“SIAPAKAH AKU?”- IDENTITAS MUSLIM DI BARAT
(John L. Esposito, Masa Depan Islam: Antara Tantangan Kemajemukan dan Benturan Dengan Barat, alih bahasa Eva Y. Nukman dan Edi Wahyu SM, New York: Oxford University, 2010, hlm 49-52.)
Noda “orang luar” dan terorisme masih terus membungkus umat Muslim sebagai “orang lain”. Sebagaimana diungkapkan Hadia Mubarak, presiden perempuan pertama Asosiasi Muslim Nasional AS, “Islam masih disamakan dengan budaya asing… bagaimana kami menunjukkan komitmen kami terhadap Islam menyatu dengan identitas Amerika kami? Bagaimana umat Muslim mendemonstrasikan ibadah- memakai jilbab, rehat kerja pada siang hari Jumat untuk mengikuti shalat berjamaah, membangun masjid, dan lain-lain- tidaklah merendahkan patriotisme atau kebanggaan kami menjadi warga Amerika? Mereka yang berjuang untuk “berhasil” di lingkungan budaya dan politik Amerika atau Eropa sering merasa menjadi orang asing ditengah masyarakat Barat dan percaya bahwa mereka mesti menanggalkan identitasnya agar bisa diterima.
Ini dapat mendorong sebagian orang untuk menolak asimilasi, kecuali jika mereka menjadi sangat “Terbaratkan”, maka mereka akan kehilangan kekhasan mereka sebagai suatu budaya dan iman agama yang unik. Bukan hanya orang barat, melainkan juga kaum muslim digiring untuk mempertanyakan apakah mereka orang Muslim yang tinggal di Amerika ataukan Muslim-Amerika, Muslim yang kebetulan tinggal di Eropa ataukan Muslim-Eropa.
Dapat diduga, umat Muslim pada masa depan akan menghadapi tantangan untuk mempertahankan iman dan identitas mereka sembari berintegrasi kedalam masyarakat Amerika dan Eropa yang kadang kala bermusuhan. Negara-negara Barat menawarkan kebebasan yang tidak tersedia di banyak dunia Muslim, tetapi nilai-nilai pluralisme Barat sedang diuji sedemikian dahsyat dengan cara yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Apa batasan pluralisme Barat ini? Siapakah yang terikut atau terlempar darinya? Apakah itu sangat sekuler ataukah Yahudi-Kristen secara permanen? Dapatkah masyarakat Amerika dan Eropa menerima seutuhnya kaum Muslim (juga Hindu, Sikh, Buddha, dan lainnya) tidak sebagai “orang asing” yang perlu ditoleransi, tetapi sebagai saudara senegara dan tetangga yang dihormati dengan hak-hak politik dan religius yang sama?
Identitas imigran Muslim dibentuk oleh latar belakang agama, etnis, dan budaya, begitu juga pengalaman mereka di Barat. Hidup sebagai minoritas di dalam budaya yang dominan yang sering mengabaikan atau memusuhi Islam, banyak umat Islam menemukan diri mereka di lingkungan yang, seperti Norwegia, Denmark, dan Swedia, masih sangat homogen atau, seperti Inggris, Prancis, dan Jerman, berpegang teguh pada romantisme identitas nasional masa silam. Jika di Amerika Kekristenan dijadikan banyak orang sebagai bagian integral identitas, nilai dan budaya nasional, banyak orang Eropa, dihadapkan dengan pertumbuhan komunitas minoritas Muslim, menegaskan bahwa identitas Eropa tak terpisahkan dari etos sekuler nasional dan budaya Yahudi-Kristen. Kaum Muslim di Eropa dan Amerika yang secara tidak hati-hati membandingkan Kristen atau “budaya nasional” sekuler mereka dengan nilai-nilai Islam semakin menyulitkan dan menghalangi upaya sesama Muslim lainnya untuk berintegrasi dan berasimilasi.
Terdapat dua tanggapan luas Muslim mengenai identitas Muslim di Barat. Pertama, sebagian pemimpin Muslim kurang menyetujui integrasi dan menganjurkan untuk membuat komunitas keagamaan/budaya terpisah di dalam masyarakat Barat. Seperti etnis Katolik dan Yahudi di Amerika, yang awalnya menoleh ke negara asal mereka untuk mendatangkan pastor dan rabi, Muslim Barat mengandalkan hubungan dengan dunia Muslimnya untuk kepemimpinan dan dukungan keagamaan. Khususnya baru-baru ini, organisasi dan agensi internasional yang dibiayai Libia, Arab Saudi, Iran, dan Negara Teluk lainnya menyediakan dana yang besar untuk membangun banyak masjid dan sekolah serta menggaji imam, mengajarkan bahasa Arab dan Islam, menyebarkan literatur keagaan, dan mendukung kunjungan dari pemuka agama ternama.
Kendati seperti ini mulanya dapat memperkuat institusi keislaman, dalam jangka panjang juga dapat berdampak negatif. Bergantung pada sumber asing seperti Arab Saudi dengan Mazhab Wahabinya atau negara Muslim lainnya, dapat merintangi integrasi Muslim. Komunitas Muslim yang terlalu tergantung pada pemimpin keagamaan yang lahir dan dididik ditempat asing yang sering memiliki keinginan untuk menyesuaikan diri cenderung berpegang teguh pada pandangan dunia tradisionalis. Para pemimpin yang tidak dipersiapkan untuk menanggapi, bukan hanya bereaksi terhadap, tantangan kehidupan di Barat hanya akan menguatkan “mentalitas ghetto kebudayaan”, hidup, bertindak, dan mengajar seolah-olah mereka masih di Kairo, Makkah, atau Islamabad bukannya di New York, Detroit, London, Manchester, Marseiles, atau Berlin.
Mereka mungkin tidak hanya menganjurkan pengasingan diri dan menolak sistem politik Barat, tetapi juga mendorong keinginan untuk mengislamkan Barat. Sebagaimana yang dikatakan Hadia Mubarak, “Dalam delapan tahun terakhir, Muslim Amerika menyadari mereka tidak dapat menjalani hidup memisahkan diri tanpa memperhatikan kesejahteraan masyarakat mereka atau citra umum tentang Islam. Walaupun mereka memiliki persoalan yang sama dengan semua warga Amerika, … membayar hipotek dan menyekolahkan anak mereka sampai perguruan tinggi, mereka mengalami tanggung jawab tambahan untuk menghadapi sentiman anti-Muslim yang makin meningkat.
Respon kedua. “kami Muslim yang ditinggal di Amerika atau orang Amerika yang Muslim”, mewakili mayoritas Muslim di Amerika, yang makin terintregrasi dengan masyarakat mozaik baru mereka. Seperti kelompok keagamaan dan etnis lainnya, mereka memandang diri sendiri sebagian dari struktur Amerika dan memiliki keinginan kuat untuk hidup berdampingan bersama warga lainnya berlandaskan nilai-nilai dan kepentingan kewarganegaraan, religius, sosial bersama. Luis Lugo, direktur Pew Forum on Religion and Public Life, menyimpulkan, Muslim Amerika memilikai banyak kesamaan dangan yang lainnya di negara ini … mereka tidak memandang adanya konflik antara menjadi Muslim yang taat dan hidup dalam masyarakat Modern.
Altaf Husain dari Howard University mendorong Muslim untuk “tak henti-hentinya berfokus pada keterlibatan sebagai warga negara … untuk berkontribisi dalam perbaikan masyarakat Amerika lewat penekanan kuat pada keluarga dan kerja keras, melindungi lingkungan, menegakkan keadilan, berjuang melawan ketidakadilan dan penindasan, serta mengurusi dan melayani warga yang paling rentan dalam masyarakat. Bahkan, ketika sebagian kecil saudara seiman di dekat atau di bagian dunia yang jauh melakukan teror mengatasnamakan Islam, hal itu tidak boleh menghalangi kita membuat diri kita berguna dalam ucapan dan tindakan mendukung Amerika.
(John L. Esposito, Masa Depan Islam: Antara Tantangan Kemajemukan dan Benturan Dengan Barat, alih bahasa Eva Y. Nukman dan Edi Wahyu SM, New York: Oxford University, 2010, hlm 49-52.)
Noda “orang luar” dan terorisme masih terus membungkus umat Muslim sebagai “orang lain”. Sebagaimana diungkapkan Hadia Mubarak, presiden perempuan pertama Asosiasi Muslim Nasional AS, “Islam masih disamakan dengan budaya asing… bagaimana kami menunjukkan komitmen kami terhadap Islam menyatu dengan identitas Amerika kami? Bagaimana umat Muslim mendemonstrasikan ibadah- memakai jilbab, rehat kerja pada siang hari Jumat untuk mengikuti shalat berjamaah, membangun masjid, dan lain-lain- tidaklah merendahkan patriotisme atau kebanggaan kami menjadi warga Amerika? Mereka yang berjuang untuk “berhasil” di lingkungan budaya dan politik Amerika atau Eropa sering merasa menjadi orang asing ditengah masyarakat Barat dan percaya bahwa mereka mesti menanggalkan identitasnya agar bisa diterima.
Ini dapat mendorong sebagian orang untuk menolak asimilasi, kecuali jika mereka menjadi sangat “Terbaratkan”, maka mereka akan kehilangan kekhasan mereka sebagai suatu budaya dan iman agama yang unik. Bukan hanya orang barat, melainkan juga kaum muslim digiring untuk mempertanyakan apakah mereka orang Muslim yang tinggal di Amerika ataukan Muslim-Amerika, Muslim yang kebetulan tinggal di Eropa ataukan Muslim-Eropa.
Dapat diduga, umat Muslim pada masa depan akan menghadapi tantangan untuk mempertahankan iman dan identitas mereka sembari berintegrasi kedalam masyarakat Amerika dan Eropa yang kadang kala bermusuhan. Negara-negara Barat menawarkan kebebasan yang tidak tersedia di banyak dunia Muslim, tetapi nilai-nilai pluralisme Barat sedang diuji sedemikian dahsyat dengan cara yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Apa batasan pluralisme Barat ini? Siapakah yang terikut atau terlempar darinya? Apakah itu sangat sekuler ataukah Yahudi-Kristen secara permanen? Dapatkah masyarakat Amerika dan Eropa menerima seutuhnya kaum Muslim (juga Hindu, Sikh, Buddha, dan lainnya) tidak sebagai “orang asing” yang perlu ditoleransi, tetapi sebagai saudara senegara dan tetangga yang dihormati dengan hak-hak politik dan religius yang sama?
Identitas imigran Muslim dibentuk oleh latar belakang agama, etnis, dan budaya, begitu juga pengalaman mereka di Barat. Hidup sebagai minoritas di dalam budaya yang dominan yang sering mengabaikan atau memusuhi Islam, banyak umat Islam menemukan diri mereka di lingkungan yang, seperti Norwegia, Denmark, dan Swedia, masih sangat homogen atau, seperti Inggris, Prancis, dan Jerman, berpegang teguh pada romantisme identitas nasional masa silam. Jika di Amerika Kekristenan dijadikan banyak orang sebagai bagian integral identitas, nilai dan budaya nasional, banyak orang Eropa, dihadapkan dengan pertumbuhan komunitas minoritas Muslim, menegaskan bahwa identitas Eropa tak terpisahkan dari etos sekuler nasional dan budaya Yahudi-Kristen. Kaum Muslim di Eropa dan Amerika yang secara tidak hati-hati membandingkan Kristen atau “budaya nasional” sekuler mereka dengan nilai-nilai Islam semakin menyulitkan dan menghalangi upaya sesama Muslim lainnya untuk berintegrasi dan berasimilasi.
Terdapat dua tanggapan luas Muslim mengenai identitas Muslim di Barat. Pertama, sebagian pemimpin Muslim kurang menyetujui integrasi dan menganjurkan untuk membuat komunitas keagamaan/budaya terpisah di dalam masyarakat Barat. Seperti etnis Katolik dan Yahudi di Amerika, yang awalnya menoleh ke negara asal mereka untuk mendatangkan pastor dan rabi, Muslim Barat mengandalkan hubungan dengan dunia Muslimnya untuk kepemimpinan dan dukungan keagamaan. Khususnya baru-baru ini, organisasi dan agensi internasional yang dibiayai Libia, Arab Saudi, Iran, dan Negara Teluk lainnya menyediakan dana yang besar untuk membangun banyak masjid dan sekolah serta menggaji imam, mengajarkan bahasa Arab dan Islam, menyebarkan literatur keagaan, dan mendukung kunjungan dari pemuka agama ternama.
Kendati seperti ini mulanya dapat memperkuat institusi keislaman, dalam jangka panjang juga dapat berdampak negatif. Bergantung pada sumber asing seperti Arab Saudi dengan Mazhab Wahabinya atau negara Muslim lainnya, dapat merintangi integrasi Muslim. Komunitas Muslim yang terlalu tergantung pada pemimpin keagamaan yang lahir dan dididik ditempat asing yang sering memiliki keinginan untuk menyesuaikan diri cenderung berpegang teguh pada pandangan dunia tradisionalis. Para pemimpin yang tidak dipersiapkan untuk menanggapi, bukan hanya bereaksi terhadap, tantangan kehidupan di Barat hanya akan menguatkan “mentalitas ghetto kebudayaan”, hidup, bertindak, dan mengajar seolah-olah mereka masih di Kairo, Makkah, atau Islamabad bukannya di New York, Detroit, London, Manchester, Marseiles, atau Berlin.
Mereka mungkin tidak hanya menganjurkan pengasingan diri dan menolak sistem politik Barat, tetapi juga mendorong keinginan untuk mengislamkan Barat. Sebagaimana yang dikatakan Hadia Mubarak, “Dalam delapan tahun terakhir, Muslim Amerika menyadari mereka tidak dapat menjalani hidup memisahkan diri tanpa memperhatikan kesejahteraan masyarakat mereka atau citra umum tentang Islam. Walaupun mereka memiliki persoalan yang sama dengan semua warga Amerika, … membayar hipotek dan menyekolahkan anak mereka sampai perguruan tinggi, mereka mengalami tanggung jawab tambahan untuk menghadapi sentiman anti-Muslim yang makin meningkat.
Respon kedua. “kami Muslim yang ditinggal di Amerika atau orang Amerika yang Muslim”, mewakili mayoritas Muslim di Amerika, yang makin terintregrasi dengan masyarakat mozaik baru mereka. Seperti kelompok keagamaan dan etnis lainnya, mereka memandang diri sendiri sebagian dari struktur Amerika dan memiliki keinginan kuat untuk hidup berdampingan bersama warga lainnya berlandaskan nilai-nilai dan kepentingan kewarganegaraan, religius, sosial bersama. Luis Lugo, direktur Pew Forum on Religion and Public Life, menyimpulkan, Muslim Amerika memilikai banyak kesamaan dangan yang lainnya di negara ini … mereka tidak memandang adanya konflik antara menjadi Muslim yang taat dan hidup dalam masyarakat Modern.
Altaf Husain dari Howard University mendorong Muslim untuk “tak henti-hentinya berfokus pada keterlibatan sebagai warga negara … untuk berkontribisi dalam perbaikan masyarakat Amerika lewat penekanan kuat pada keluarga dan kerja keras, melindungi lingkungan, menegakkan keadilan, berjuang melawan ketidakadilan dan penindasan, serta mengurusi dan melayani warga yang paling rentan dalam masyarakat. Bahkan, ketika sebagian kecil saudara seiman di dekat atau di bagian dunia yang jauh melakukan teror mengatasnamakan Islam, hal itu tidak boleh menghalangi kita membuat diri kita berguna dalam ucapan dan tindakan mendukung Amerika.
0 komentar:
Post a Comment