Metode Penemuan Hukum

Dalam praktek tidak jarang dijumpai ada peristiwa yang belum diatur dalam hukum atau perundang-undangan, atau meskipun sudah diatur tetapi tidak lengkap dan tidak jelas. Memang tidak ada hukum atau perundang-undangan yang sangat lengkap atau jelas sejelas-jelasnya. Fungsi hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia dengan cara mengatur kegiatan manusia. Sedangkan kepentingan manusia sangatlah banyak dan tidak terhitung jumlah dan jenisnya. Disamping itu kepentingan manusia akan terus berkembang sepanjang masa. Oleh karena itu peraturan hukum yang tidak jelas harus dijelaskan, yang kurang lengkap harus dilengkapi dengan jalan menemukan hukumnya agar aturan hukumnya dapat diterapkan terhadap peristiwanya.

Dengan demikian, pada hakekatnya semua perkara membutuhkan metode penemuan hukum agar aturan hukumnya dapat diterapkan secara tepat terhadap peristiwanya, sehingga dapat diwujudkan putusan hukum yang diidam-idamkan, yaitu yang mengandung aspek keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.

Dalam literatur dijumpai beberapa batasan atau pengertian penemuan hukum yang dikemukakan para ahli, antara lain:[1]

a. Menurut Paul Scholten, penemuan hukum oleh hakim merupakan sesuatu yang lain daripada hanya penerapan peraturan-peraturan pada peristiwanya, kadang-kadang dan bahkan sangat sering terjadi bahwa peraturannya harus ditemukan, baik dengan jalan interpretasi maupun dengan jalan analogi ataupun rechtssvervijning (pengkonkretan hukum).

b. John Z Laudoe, mengemukakan bahwa penemuan hukum adalah penerapan ketentuan fakta dan ketentuan tersebut kadangkala harus dibentuk karena tidak selalu terdapat dalam undang-undang yang ada.

c. Sudikno Mertokusumo, berpendapat bahwa penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas menerapkan hukum terhadap peristwa-peristiwa hukum yang konkret. Dengan kata lain,merupakan proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkret(das sein) tertentu. Yang penting dalam penemuan hukum adalah bagaimana mencarikan atau menemukan hukum untuk peristiwa kongkret.
v Beberapa Peristilahan dalam Penemuan Hukum

Ada beberapa peristilahan yang sering dikaitkan dengan penemuan hukum, yaitu:

a. Rechtsvorming (pembentukan hukum),yaitu merumuskan peraturan-peraturan yang berlaku secara umum bagi setiap orang lazimnya dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Hakim juga dimungkinkan sebagai pembentuk hukum (judge made law) kalau putusannya menjadi yurisprudensi tetap (vaste jurisprudence) yang diikuti oleh para hakim dan merupakan pedoman bagi kalangan hukum pada umumnya.

b. Rechtstoepassing (penerapan hukum), yaitu menerapkan peraturan hukum yang abstrak sifatnya pada peristiwanya. Untuk itu peristiwa konkret harus dijadikan peristiwa hukum terlebih dahulu agar peraturan hukumnya dapat diterapkan.

c. Rechtshndhaving (pelaksanaan hukum), dapat berarti menjalankan hukum baik ada sengketa atau pelanggaran maupun tanpa sengketa.

d. Rechtschepping (penciptaan hukum), berarti bahwa hukumnya sama sekali tidak ada,kemudian diciptakan, yaitu dari tidak ada menjadi ada.[2]
Sistem Penemuan Hukum
Pada dasarnya penemuan hukum tetap harus mendasarkan pada sistem hukum yang ada. Penemun hukum yang semata-mata mendasarkan pada undang-undang saja yang disebut sistem oriented. Penemuan hukum pada dasarnya harus sistem oriented, tetapi apabila sistem tidak memberikan solusi maka sistem harus ditinggalkan dan menuju problem oriented. Latar belakang timbulnya problem oriented yaitu adanya kecenderungan masyarakat pada umumnya yang membuat undang-undang lebih umum, sehingga dengan sifat umum itu hakim mendapat kebebasan lebih.

Wierda dalam bukunya “Drie Typen van Rechtvindding” membedakan penemuan hukum menjadi 3, yaitu penemuan hukum otonom,penemuan hukum heteronom,dan penemuan hukum campuran. Lebih lanjut tentang sistem penemaun hukum diuraikan dibawah ini.

a. Penemuan Hukum Heteronom

Penemuan hukum disini dianggap sebagai kejadian yang teknis dan kognitif, yang mengutamakan undang-undang. Sedangkan hakim tidak diberi kesempatan untuk berkreasi atau melakukan penilaian. Dalam hal ini hakim tidak bersikap mandiri,karena harus tunduk pada undang-undang.

Penemuan hukum heteronom adalah penemaun hukum yang dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar penemuan hukum itu sendiri, khususnya pengaruh undang-undang, termasuk juga pengaruh dari sistem pemerintahan,ekonomi,politik,dsb. Penemuan hukum heteronom sesuai dengan pandangan klasik, yang dikemukakan oleh Montesqueu dan Emmanuel Kant,bahwa hakim dalam menerapkan undang-undang terhadap peristiwanya sesungguhnya tidak menjalankan perannya secara mandiri. Hakim hanyalah sebagai penyambung lidah atau corong dari undng-undang,sehingga ia tidak dapat mengubah kekuatan hukum undang-undang,tidak dapat menambah dan mengurangi apa yang sudah ditentukan dalam undang-undang.[3] Undang-undang adalah satu-satunya sumber hukum positif. Oleh karena itu demi kepastian hukum dan kesatuan hukum,hakim harus ada dibawah undang-undang.

Peradilan tidak lain hanyalah bentuk sillogisme, yaitu bentuk berfikir logis dengan mengambil kesimpulan dari hal yang umum (premis mayor) dan hal yang khusus (premis minor). Premis mayor telah ditentukan dalam perundang-undangan, misalnya barang siapa mencuri dihukum. Premis minor adalah peristiwanya atau kasusnya, misalnya, Toni mencuri burung,sedangkan putusannya merupakan kesimpulan yang logis yaitu karena toni mencuri maka harus dihukum.

b. Penemuan Hukum Otonom

Dalam penemuan hukum otonom, hakim tidak lagi dipandang sebagai corong atau terompetnya undang-undang, tetapi sebagai pembentuk hukum yang secara mandiri memberi bentuk pada isi undang-undang dan menyesuaikannya dengan kebutuhan atau perkembangan masyarakat. Penemuan hukum otonom bersumber dari hati nurani sendiri, hakim tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar dirinya.

Pandangan penemuan hukum otonom muncul pada sekitar tahun 1850, karena aliran heteronom dari peradilan tidak dapat lagi dipertahankan. Tokoh-tokohnya antara lain Oscar Bullow, Eugen Ehrlich, Franscois Geny, Oliver Wonder Holmes, Jerome frank, dan Paul scholten. Dalam perkembangannya, dua sistem penemuan hukum (otonom dan heteronom) itu saling mempengaruhi dan tidak ada batas yang tajam satu sama lain. Sehingga dalam praktik penemuan hukum, dijumpai pula penemuan hukum campuran antara kedua sistem tersebut.

c. Campuran

Dinegara-negara Eropa Kontenental semula menganut penemuan hukum heteronom, tetapi dalam perkembangannya telah bergeser kearah otonom. Implikasinya di Eropa cenderung mengandung unsur heteronom dan otonom. Asas yang dianut adalah “The persuacive force of precedent”, yaitu hakim tidak terikat pada putusan hakim lain dalam perkara yang sejenis.

Sedangkan di Inggris, stereotif (tipe awal) hakim melakukan penemuan hukum secara otonom, tidak dipengaruhi undang-undang, tetapi didorong oleh hati nuraninya. Dalam perkembangannya ada asas bahwa hakim terikat pada putusan-putusan mengenai perkara sejenis yang telah diputuskan hakim lain (Stare decisis et quita non movere / The binding force of precedent). Penemuan hukum di negara Anglo Saxon (Inggris) mengalami pergeseran dari penemuan hukum otonom ke arah penemuan hukum heteronom.

Hakim di Indonesia menganut penemuan hukum heteronom,sepanjang hakim terikat pada undang-undang. Tetapi dalam penemuan hukum itu juga mempunyai unsur otonom yang kuat, karena hakim seringkali harus menjelaskan atau melengkapi undang-undang menurut pandangannya sendiri.[4] Sebagai contoh kalau ada hakim Pengadilan Negeri yag mengacu kepada putusan hakim di atasnya (PT atau MA), tetapi asasnya tetap bahwa hakim tidak terikat pada putusan hakim lain. Hal ini merupakan sifat otonom. Mengacunya hakim pada putusan hakim lain, tidak berarti menganut asas The binding force of precedent, seperti dianut oleh negara-negara Anglo Saxon, tetapi karena adanya keyakinan bahwa putusan yang dianutnya itu memang tepat (the persuacive force of precedent).[5]
Sumber-sumber Penemuan Hukum
Sumber utama dalam penemuan hukum secara hierarkhi dimulai dari:

a. Peraturan perundang-undangan (hukum tertulis)

b. Hukum tidak tertulis (kebiasaan)

c. Yurisprudensi

d. Perjanjian internasional

e. Doctrine (pendapat para ahli hukum)

f. Putusan desa

g. Perilaku manusia

Jadi ada hierarkhi atau tingkatan-tingkatan dari atas kebawah dalam memposisikan sumber hukum. Hierarkhi ini juga menentukan sumber hukum utama yang digunakan antara sumber hukum satu dengan yang lainnya.

a. Peraturan Perundang-undangan (hukum tertulis)

Pembuatan hukum yang dilakukan secara sengaja oleh badan yang berwenang untuk itu merupakan sumber hukum yang bersifat hukum yang paling utama. Kegiatan dari badan tersebut disebut sebagai kegiatan perundang-undangan yang menghasilkan substansi yang tidak diragukan lagi kesalahannya. Tindakan yang dapat digolongkan ke dalam kategori perundang-undangan ini cukup bermacam-macam, baik yang berupa penambahan terhadap peraturan-peraturan yang sudah ada, maupun yang mengubahnya. Hukum yag dihasilkan oleh proses seperti itu disebut sebagai hukum yang diundangkan (enacted law,statute law) berhadapan dengan hukum yang tidak diundangkan (unenacted law, common law).

Suatu perundang-undangan menghasilkan peraturan yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

· Bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian merupakan kebalikan dari sifa-sifat yang khusus dan terbatas.

· Bersifat universal, Ia diciptakan untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang akan datang yang belum jelas bentuk konkretnya. Oleh karna itu ia tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi preistiwa-peristiwa tertentu saja.

· Ia memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri. Adalah lazim bagi suatu peraturan untuk mencantumkan klausul yang memuat kemungkinan dilakukannya peninjauan kembali.

Dalam ajaran penemuan hukum, undang-undang diprioritaskan atau didahulukan dari sumber-sumber hukum lainnya, karena undang-undang bersifat otentik dan berbentuk tertulis sehingga lebih menjamin kepastian hukum.

b. Hukum Kebiasaan

Tahun 1800 SM, sebagian besar hukum yang digunakan adalah hukum kebiasaan. Peranan hukum kebiasaan yang besar menurut Hart, terutama terjadi pada keadaan di mana baru ada 2 model masyarakat, yaitu masyarakat dengan tatanan aturan-aturan kewajiban primer dan sekunder. Pada tatanan yang disebut pertama, pedoman tingkah laku yang dibutuhkan masih sangat sederhana dan mampu dicukupi oleh norma-norma yang elementer sifatnya. Sifat elementer ini terlihat baik pada isi maupun bentuknya. Norma-norma pada tatanan seperti itu sangatlah dekat dengan kenyataan dan kehidupan sehari-hari. Tidak seperi halnya pada perundang-undangan, waktu itu belum dijumpai usaha yang dilakukan secara sadar untuk membuat pedoman tingkah laku dalam bentuk yang formal definitif, yaitu tertulis.[6]

Menurut Fitzgerald: “kebiasaan bagi masyarakat adalah hukum bagi negara”. Keduanya tidak saling meniadakan, masing-masing merupakan ekspresi dan perwujudan asas-asas hukum dan keadilan menurut pandangan dan kemampuan manusia. Perbedaannya terletak pada hukum yang membadankan asas-asas tersebut bukan melalui kekuasaan negara, melainkan melalui penerimaan dan persetujuan pendapat umum masyarakat.

Pasal 15 AB menyebutkan bahwa “hukum pada umumnya melengkapi undang-undang dan tidak dapat mengesampingkan undang-undang”. Selanjutnya pasal 28 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 menyatakan bahwa “hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.[7] Oleh karena itu dalam keadaan tertentu, hukum kebiasaan dapat saja mengalahkan undang-undang yang bersifat pelengkap.

c. Yurisprudensi

Yurisprudensi adalah putusan hakim yag berkekuatan hukum tetap. Yahya Harahap dalam hal ini menambahkan dua syarat dalam yurisprudensi, yaitu:

1. Berisi terobosan hukum

2. Diikuti oleh para hakim maupun masyarakat pada umumnya

Di lingkungan peradilan dikenal yurisprudensi tetap (vaste jurisprudence), yaitu apabila kaidah atau ketentuan dalam suatu putusan diikuti secara konstan oleh para hakim dalam putusannya dan dapat dianggap menjadi bagian dari keyakinan hukum umum masyarakat.

Beberapa contoh yurisprudensi dalam peradilan seperti tersebut di bawah ini :[8]

1. Semula janda hanya sebagai pihak yang berhak atas warisan, kemudian kedudukannya berubah menjadi ahli waris (Yurisprudensi MA, tanggal 13 april 1960)

2. Beli sewa tidak diatur dalam perundang-undangan, tetapi dasar hukumnya diketemukan dalam putusan kasasi Mahkamah Agung, tanggal 18 Desember 1957

3. Fiducia berdasarkan pasal 1152 KUH perdata adalah tidak sah, karena barang yang digadaikan tetap dibiarkan dalam kekuasaan yang berhutang (peminjam barang), tetapi kemudian dibenarkan dalam yurisprudensi Hooge Raad, tanggal 25 januari 1929. Oleh karena itu fiducia sering disebut dengan gadai yang terlarang.

d. Perjanjian Internasional (Treaty)

Perjanjian internasional merupakan perjanjian yang melibatkan dua negara atau lebih mengenai sesuatu hal. Perjanjian yang melibatkan dua negara disebut perjanjian bilateral, sedangkan apabila melibatkan banyak negara disebut multilateral. Dalam bidang hukum, perjanjian internasional bisa berupa perjanjian ekstradisi pelaku kejahatan, kerjasama dalam menyampaikan dokumen-dokumen serta bukti-bukti perkara dalam pengadilan dan lian-lain.

e. Doktrin / Pendapat Ahli Hukum

Doktrin adalah pendapat ahli hukum yang mempunyai pengaruh dalam perkembangan dan praktik hukum, yang biasanya dijadikan sebagai acuan bagi hakim maupun pelaku hukum lainnya dalam mengambil suatu putusan. Batasan atau pengertian sesuatu yang terlalu umum, tidak lengkap atau tidak jelas dalam perundang-undangan, maka doktrin akan melengkapi dan menjelaskan.

f. Putusan Desa

Putusan desa merupakan penetapan administratif oleh hakim perdamaian desa. Pasal 120 a HIR atau pasal 143a RBg mengatur tentang hakim perdamaian desa, tetapi berdasarkan Undang-Undang darurat No. 1 tahun 1951, ketentuan tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi. Putusan desa bukan lembaga eksekutif, sehingga hakim peradilan umum tidak berwenang untuk menilai dengan membatalkan atau mengesahkannya.

g. Perilaku Manusia

Hukum tidak hanya berwujud kaidah atau norma saja, tetapi dapat berupa perilaku(sein). Dari perilaku manusia ada yang bersifat aktif yaitu perbuatan konkret dan adapula yang bersifat pasif seperti sikap atau iktikad.[9]
Aliran-Aliran Penemuan Hukum
Sebelum 1800 sebagian besar hukum adalah hukum kebiasaan sebagai reaksi terhadap ketidak-pastian dan ketidak-seragaman hukum, maka timbullah usaha untuk penyeragaman hukum dengan jalan kodifikasi, yaitu menuangkan hukum dalam undang-undang (codex). Lambat-laun timbullah masalah tentang apa yang merupakan (satu-satunya) sumber hukum. Lahirlah aliran-aliran penemuan hukum, yang pada dasarnya bertitik tolak pada pandangan mengenai apa yang merupakan sumber hukum.

Jadi aliran-aliran itu merupakan aliran-aliran tentang ajaran sumber hukum. Beberapa aliran penemuan hukum yaitu:[10]

1. Aliran Legisme

Sebagai penganut teori ini antara lain: Montesqueu, Rousseou, Robbespierre,Fennet, Rudolf van Jhering, G. Jellineck, Care de Malberg, H. Nawiatski, dan Hans kelsen. Aliran ini berpandangan bahwa satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang, karena undang-undang dianggap sudah lengkap dan jelas dalam mengatur semua persoalan hukum. Sehingga hakim tidak boleh berbuat selain dari menerapkan undang-undang secara tegas apa adanya. Jadi hakim hanya sekedar corong atau terompetnya undang-undang (La bouche de la loi).Dengan demikian menurut aliran ini, hukum dan undang-undang dianggap identik dan yang lebih dipentingkan adalah dalam rangka menjamin kepastian hukum.

Hakim hanyalah sebagai subsumtie automaat,yaitu kedudukan hakim ada dibawah undang-undang atau hanya sebagai pelaksana undang-undang, sehingga hakim tidak berwenang mengubah isi undang-undang. Hakim hanya berwenang menerapkan peraturan hukum pada peristiwa konkret dengan bantuan metode penafsiran, terutama penafsiran gramatikal, yaitu penafsiran menurut bahasa di mana arti ketentuan undang-undang dijelaskan menurut bahasa umum sehari-hari.

1. Mazhab Historis

Mahzab historis lahir pada abad 20,sebagai hasil kesadaran bahwa UU tidak mungkin lengkap. Seiring dengan waktu nilai yang dituangkan dalam UU tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Konsekwensinya akan terdapat kekosongan dan ketidakjelasan dalam UU. Oleh karena itu hakim dapat membuat hukumannya(judge made law). Hukum kebiasaan dan yurisprudensi dapat melengkapi UU dan dianggap sebagai unsur sistem hukum. Menurut Von Savigny(1779-1861) kesadaran hukum (volksgeist),yang paling murni terdapat dalam kebiasaan. Peraturan hukum terutama merupakan pencerminan keyakinan hukum dan praktik-praktik yang terdapat dalam kehidupan bersama.

2. Begriffsjurisprudenz

Dalam pertengahan abad 19 lahirlah aliran yang dipelopori oleh Rudolf van Jhering(1818-1890),yang menekankan pada sistematik hukum. Menurut aliran ini,yang ideal adalah apabila sistem yang ada itu berbentuk suatu piramida dengan puncakknya suatu azas utama,dari situlah dapat dibuat pengertian-pengertian baru sebagai suatu sistem penemuan hukum.[11]

Aliran tersebut merupakan pengembangan sistem azas-azas dan pengertian umum yang digunakan untuk mengkaji undang-undang. Aliran ini lebih memberikan kebebasan pada hakim,hakim mudah menjadi abdi dari dogma dan atau undang-undang,hakim tidak perlu terikat pada bunyi undang-undang tetapi dapat mengambil argumentasinya dari peraturan hukum yang tersirat dalam undang-undang. Kesalahan dari aliran ini adalah terlalu mendewa-dewakan rasio dan logika dalam meluaskan undang-undang sampai terbentuknya hukum. Mereka secara terbalik memandang alat sebagai tujuan sehingga keadilan dan manfaat kemasyarakatan tidak tercapai.

3. Penemuan Hukum Modern

Penemuan hukum modern lahir setelah Perang Dunia II,dibawah pengaruh eksistensialisme adanya kejadian tersebut dan merupakan kritik terhadap pandangan hakim. Dasar pemikiran atau pandangan ajaran ini diantaranya:[12]

· Yang menjadi titik tolak bukan pada sistem perundang-undangan,tetapi masalah kemasyarakatan konkret yang harus dipecahkan.

· Tujuan pembentuk undang-undang dapat digeser,dikoreksi,tetapi tidak boleh diabaikan.

· Penemuan hukum modern berpendirian bahwa atas satu pertanyaan hukum dapat dipertahankan berbagai jawaban dalam sistem yang sama.

· Tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia,maka dalam menemukan hukum harus diperhatikan pula perkembangan masyarakat dan perkembangan teknologi.

· Metode penafsiran yang digunakan terutama theologis,yang lebih memperhatikan tujuan dari undang-undang daripada bunyi kata-katanya saja.
Aliran Studi Hukum Kritis
Sesuai dengan namanya,maka aliran ini mengkritik secara konsepsional teori hukum tradisional yang berlaku pada saat ini. Aliran ini lahir di Amerika Serikat,yang menjadi obyek kritik sebenarnya adalah hukum di Amerika tersebut. Gerakan ini lahir karena perkembangan atas ketidakpuasan terhadap teori dan praktik hukum dalam bidang-bidang seperti:

· Terhadap pendidikan hukum.

· Pengaruh politik yang sangat kuat terhadap dunia hukum.

· Kegagalan peran hukum dalam menjawab permasalahan yang ada.

Adapun aliran tersebut memiliki beberapa karakteristik umum sebagai berikut:[13]

· Aliran ini mengkritik hukum yang berlaku karena nyatanya memihak ke politik,dan sama sekali tidak netral.

· Aliran ini mempunyai komitmen yang besar terhadap kebebasan individual dengan batasan-batasan tertentu. Aliran ini banyak berhubungan dengan emansipasi kemanusiaan.

· Aliran ini kurang mempercayai bentuk-bentuk kebenaran yang abstrak tetapi pengetahuan yang benar-benar obyektif.

· Aliran ini menolak perbedaan antara teori dan praktik,dan menolak perbedaan antara fakta dan nilai,yang merupakan karakteristik dari faham liberal.

Pada prinsipnya aliran ini menolak anggapan ahli hukum tradisional yang mengatakan bahwa hukum itu obyektif(kenyataan adalah tempat berpijaknya hukum),hukum itu sudah tertentu(hukum menyediakan jawaban yang pasti dan dapat dimengerti),hukum itu netral(tidak memihak pada pihak tertentu).

Disamping menolak ketiga anggapan tersebut,para penganut aliran ini mengajukan pandangannya sebagai berikut:[14]

Ø Hukum mencari legitimasi yang salah

Hukum mencari legitimasi dengan cara yang salah,dengan jalan mistifikasi,dengan menggunakan prosedur hukum yang berbelit dan bahasa yang susah dimengerti,sehingga pihak yang ditekan oleh orang yang punya kuasa cepat percaya bahwa hukum adalah netral.

Ø Tidak ada yang namanya prisip-prinsip dasar dalam hukum

Menurut mereka pemikiran yang rasional itu merupakan ciptaan masyarakat juga,yang merupakan pengakuan terhadap kekuasaan.

Ø Hukum tidak netral

Aliran ini berpendapat bahwa hukum tidak netral,dan hakim hanya berpura-pura atau percaya secara naif bahwa dia mengambil keputusan secara netral dan tidak memihak dengan mendasari putusannya pada undang-undang,yurisprudensi,atau prinsip keadialan. Padahal mereka selalu bisa dipengaruhi oleh ideologi yang dianutnya untuk memperkuat kelas yang dominan.[15]
Metode Penemuan Hukum
Dalam upaya menemukan hukumnya terdapat beberapa metode penemuan hukum yang selama ini sudah dikenal,yaitu interpretasi(penafsiran), argumentasi(penalaran/pendapat), dan eksposisi(konstruksi hukum). Fungsi dari ketiganya yaitu apabila peraturan perundang-undangan tidak jelas digunakanlah metode interpretasi,apabila peraturan perundang-undangan tidak lengkap digunakan metode argumentasi,dan apabila peraturan perundang-undangan tidak ada digunakan metode konstruksi hukum(eksposisi).

1) Metode Interpretasi (penafsiran)

Metode interpretasi adalah metode untuk menafsirkan terhadap teks perundang-undangan yang tidak jelas,agar perundang-undangan tersebut dapat diterapkan terhadap peristiwa konkret tertentu.[16] Yang diamksud penafsiran oleh hakim adalah penafsiran dan penjelasan yang harus menuju pada penerapan atau tidak menerapkan suatu peraturan hukum umum terhadap peristiwa konkret yang diterima oleh masyarakat.

Dalam hal ini hakim mempunyai kebebasan atau tidak terikat harus menggunakan metode interpretasi tertentu,tetapi yang terpenting bagi hakim ialah interpretasi yang dipilih dapat tepat sasaran,yaitu dapat memperjelas peraturan perundang-undangan sehingga dapat secara tepat diterapkan terhadap peristiwanya.[17] Dalam ilmu hukum dan praktik peradilan dikenal beberapa macam metode interpretasi,yaitu:

Ø Interpretasi Subsumptif

Adalah pererapan suatu teks perundang-undangan terhadap kasus dengan belum memasuki taraf penggunaan penalaran dan penafsiran yang lebih rumit,tetapi sekedar menerapkan sillogisme(bentuk berfikir logis dengan mengambil kesimpualan dari peristiwa umum). Contoh: “barang siapa mencuri dihukum”(peraturan). “kuncung mencuri burung”(peristiwannya). Kesimpulannya: “karena kuncung mencuri burung,maka ia harus dihukum”. Hal ini sama dengan penemuan hukum heteronom.

Ø Interpretasi Gramatikal

Adalah menafsirkan kata-kata atau istilah dalam perundang-undangan sesuai kaidah bahasa(hukum tata bahasa) yang berlaku.

Misalnya: istilah “menggelapkan” dalam pasal 41 KUHP ditafsirkan dengan “menghilangkan”. Dan istilah “meninggalkan” anak dalam pasal 305 KUHP ditafsirkan dengan “menelantarkan”.

Ø Interpretasi Sistematis (logis)

Adalah metode yang menafsirkan peraturan perundang-undangan dengan menghubungkannya dengan peraturan hukum(undang-undang lain) atau dengan keseluruhan sistem hukum. Dalam menafsirkan peraturan perundangannya tidak boleh keluar atau menyimpang dari sistem perundangan suatu negara.

Contoh: apabila hendak mengetahui tentang sifat pengakuan anak yang dilahirkan dari pernikahan orang tuanya,hakim tidak cukup mencari ketentuan dalam KUH Perdata saja,tetapi juga harus dihubungkan dengan pasal dalam KUH Pidana.

Ø Interpretasi Historis

Adalah penafsiran makna undang-undang menurut terjadinya dengan jalan meneliti sejarah,baik sejarah Perdata nya. Interpretasi ini biasanaya bersifat membatasi/mempersempit suatu pengertian dalam undang-undang.

Contoh: setiap tetangga itu termasuk seorang penyewa dari pekarangan disebelahnya,tetapi kalau dibatasi menjadi tidak termasuk tetangga penyewa,ini berarti hakim telah melakukan interpretasi restriktif(penafsiran dengan memperluas cakupan suatu ketentuan).

Ø Interpretasi Ekstensif

Adalah metode penafsiran yang membuat interpretasi melebihi batas-batas hasil interpretasi gramatikal. Digunakan untuk menjelaskan suatu ketentuan undang-undang dengan melampaui batas yang diberikan oleh interpretasi gramatikal.

Contoh: perkataan “menjual” dalam pasal 1576 KUH Perdata oleh hakim ditafsirkan secara luas bukan hanya jual-beli saja tetapi juga menyangkut peralihan hak milik(termasuk tukar-menukar,hibah dan pewarisan).

Ø Interpretasi Otentik atau Secara Resmi

Adalah memberikan keterangan atau pembuktian yang sempurna yang sah atau yang resmi. Dalam hal ini hakim tidak diperkenankan melakukan penafsiran dengan cara lain selain dari apa yang telah ditentukan pengertiannya didalam undang-undang itu sendiri. Itu artinya ketentuan pasal dalam undang-undang itu sudah sangat jelas,tegas,tertentu maksud yang dituju,sehingga tidak perlu penafsiran lagi dalam penerapannya.

Contoh: “apabila dalam undang-undang atau suatu perbuatan perdata,digunakan istilah barang bergerak perkakas rumah,mebel atau perabot rumah tangga dengan segala sesuatu yang ada didalamnya dan semuanya tanpa kata tambahan,perluasan atau pembatasan maka istilah itu harus dianggap meliputi benda-benda yang ditunjuk dalam pasal tersebut”.

Ø Interpretasi Interdisipliner

Dalam hal ini biasa dilakukan dalam suatu analisis masalah yang menyangkut berbagai disiplin ilmu hukum. Digunakan logika penafsiran lebih dari satu cabang ilmu hukum. Contoh: pasal yang menyangkut kejahatan “korupsi”,hakim menafsirkan ketentuan pasal dalam berbagai sudut pandang yaitu hukum pidana,administrasi negara,dan perdata.[18]

Ø Interpretasi Multidisipliner

Dalam hal ini hakim membutuhkan verifikasi dan bantuan dari lain-lain disiplin ilmu. Para hakim bebas menggunakan metode interpretasi mana yang dianggap paling tepat,meyakinkan,dan memuaskan. Hakim bersifat otonom dalam menentukan pilihannya,bahkan metode interpretasi secara campur aduk atau lebih dari satu jenis interpretasi sering digunakan.

Ø Interpretasi dalam Kontrak Perjanjian

Suatu perjanjian lahir karena ada kata sepakat diantara pihak dan kesepakatan itu baru ada kalau kehendak para pihak yang dinyatakan tersebut telah saling bertemu.[19]

Suatu kontrak terdiri dari serangkaian kata,untuk menetapkan isi kontrak perlu dilakukan penafsiran sehingga dapat diketahui dengan jelas maksud para pihak dalam kontrak. Penafsiran menurut aliran ini adalah menetapkan tindakan nyata dan menetapkan akibat hukum yang timbul karenanya.

Ø Interpretasi dalam Perjanjian Internasional

Interaksi antara ketentuan hukum nasional dengan kaidah hukum internasional akan semakin bertambah karena berkembangnya lalu lintas pergaulan hidup internasional. Hubungan kerjasama antarnegara senantiasa dipelihara dan ditingkatkan.

2) Metode Argumentasi

Disebut juga dengan metode penalaran hukum. Digunakan apabila undang-undangnya tidak lengkap,maka untuk melengkapinya digunakan metode argumentasi. Proses penemuan hukum dengan menggunakan metode argumentasi dapat dilakukan dengan beberapa cara,yaitu:[20]

Ø Metode Analogi

Metode ini berarti memperluas peraturan perundang-undangan,yang terlalu sempit ruang lingkupnya,dan diterapkan pada peristiwa yang diatur undang-undang. Metode analogi sering digunakan dalam perkara perdata. Analogi merupakan metode penemuan hukum dalam hal hukumnya tidak lengkap,jadi merupakan pengisian atau penciptaan hukum baru dan bukan sebagai bentuk penafsiran.

Ø Metode a Contrario

Merupakan cara menjelaskan makna undang-undang dengan didasarkan pada pengertian yang sebaliknya dari peristiwa konkret yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur dalam undang-undang. Esensinya adalah mengedepankan cara penafsiran yang berlawanan pengertian antara peristiwa konkret yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur dalam undang-undang.

Contoh: apabila disuatu tempat dilarang merokok,dengan menerapkan metode tersebut berarti dengan demikian seorang meludah boleh karena yang dilarang hanya merokok.

Ø Metode Penyempitan Hukum

Metode ini bertujuan untuk mengkonkretkan atau menyempitkan suatu aturan hukum yang terlalu abstrak,luas,dan umum,supaya dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa tertentu. contoh: “perbuatan melanggar hukum”,yang luas ruang lingkupnya dipersempit seperti masalah ganti kerugian,yurisprudensi menetapakan bahwa kalau ada kesalahan pada yang dirugikan, hanya dapat menuntut sebagian kerugian yang diakibatkan olehnya.[21]

Ø Metode Fiksi Hukum

Adalah sesuatu yang khayal yang digunakan didalam ilmu hukum dalam bentuk kata-kata,istilah-istilah yang berdiri sendiri atau dalam bentuk kalimat yang bermaksud untuk memberikan suatu pengertian hukum.

Fungsi dari fiksi hukum disamping untuk memenuhi hasrat menciptakan stabilitas hukum,juga utamanya untuk mengisi kekosongan undang-undang. Atau fiksi hukum itu bermaksud untuk mengatasi konflik antara tuntutan-tuntutan baru dengan sistem hukum yang ada.[22]

Contoh: “anak yang berada dalam kandungan seorang wanita,dianggap telah dilahirkan,jika kepentingan anak menghendakinya”. Apabila bapak si anak wafat,anak tersebut tidak akan kehilangan hak kewargaannya,anak itu mempunyai hak atas warisan ayahnya.

Tujuannya adalah untuk menghemat kata-kata yang digunakan dalam merumus kaidah hukum,sehingga dari satu pengertian akan mengandung pengertian yang lebih luas. Hendaknya ahli hukum menjauhkan dari pembentukan hukum yang khayal berusaha menyingkirkan istilah dan kalimat hukum yang sulit dipahami masyarakat,karena hukum itu bukan kesenian.

3) Metode Eksposisi (Konstruksi Hukum)

Adalah metode konstruksi hukum,yaitu metode untuk menjelaskan kata-kata atau membentuk pengertian(hukum) bukan untuk menjelaskan barang. Pengertian hukum yang dimaksud adalah yang merupakan alat-alat yang dipakai untuk menyusun bahan hukum yang dilakukan secara sistematis dalam bentuk bahasa dan istilah yang baik. Menyusun yang dimaksud ialah menyatukan apa yang termasuk dalam satu bidang yang sama,satu pengertian yang sama dan dipengaruhi oleh waktu tertentu serta keadaan tertentu.[23]

Tujuannya adalah agar putusan hakim dalam peristiwa konkret dapat memenuhi tuntutan keadilan,dan kemanfaatan bagi pencari keadilan. Contoh: istilah “pencurian” adalah suatu kontruksi hukum,suatu pengertian tentang mengambil barang dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum. Metode eksposisi dibagi dua,yaitu metode eksposisi verbal dan tidak verbal. Metode eksposisi verbal meliputi:

a. Metode Eksposisi Verbal Prinsipal

Metode ini masih dibagi lagi menjadi, metode individuasi adalah penjelasan nama-nama kesatuan individual. Diterapkan pada kata-kata individual dan sering digunakan tempat dan waktu. Sedangkan metode parafrase kalau digunakan dalam satu kalimat itu diganti dengan kalimat lain. Seperti kata “kepentingan” diubah menjadi “menimbulkan untung rugi”.

b. Metode Eksposisi Verbal Melengkapi

Dalam metode ini berisi berbagai komponen pelengkap,seperti yang diuraikan dalam bahasa indonesia mengenai sinonimasi,terjemahan,diskripsi,dll. Yang semuanya menerangkan mengenai metode penyampaian kalimat dalam kaitannya dengan penemaun hukum.

Sedangkan metode eksposisi tidak verbal yaitu metode representasi.

Ø Metode Representasi

Metode ini bekerja dengan menjelaskan suatu kata kepada orang lain,apabila ia menyebutkan kata sedang yang lain memperoleh gambaran melalui pancainderanya. Metode ini hanya dapat diterapkan pada kata-kata yang indikatif untuk sesuatu yang diamati dengan pancaindera (nama dan barang: almari,kursi,hijau,lembutaku,kamu,gempa bumi,tsunami,dll). [24]

F. Prosedur Penemuan Hukum

Merupakan langkah-langkah operasional yang dilakukan oleh hakim dalam penemuan hukum. Penemuan hukum merupakan proses atau rangkaian kegiatan yang bersifat kompleks yang dimulai sejak jawab-menjawab sampai dijatuhkan putusan. Peristiwa konkret harus dihubungkan dengan peraturan hukumnya agar dapat tercakup oleh peraturan hukum itu.[25]

v Tahap-tahap dalam Pemeriksaan Perkara Perdata.

