Emile Durkheim adalah ilmuwan sosiolog dari Prancis. Ia lahir tahun 1858 dan meninggal tahun 1917. Ayah dan kakeknya adalah rabi. Durkheim, sejak kecil sudah mengikuti dan membiasakan diri untuk mengikuti tradisi keluarganya menjadi seorang rabi, namun pada akhirnya ia menyimpang dari tradisi ini. Dimungkinkan karena suatu pengalaman mistik, ia masuk agama katolik. Tetapi kemudian dia meninggalkan kekatolikannya dan menjadi seorang yang tidak mau tahu tentang agama (agnoistik). Masalah dasar dan perhatian terhadap masyarakat menjadi studinya hingga akhir hayatnya. Ia juga diakui sangat mahir dalam bidang ilmu hukum dan filsafat positif.
Di
dalam teori-teorinya tentang masyarakat, Durkheim menaruh perhatian besar pada
kaidah-kaidah hukum yang dihubungkan dengan jenis-jenis solidaritas yang
dijumpai dalam masyarakat.
Pusat
perhatianya terfokus pada pertanyaan besar tentang apa sebabnya masyarakat itu
terbentuk, bukankah masing-masing orang mempunyai kepentingan dan keinginan
sendiri-sendiri? Sekalipun demikian, mengapa mereka hidup dalam ikatan
masyarakat? Serta apa yang menyebabkan masyarakat itu terikat dalam satu kesatuan
kehidupan. Dalam mengungkapkan gagasannya tentang hukum, Durhkeim bertolak dari
penemuannya di masyarakat. Dengan metode empirisnya ia membuat kesimpulan bahwa
hukum sebagai moral sosial pada hakikatnya adalah suatu ekspresi solidaritas
sosial yang berkembang dalam suatu masyarakat. Hukum adalah cerminan
solidaritas. Menurut Durkheim, dalam solidaritas ada konsep kolektif atau
kesadaran bersama (common consiousness),
yang merupakan hasil kepercayaan dan perasaan dari seluruh anggota masyarakat.
a. Hukum
sebagai cerminan solidaritas
Durkheim merumuskan hukum sebagai suatu kaidah yang
bersanksi. Berat ringannya senantiasa tergantung dari sifat pelanggaran,
anggapa-anggapan serta keyakinan masnyarakat tentang baik tidaknya suatu
tindakan dan peranan sanksi-sanksi tersebut dalam masyarakat. Dengan demikian
maka kaidah-kaidah dapat diklasifikasikan menurut jenis-jenis sanksi yang
menjadi bagian utama dari kaidah hukum tersebut. Kaidah hukum yang
sanksi-sanksinya mendatangkan penderitaan bagi mereka yang melanggarnya disebut
kaidah hukum represif. Maksud dari pemberian hukum tersebur adalah mengurangi
kehormatan seorang warga masyarakat, merampas kemerdekaan dan kenikmatan
hidupnya.
Selain kaidah-kaidah hukum dengan sanksi yang mendatangkan
penderitaan begi mereka yang melanggarnya, dapat pula dijumpai kaidah-kaidah
hukum yang sifat sanksi-sanksinya berbeda dengan kaidah-kaidah hukum represif. Tujuan
utama dari sanksi-sanksi kaidah hukum jenis kedua ini tidak perlu semata-mata
mendatangkan penderitaan bagi mereka yang melanggarnya, melaikan untuk
mengembalikan keadaan pada situasi semula, sebelum terjadi keguncangan sebagai
akibat dilanggarnya kaidah hukum tersebut. Kaidah-kaidah hukum tersebut antara
lain mencakup hukum perdata, hukum dagang, hukum acara, hukum administrasi, dan
hukum tata negara setelah dikurangi unsur-unsur pidananya.
Hubungan antara solidaritas sosial dengan yang
bersifat represif terletak pada tingkah laku yang menghasilkan kejahatan. Yang dimaksud
dengan kejahatan adalah tindakan-tindakan yang secara umum tidak disukai atau
ditentang oleh warga masyarakat. Untuk menjelaskan ini, Durkheim menerangkan
bahwa setiap hukum tertulis mempunyai tujuan ganda yakni menetapkan
kewajiban-kewajiban tertentu dan untuk merumuskan sanksi-sanksinya. Dalam hukum
perdata dan setiap hukum yang bersifat restitutif, pembentuk undang-undang
merumuskan kedua tujuan tadi secara terpisah.
Pertama-tama dirumuskan kewajiban-kewajiban baru
ditentukan sanksi terhadap pelanggarannya. Sebagai contoh, dalam kitab
Undang-undang Hukum Perancis yang menetukan hak-hak dan kewajiban suami isteri,
tetapi tidak menyebutkan sanksi-sanksi apabila terjadi pelanggaran. Sanksinya harus
dicari ditempat lain, bahkan sanksinya tidak ada sama sekali. Di dalam hukum
pidana ditentukan secara jelas, inilah hukumannya, sedangkan dalam hukum perdata
ditekankan inilah kewajibanmu. Dengan demikian dapatlah ditarik kesimpulan
bahwa sepanjang hukum pidana kewajiban-kewajiban yang tidak dirumuskan telah
diketahui oleh warga masyarakat dan diterima serta ditaati.apabila suatu hukum
kebiasaan berubah menjadi hukum tertulis yang dikodifikasikan, maka hal itu
disebabkan kerena kebutuhan-kebutuhan proses peradilan yang menghendaki
ketentuan-ketentuan yang lebih tegas. Oleh karena hukum pidana dikodifikasikan
hanya untuk menentukan suatu skala hukuman-hukuman, maka sanksinya hanya dapat
diambil dari skala tersebut.
b. Jenis-jenis solidaritas
Menurut Durkheim, terkait dengan hukum, dalam
masyarakat terdapat dua jenis solidaritas, yaitu solidaritas mekanis dan
solidaritas organis. Solidaritas mekanis dapat ditemukan ekspresinya dalam
pelanggaran kaidah hukum yang bersifat represif. Solidaritas ini untuk
menanggulangi ancaman-ancaman dan pelanggaran-pelanggaran terhadap apa yang
disebut kesadaran nurani kolektif. Contoh, bahwa secara kolektif nurani
masyarakat menilai bahwa membunuh manusia adalah perbuatan yang tidak
dibenarkan.
Dalam masyarakat yang homogen dan belum mengenal
diferensiasi yang tinggi itu setiap perbuatan jahat dianggap menciderai nurani
kolektif masyarakat, dan untuk mereaksi perbuatan seperti itu diperlukan
pemidanaan, karena hanya dengan reaksi pembalasan yang spontan demikian itu
sajalah solidaritas sosial akan dapat dilindungi dan dilestarrikan. Tentang rehabilitasi
pelaku kejahatan, hukum tidaklah usah merisaukannya.
Sementara itu, dengan perkembangan kerja yang semakin
cepat, individu-individu tidak akan selamanya sama, sebab pekerjaan mereka
mengikuti fungsi spesifik. Akan tetapi, perasaan solidaritas mengikuti
pembagian kerja, yang membawa pada posisi saling melengkapi. Hal inilah yang
menyebabkan kegiatan bersama sebagai sumber perasaan solidaritas dari
macam-macam peradaban tertentu. Sebagai pengganti saling bertentangan dan
salingmelengkapi satu sama lainnya, sehingga pembagian kerja menentukan bentuk
kontrak moral baru antara individu. Durkheim menamakan ini sebagai solidaritas
organis.
di ambil dari Zulfatun Ni'mah, Sosiologi Hukum: Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Teras, 2012)
Blogger Comment
Facebook Comment