkara konkret, bahwa seorang individu A harus mengompensasi individu B dengan sejumlah uang atas kerugian yang ditimbulkanoleh si A terhadap si B. Keputusan pengadilan ini menetapkan (atau lebih tepatnya: merupakan) kewajiban individual dari si A; yang dengan demikian hanya dinyatakan pemberian sejumlah uang oleh si A kepada si B merupakan isi dari norma hukum individual. Biasanya, kewajiban hukum hanya dijelaskan dalam kasus norma hukum individual, dan dalam arena teori tradisional hanya mempertimbangkan norma hukum umum dan mengabaikan norma individual, keidentikan norma hukum dan kewajiban hukum terabaikan, dan kewajiban hukum dianggap sebagai obyek dari pemahaman hukum yang berbeda dari norma hukum meski kadang terkait dengan norma yang disebut terakhir itu.
Biasanya, isi dari kewajiban hukum adalah berupa perilaku satu orang individu semata; namun ia juga bisa berupa perilaku satu orang individu atau lebih. Ini terjadi bila suatu kewajiban dapat dipenuhi oleh individu yang satu atau yang lain, dan jika kewajiban itu tidak dipenuhi, berarti tidak satu pun dari individu itu yang memenuhi kewajiban ini; atau jika kewajiban itu hanya bisa dipenuhi dengan bekerja sama antara kedua individu itu, dan kewajiban ini dilanggar atau tidak dipenuhi jika kerja sama tersebut tidak berlangsung[7].
D. Macam-Macam Kewajiban.
Menurut Aunstin kewajiban dapat dibedakan menjadi :
1. Kewajiban primer
Yaitu kewajiban yang berupa perintah-printah yang substansinya adalah perbuatan yang dikehendaki oleh pembuat undang-undang
2. Kewajiban sekunder
Yaitu kewajiban yang berupa perintah-perintah yang substansinya dibentuk oleh sanksi yang harus dilaksanakan atau diterapkan bila perintah-perintah primer tidak dipatuhi[8].
Dalam hal ini Austin menyebutkan bahwa kewajiban sekunder sebagai “penerapan sanksi”, sebab tujuannya utamanya adalah mencegah delik atau pelanggaran.
Tetapi pendapat yang banyak berkembang tentang masalah kewajiban hukum menyatakan hal yang berbeda dengan pendapat di atas. Dalam konteks ini,menurut pengertian hukum subyektif, kewajiban hukum dibahas dengan ketidakterkaitan yang mencolok oleh teori hukum. Kadang-kadang diberikan pernyataan bahwa kewajiban hukum bukan konsep hukum sama sekali, bahwa tidak ada kewajiban hukum, hanya kewajiban moral, dan bahwa hanya ada dalam hukum tersebut hak subyektif[9]
Bab III
Penutup dan Kesimpulan
segala puji kami haturkan kepada-Nya atas terselesaikannya penyusunan makalah kami kali ini, semoga makalah kami dapat bermanfaat bagi orang-orang yang ingin mempelajari ilmu hukum secara mendalam.
Adapun kesimpulan dari penyusunan makalah kali ini adalah kita harus mengetahui dan mempelajari elemen-elemen dasar dari ilmu hukum terutama tentang permasalahan hubungan hukum, karena dari sinilah muncul berbagi permasalahan-permasalahan hukum dari yang sederhana sampai yang sangat kompleks sekalipun. Oleh sebab itu sanagatlah penting kiranya kita memahami makalah hubungan hukum ini, sebagai bekal kita dalam mempelajari ilmu hukum lebih lanjut dan mendalam.
Daftar Pustaka
1. Utrecht, E., Drs. Mr. 1955. Pengantar Dalam Hukum Indonesia.Balai Buku Indonesia. Jakarta.
2. Soeroso, R., S.H. 1992. Pengantar Ilmu Hukum. Sinar Grafika. Jakarta.
3. Kelsen, Hans. 2009 Pengantar Teori Hukum. Nusa Media. Bandung.
4. Kelsen, Hans. 2009. Teori Umum Tentang Hukum dan Negara. Nusa Media. Bandung.
5. Kelsen, Hans. 2008. Teori Hukum Murni. Nusa Media. Bandung.
6. Marzuki, Mahmud, Peter. Prof. Dr. SH,.MS.,LL,.M. 2009. Pengantar Ilmu Hukum. Prenada Media Group. Jakarta.
7. Syarifin, Pipin, S.H, dan Chumaidy Zakarsy, A. Drs., 1998. Pengantar Ilmu Hukum. Pustaka Media. Bandung.
[1] Lihat buku Pengantar Ilmu Hukum oleh R. Suroso, S.H, penerbit PT. Sinar Grafika Jakarta 1993, halaman 269
[2] Pendapat ini disampaikan oleh Hans Kelsen dalam bukunya Pure Theory of Law, yang diterjemahkan oleh Raisul Muttaqin dalam judul Teori Hukum Murni penerbit Nusa Media Bandung 2008 halaman 143.
[3]Lihat dalam buku Pengantar Dalam Hukum Indonesia oleh Mr. Drs. E. Utrecht penerbit Balai Buku Indonesia Jakarta 1955 halaman 186-7
[4] Dikutip dari buku Pengantar Ilmu hukum oleh R. Soeroso, S.H penerbit Sinar Grafika Jakarta 2006 halaman 285
[5] System tertutup adalah
[6] Lihat dalam buku teori umum tentang hukum dan Negara oleh Hans Kelsen penerbit Nusa Media Bandung 2008 halaman 85-6.
[7] Lihat Teori Hukum Murni oleh Hans Kelsen penerbiT Nusa Media bandung 2008 halaman
[8] Dikutip dari terjemahan buku Hans Kelsen General Theory of Law and State dalam bab Law of Thing.
[9] Pendapat ini disampaikan oleh Hans Kelsen dalam bukunya Introduction to the Problems of Legal Theory yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berjudul Pengantar Teori Hukum penerbit Nusa Media Bandung 2009 halaman 79
0 komentar:
Post a Comment