Tergugat → ↓

┤Jawab menjawab→pembuktian→peristiwa konkrit&peristiwa hukum(UU)

Penggugat→ ↑ ↓

Putusan

Keterangan:[26]

ü Penggugat mengajukan gugatan yang berisi peristiwa konkret yang dijawab oleh tergugat dan dalam jawabannya yang berisi peristiwa konkret pula. Dari jawab menjawab itu dapat diketahui oleh hakim peristiwa manakah yang sekiranya menjadi sengketa antara kedua belah pihak.
ü Peristiwa konkret itu masih harus diteliti kebenarannya,hakim harus memperoleh kepastian melalui sesi tanya jawab tersebut. Setelah itu baru diseleksi yang mana peristiwa pokok/relevan dan yang tidak relevan.
ü Kemudian hakim mulai merumuskan masalah dan hanya peristiwa konkret (relevan) saja yang harus dibuktikan. Setelah peristiwa konkretnya terbukti kemudian dicaraikan peraturan hukumnya. Sumber penemuan hukumnya dapat diperoleh dari (peraturan perundang-undangan,putusan hakim,doktrin).[27]
ü Setelah menemukannya kemudian dibahas,ditafsirkan,dan dianalisis,setelah ditentukan maka peraturan diterapkan pada peristiwa hukumnya. Setelah itu diambil suatu putusan (yang sebelumnya harus direnungkan,dipertimbangkan,dan dievaluasi alternatif mana yang akan diambil). Tugas hakim adalah memeriksa,mengadili,dan memutuskan perkara.
ü Dalam suatu putusan idealnya ada 3 unsur,yaitu cita hukum(kepastian hukum) secara proporsional,kemanfaatan,dan keadilan,akan tetapi pada penerapannya jarang terdapat putusan yang mengandung 3 unsur itu. Dan hakim dalam memutuskan perkara bukan hanya sekedar harusselesai tetapi harus juga tuntas.[28]


[1] Bambang Sutiyoso.Metode Penemuan Hukum.(Yogyakarta:UII Press.2006)hlm.28-29
[2] Sudikno Mertokusumo. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. (Yogyakarta:Liberty. 1996) hlm.36-37.
[3] http://patawari.wordpress.com/2009/03/12/proses-penemuan-hukum/ tgl.01/12/2011
[4] Jimly Assiddiqie.2005.Aspek-Aspek Kekuasaan Kehakiman di Indonesia.(Yogyakarta:UII Press).hlm.71-72
[5] Bambang Sutiyoso.2006. Metode Penemuan Hukum.(Yogyakarta: UUI Press).hlm 38-40
Sudikno Mertokusumo.Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta. 1996) hlm.165-166
[6] Sudikno Mertokusumo.2008.Mengenal Hukum Suatu Pengantar.(Yogyakarta:Liberty).hlm.104-108
[7] Lihat,Penjelasan Pasal 28 Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
[8] Bambang Sutiyoso.2006. Metode Penemuan Hukum.(Yogyakarta: UUI Press).hlm.48
[9] Arrasjid,Chainur.2006.Dasar-Dasar Ilmu Hukum.(Jakarta:Sinar Grafika).hlm.52-6
[10] Bambang Sutiyoso.Metode Penemuan Hukum.(Yogyakarta:UII Press).hlm.52-53
[11] Sudikno Mertokusumo.2007. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar.(Yogyakarta: Liberty).hlm.97
[12] Bambang Sutiyoso.Metode Penemuan Hukum.(Yogyakarta:UII Press).hlm.66-67
Ahmad Ali.2002.Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis).(Jakarta:Gunung Agung Tbk).hlm.164
[13] Sudikno Mertokusumo.2007. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar.(Yogyakarta: Liberty).hlm.109
[14] Bambang Sutiyoso.Metode Penemuan Hukum.(Yogyakarta:UII Press).hlm.70-71
[15] Satjipto Raharjo.1996.Ilmu Hukum.(Bandung:PT.Citra Aditya Bakti).hlm.106
[16] Bambang Sutiyoso.Metode Penemuan Hukum.(Yogyakarta:UII Press).hlm.82
[17] Achmad Sanusi.1984.Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia.(Bandung:Penerbit Tarsito).hlm.86-87
[18] Bambang Sutiyoso.Metode Penemuan Hukum.(Yogyakarta:UII Press).hlm.94
[19] Ibid.95
[20] Peter Mahmud Marzuki.2007.Penelitian Hukum.(Jakarta:Prenada Media Group).hlm.84
[21] Bambang Sutiyoso.Metode Penemuan Hukum.(Yogyakarta:UII Press).hlm.111
[22] Ibid.112-113
[23] Ibid.115-116
[24] Hamidi,Jazim.2005.Hermeneu Hukum.(Yogyakarta:UII Press).hlm.52-54
[25] Sudikno Mertokusumo.2007. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar.(Yogyakarta: Liberty).81-83
[26] Bambang Sutiyoso.2006. Metode Penemuan Hukum.(Yogyakarta: UUI Press).hlm143-147
Chainur Arrasjid.2006.Dasar-Dasar Ilmu Hukum.(Jakarta:Sinar Grafika).hlm.86-95
[28] Sutiyoso,Bambang.2006. Metode Penemuan Hukum.(Yogyakarta: UUI Press).hlm.52


Share on Google Plus

About CeritakanSaja

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar: