Psikologi Politik: Tabula Rasa

Pada tahun 1950-an, lapangan penelitian Psikologi di dominasi oleh penelitian tentang perilaku. Pada masa tersebut banyak penelitian dilakukan untuk mengkaji kepribadian para pemimpin politik dan perilaku politik pada kebudayaan tertentu.[1] Perpektif ini, seperti halnya dengan perspektif psikologi lainnya, memiliki dampak besar pada perkembangan ilmu politik. Merujuk pada McGuire, selama tahun 1950-an salah satu sumber utama dari inspirasi teoritikal untuk psikologi politik adalah respon stimulus perilaku yang menggambarkan bagaimana kepribadian politikus adalah dikondisikan oleh rangsangan, tanggapan, dorongan, dan bala bantuan yang di sediakan oleh lembaga-lembaga masyarakat.[2] Salah satu tokoh besar mengenai studi tentang perilaku adalah John B. Watson (1878-1958). Premise dasar Watson tentang aliran perilaku (1913) adalah bahwa perkembangan manusia harus didasarkan pada pengamatan perilaku terbuka dari pada spekulasi-spekulasi tentang motif-motif tidak sadar dan proses kognitif yang tak teramati. Selain itu, Watson percaya bahwa hubungan yang dipelajari antara stimuli external dan respon yang dapat diamati (disebut kebiasaan) adalah bangunan dari perkembangan manusia.[3]


PSIKOLOGI PERILAKU POLITIK: TABULA RASA
Seperti John Locke, Watson memandang bayi sebagai Tabula Rasa yang di tulis oleh pengalaman. Anak-anak tidak memiliki kecenderungan bawaan; bagaimana mereka berubah, sepenuhnya tergantung pada lingkungan pemeliharaan mereka dan orang-orang penting dalam hidupnya memperlakukannya.[4] Perilaku didasari pada pikiran manusia sebagai sebuah batu tulis kosong (blank slate) atau tabula rasa yang mana pada prakteknya dapat di tulis menggunakan kondisi lingkungan.[5] “Blank slate” adalah salah satu teori yang banyak dianut oleh banyak orang. Seorang anak terlahir kedunia dipandang tidak memiliki kecenderungan tertentu. Banyak para pembuat kebijakan dan politisi yang bersangkutan memandang bahwa anak-anak memperoleh kemampuan dasar akademik berpegang dari gagasan ini. Dari sudut pandang ini, cara seorang anak berubah benar-benar didasarkan pada pengalaman-pengalaman yang anak itu miliki di lingkungan dimana dia dibesarkan dan dari informasi-informasi yang diberikan oleh orang lain.[6] Perilaku politik ditentukan oleh berbagai factor motivasi dan factor emosi yang beroperasi melalui proses psikodinamik yang rumit. Seperti yang Easton dan Denning garis bawahi, “data kita setidaknya menunjukkan ini, tanda-tanda politisi pada tabula rasa, dimasukkan dan terus diperbaharui setelahnya”.[7]



[1] Dennis Fox dan Isaac Prilleltensky, Psikologi Kritis: Metaanalisis Psikologi Modern, alih bahasa Achmad Chusairi & Ilham Nur Alfian, (Jakarta: Teraju, 2005), hlm 213.


[2] David Patrick Houghton, Political Psychology: Situation, Individual, and Cases, cet. Ke-1 (New York: Routledge, 2009), hlm 37.


[3] David R. Shaffer, Social and Personality Development: Sixth Editions, (California: WARDSWORTH CENGEGE Learning, 2009), hlm 44.


[4] David R. Shaffer & Katherine Kipp, Developmental Psychology: Chilhood & Adolescene, (California: WARDSWORTH CENGEGE Learning, 2010), hlm 46.


[5] David Patrick Houghton, Political Psychology: Situation, Individual, and Cases, cet. Ke-1 (New York: Routledge, 2009), hlm 37


[6] J. Ronald Lally, Peter L. Mangione, and Deborah Greenwald, 20 Concepts for Care: Essays on Infant/Toddler Development and Learning, (San Francisco: WestEd, 2006), hlm 9.


[7] Anup Kumar Dash, The Political Elite in a Developing Society, (Delhi: Academic Foundation, 1994), hlm 59.
Share on Google Plus

About CeritakanSaja

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment