PERTAUTAN ISLAM DAN POLITIK


Sebagaimana disinggung diatas, Islam dan politik kerap digambarkan sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan. Tetapi pertanyaan apakah Islam itu merupakan agama dan sistem kekuasaan (din wa’l dawla) masih menjadi perdebatan hangat dikalangan para sarjana. Sumber-sumber doktrinal Islam (al-Quran dan Hadits) menyinggung sedikit sekali masalah pemerintahan dan negara. Namun, masalah pertama yang langsung menghadang Muslim sepeninggal Nabi Muhammad adalah masalah pemerintahan yang menuntut para sahabat ketika itu mengembangkan inovasi dan kesepakatan tentang format dan bangunan pemerintahan. Bahkan, perseteruan awal yang berkembang di kalangan Muslim menyangkut soal politik, yang akhirnya mengarah pada perpecahan yang melahirkan kelompok Sunni, Khawarij, Syiah dan sekte-sekte lainnya.
Sekalipun fakta-fakta sejarah ini, upaya teoritasi tentang hubungan Islam dan politik baru muncul belakangan. Banyak wacana dan teori diproduksi dalam bayang-banyang kekuasaan pada masa kejayaan sistem monarki absolut yang otoriter dibawah kepemimpinan khalifah despotik, yang telah menjauh dari cita ideal sistem kekhalifahan semasa Khulafa al-Rasyidin. Para fuqoha yang berkhidmat untuk kekuasaan ketika itu mengukuhkan hubungan antara agama dan politik dengan memberi legitimasi keagamaan kepada kekuasaan politik.
Ideolog-ideolog yang berada dibalik ekspansi Islam politik di dunia Muslim kontemporer menggali warisan pemikiran dari pemikiran dari para fuqoha klasik untuk melegitimasi tesis mereka tentang kaitan erat antara agama dan politik, namun mereka membelik arahnya, yakni menegaskan ketidakterpisahan antara Islam dan politik bukan untuk tujuan melegitimasi sistem kekuasaan yang ada, tetapi alih-alih melawannya. Posisi mereka berseberangan dengan penguasa. Dengan segenap upaya, mereka menjelaskan ketidak absahan sistem politik yang dianit rezim penguasa dan mempolitisasi visi keagaan tertentu yang mereka miliki. Mereka sangat inovatif dan kerap kali tidak peduli dengan bunyi teks (al-Qur’an dan Hadits) ketika menjelaskan hubungan antara Islam dan politik. Gagasan-gagasan para fuqoha klasik ditelikung dan tokoh-tokohnya diabaikan, kecuali segelintir yang dielu-elukan, seperti Taqiy al-Din Ahmad ibn Taymiyah. Mereka bahkan tidak ragu-ragu meminjam tradisi dan praktik yang berkembang dari musuh-musuh Sunni untuk memperkuat posisi ideologis dan politis mereka.
Islam politik adalah sebuah fenomena baru. Ia bukan gerakan kembali ke masa lalu, atau ke suatu tradisi yang berkembang di masa lalu, atau ke suatu tradisi yang berkembang di masa lalu. Ia bukan juga gerakan kembali ke teori tentang hubungan Islam dan politik yang diformulasikan para fuqoha di masa lampau. Ia hanya mempertahankan tradisi juridis klasik yang mengaitkan Islam dan politik untuk mengembangkan gagasan baru dan mengubah hubungan formalistik dan simbolik antara Islam dan politik itu menjadi tak terpisahkan dan nyata. Dengan membelik ciri hubungan tradisional antara hubungan Islam dan politik, mereka berupaya menjadikan politik tunduk pada agama, bukan sebaliknya sebagaimana terjadi dalam sejarah. Lalu bagaimana sebenarnya hubungan agama dan politik itu dalam tradisi Islam?
Kesan umum yang berkembang dalam lingkaran akademik Barat menganggap Islam memang sebagai agama politik, didasari pemehaman bahwa Islam memantapkan eksistensinya melalui penaklukan militer. Namun, anggapan ini tidak memiliki landasan yang kuat. Sebagaimana disinggung diatas, sumber doktrinal Islam menyinggung sedikit sekali persoalan  politik, menyangkut bagaimana membentuk negara, menjalankan pemerintahan ataupun mengatur organisasi. Jika para penguasa negara Islam historis juga merupakan pemimpin spititual komunitas mereka, ini bukan karena Islam menuntut pemimpin agama (iman) harus menjadi penguasa politik. Sebaliknya, Islam tersebar di eilayah yang mode produksinya cenderung menerapkan kontrol yang ketat dari negara dimana negara selalu memainkan peran yang penting dalam kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat. Kontrol atas agama selalu menjadi instrumen negara untuk menancapkan hegemoni ideologisnya. Negara-negara Islam historis mewarisi tradisi ini.

Dalam fase awal sejarah Islam, keislaman seseorang kerap diukur dari aspek ekonomi dan politik semata. Perluasan wilayah maupun pengenaan pajak jiwa (jizyah) kepada non-Muslim di kawasan-kawasan taklukan telah menjamin pendapatan dan posisi militer ataupun administratif muslim, yang merupakan minoritas di kawasan tersebut. Namun di masa Umar bin Khatab, klakifah kedua, muslim berbondong-bondong datang ke wilayah taklukan. Namun karena kedatangan mereka begitu massif dan cepat, tidak semua pendatang itu bisa dimasukkan ke dalam daftar (diwan) penerima subsidi tunai reguler negara. Mereka, yang umumnya  berasal dari suku-suku kecil dan pinggiran, kemudian menjadi kelompok-kelompok frustasi yang bergerak membentuk gerakan oposisi politik keagamaan melawan negara; Khawarij. Penaklukan terus berlangsung dan merambah wilayah Persia dan sekitarnya. Banyak penduduknya segera memeluk Islam untuk menghindari jizyah namun tetap dimarginalkan karena mereka bukan Arab. Eksklusi sosial dan kelompok-kelompok semacam itu melahirkan gerakan oposisi keagamaan politik besar kedua melawan negara; Syiah. Khawarij dan Syiah berupaya menggunakan argumen-argumen agama untuk menggugat legitimasi sistem pemerintahan dan penguasanya. Gejolak politik ketika itu memunculkan teori-teori juridis pertama yang resmi tentang negara.
Dengan perubahan sebagai akibat penaklukan besar-besar, negara Islam mengurus banyak komunitas Muslim yang tidak berbahasa Arab maupun mereka yang pindah agama Islam. Persoalan keamanan dan ketertiban maupun krisis keuangan segera menghadang negara. Sudah tidak ada hari-hari ketika menjadi Muslim berarti bebas membeyar pajak. Pendapatan dari jizyah tidak lagi memadai untuk memenuhi kebutuhan fiskal negara. Teori juridis baru perlu dimunculkan untuk menjustifikasi dan melegitimasi kebutuhan yang meningkat atas pajak dari Muslim sendiri. hal ini tercermin dari tulisan-tulisan yang diproduksi pada fuqoha negara dengan tujuan tersembunyi untuk memberikan legitimasi agama terhadap penguasa politik.

PERTAUTAN ISLAM DAN POLITIK
(Noorhadi Hasan, Islam Politik Di Dunia Kontemporer: Konsep, Genealogi Dan Teori, (Yogyakarta: Suka Press, 2012), hal 13-17)
Share on Google Plus

About CeritakanSaja

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar: