Ada ungkapan yang mengatakan “Ubi societas ibis lus” yang artinya di mana ada masyarakat di sana ada hukum, dengan kata lain hukum itu tercipta karena adanya sutu masyarakat yang memiliki kepentingan yang berbeda satu sama lain, sehingga perlu adanya suatu aturan agar hak-hak dan kepentingan didalam kehidpan bermasyarakat dapat terjamin. Akan tetapi dengan cakupan hukum yang begitu luas dan menyentuh semua warga dunia, sehingga menimbulkan perbedaan-perbedaan yang sangat signifikan, dengan kata lain setiap negara-negara bahkan setiap daerah mempunyai sistem hukum yang berbeda.
Didalam setiap negara memiliki sistem hukum dan bentuk hukum yang berbeda satu sama lain, hal ini dipengaruhi oleh faktor-faktor keadaan yang ada disetiap negara tersebut. Didalam masyarakat dunia, tidak dipungkiri bahwa kiblat dalam menjalankan kehidupan hukum berkiblat hsistem hukum yang berada di wilayah barat, atau yang sering kita sebut dengan hukum barat. Hukum barat ini banyak diadopsi oleh banyak negar tak terkecuali indonesia yang memang banyak menyerap sistem hukum barat. Akan tetapi tidak sedikit pula negara-negara yang berkiblat pada hukum islam islam dan menjadikan acuan sebagai tatanan hukum dinegaranya. Indonesia sendiri selain mengadopsi hukum barat juga mengadopsi hukum-hukum islam, hal ini tidak dipungkiri dengan penduduk indonesia yang mayoritas beragama islam, sehingga hukum islam ini sangat perlu untuk diadopsi. Selain hukum barat dan hukum islam, indonesia sendiri dalam pembuatan hukumnya tidak sedikt pula mengacu pada hukum-hukum adat yang berlaku dimasyarakat, akantetapi hukum-hukum adat yang sangat beranekaragam dan berbeda disetiap daerah menyebabkan tidak semua hukum adat adijadikan hukum tertulis, hal ini disebabkan perbedaan kultur dan budaya yang beraneka ragam disetiap daerah masing-masing. Hukum barat, hukum islam dan hukum adat tentunya memiliki cirinya masing-masing dan memiliki sistem hukum yang saling berbeda satu sama lain, sehingga dalam makalah ini kami mencoba untuk menguraikannya sehingga kita dapat memahami apa itu hukum islam, hukum barat dan hukum adat itu sendiri.
1.Hukum Adat
Pengertian Hukum Adat
1. Hukum Adat
Hukum adat sering kita kenal dimasyakat dengan sebutan kebiasaan, hukum adat yang ada di Indonesia sangatlah beragam mengingat daerah indonesia yang memiliki keanekaragaman budaya dan agama yang saling berbeda. Hukum adat pertamakali diperkenalkan oleh C Snouck Hurgronje di Indonesia dari bahasa belanda yaitu “adatrecth” yang selanjutnya dipakai oleh Van Vollenhoven dengan istilah teknis yuridis. Istilah hukum adat baru muncul dalam perundang-undangan pada tahun 1980, yaitu dalam undang-undang belanda mengenai perguruan tinggi di negeri Belanda. Hukum adat mulai diperkanalkan sejak zaman belanda, hal ini terbukti dengan adanya pengendalian masyarakat aceh dengan hukum adat. Hal ini diperjelas dengan sebuah buku yang berjudul De Atjehers yang dikarang oleh Snouck. Hukum adat adalah hukum non statutair dimana sebagian besar adalah hukum kebiasaan dan sebagian kecil hukum islam. Hukum adat memang tidak diberlakukan secara tertulis seperti halnya undang-undang, namun keberadaab hukum adat sendiri memang diakui sebagi suatu aturan yang berlaku didalam sebuah masyarakat tertentu dan dilindungi keberadaannya oleh undang-undang[1]. Hukum adat ditemukan pertamakali oleh tiga orang yang berkebangsaan belanda yang dikenal dengan trio penemu hukum adat yaitu
1. Penemu hukum adat yang pertama
Ialah Wilken datang di Indonesia sebagai pegawai pangreh praja belanda mula-mula diburu, kemudian di Gorontalo dan minahasa barat, selanjutnya di sipirok dan mandailing. Di semua daerah itu ia membukukan segala sesuatu yang dilihatnya, seperti tentang hak hutan diburu, tentang hak tanah hakullah di sipirok. Pada wilken hukum adat itu merupakan suatu bahan mandiri, meskipun ia tetap memelihara hubunganya dengan kebiasaan dan religi rakyat. Karena Wilken memberi tempat tersendiri kepada hukum adat itu, maka ia tidak mencampur adukkan hukum agama dengan hukum penduduk asli yang di sana-sini menunjukkan penyimpangan karena unsur-unsur agama islam atau agama hindu.
2. Penemu hukum adat yang kedua
Ialah Liefrinck menjalankan tugasnya di lapangan Hukum sebagai pegawai Pangreh Praja Belanda di Indonesia .Seperti halnya dengan Wilken,maka Liefrinck-pun memberi tempat tersendiri kepada Hukum Adat.Namun berbeda dengan Wilken,maka Liefrinck membatasi penyelidikannya hanya pada satu lingkungan Hukum Adat,yaitu Bali dan Lombok. Pada tahun 1927 tulisan-tulisan terpenting dari Liefrinck di kumpulkan oleh van Earde di dalam sebuah himpunan “Bali dan Lombok” dengan sub judul: “GESCHRIFTEN”.
3. Penemu hukum adat yang ketiga
Ialah Snouck Hurgronje seorang sarjana sastra yang menjadi politkus. Pada tahun 1884-1885 ia mengembara di tanah Arab sebagai mahasiswa,di Mekkah ia bertemu dengan orang Indonesia (Aceh dan Jawa) sehingga ia mengenal hukum adat.Tahun 1891 ia dikirim ke Indonesia untuk mempelajari lembaga Isalam,selama di Indonesia ia menulis beberapa buku: tentang lembaga-lembaga kebudayaan di Sumatera bagian utara,”De Atjehers”,dan “Het Gajoland”.Karyanya itu mengagumkan dunia Ilmu,karena ia mengarangnya berdasarkan percakapan belaka dengan orang-orang yang berada di pedalaman,sedang daerah itu belum atau tidak di kunjunginya. Karya utamanya “De Atjhers” dan “Het Hajoland”,terkonsentrasi pada satu lingkungan hukum atau bagian dan tidak bersifat perbandingan untuk seluruh Nusantara[2].
B. Sejarah Politik Hukum Adat
Perhatian terhadap hukum adat bermanifestasi ke dalam :
1) Lahirnya suatu ilmu hukum adat
2) Pelaksanaan suatu politik hukum adat
Sejarah politik hukum adat itu dapat dibagi atas 7 periode yaitu :
A. Masa Kompeni ( V.O.C ., 1596 – 1808 )
B. Masa Pemerintahan Deandels ( 1808 – 1811 )
C. Masa Pemerintahan Rafles ( 1811 – 1816 )
D. Masa 1816 – 1848
E. Masa 1848 – 1928
F. Masa 1928 – 1945
G. Masa 1945 sampai sekarang[3]
C. Beberapa jenis – jenis hukum adat
1. Hukum Perkawinan
Menurut Hukumadat, perkawinan bisa merupakan urusan kerabat, keluarga, persekutuan, martabat, bisa merupakan urusan pribadi, bergantung kepada tata-susunan masyarakat yang bersangkutan.
Bagi kelompok-kelompok wangsa yang menyatakan diri sebagai kesatuan-kesatuan, sebagai persekutuan-persekutuan hukum, (bagian clan, kaum, kerabat), perkawinan para warganya (pria, wanita atau kedua-duanya) adalah sarana untuk melangsungkan hidup kelompoknya secara tertib dan teratur, sarana untuk dapat melahirkan generasi baru yang melanjutkan garis hidup kelompoknya.
1. Langka perintis
Dengan menghidangkan sekapursirih, pihak yang satu biasanya pihak pria mengajak pihak lainya menjalin ikatan perkawinan tertentu.-4Pinangan demikian itu hampir selalu disampaikan oleh seoarang utusan, seorang wakil. Jika lamaranya diterima, biasanya diadakan pertunangan terlebihdahulu.
2. Nama dan Funksi Hadiah Pertunangan
Hadiah itu jatuh ketangan kelompok kerabat, orang tuanya atau calon istri sendiri. Kadang-kadang perhiasan yang diserahkan kepada orang tua sigadis harus dikembalikan sesudah upacara perkawinan; namanya ialah “petaruh pertunangan” (kerinci).
3. Motif dan Pendorong kearah Pertunangan
Motif pertunangandapatberbedah-bedah:
a. Orang hendak segera mendapat kepastian tentang perkawinan yang dihasratkan.
b. Orang kadang-kadang mendapat pertolongan dari calon menantu pria.
c. Dimana pergaulan muda-mudi sebelum pertunangan adalah bebas, orang selekas-lekasnya ingin melepaskan sigadis dari pengaruh pergaulan tersebut.
d. Pertimbangan-pertimbangan sejenis itu yang berhubungan keadaan social.
Sementara dilingkungan hokum, para yang berkepentingan dapat menekan pengaruh/wibawahnya dengan cara khusus, yaitu dengan mengajukan “pinanganpaksa” sehingga sebenarnya sukar disebur lamaran lagi.
4. Larangan dan kecenderungan kawin
a. Larangan kawin dalam lingkungan (bagian) clanyasendiri (exogami).
b. Larangan hubungan kawin timbale-balik.
c. Derajat derajat perkawinan antar-wangsa terdekat yang terlarang.
d. Larangan kawin dengan istri yang sudah bercerai dari sesame warga clan.
e. Kecenderunagn kawin dengan anak gadis dari saudara laki-laki ibunya.
f. Desakan untuk kawin dengan pemudi dari desanya sendiri.
5. Akibat Pertunangan
Akibat pertunangan ialah :
a. Orang terikat untuk kawin dengan pihak lainya, namun jarang sekali terdapat paksaan langsung untuk kawin.
b. Lahirnya kewajiban memberikan hadiah-hadiah dengan pengertian, pertunangan itu putus bila hadiah tersebut tidak diberikan.
c. Perlindungan si pemudi terhadap kebebasan hubungan seksuil sepertihalnya terhadap wanita bersuami (akan tetapi hubungan kelamin dengan gadis yang sudah bertunangan itu tidak selalu disamamakan dengan zina).
d. Timbulnya (kadang-kadang )hubungan yang diliputi rasa segan antara menantu pria dengan mertuanya atau kewajiban bekerja bagi menantu tersebut tuntuk kepentingan mertuanya.
6. Pemutusan pertunangan
Pemutusan pertunangan berdasarkan musyawarah adalah urusan kerabat dan pihak keluarga. Pihak yang bersalah kehilangan tanda pengikatnya, harus mengembalikannya dua kali lipat atau harus membayar denda delik lainya. jumlah uang denda itu ditetapkan pula pada saat pertunangan.
7. Pelangsungan perkawinan
Didalam setiap negara memiliki sistem hukum dan bentuk hukum yang berbeda satu sama lain, hal ini dipengaruhi oleh faktor-faktor keadaan yang ada disetiap negara tersebut. Didalam masyarakat dunia, tidak dipungkiri bahwa kiblat dalam menjalankan kehidupan hukum berkiblat hsistem hukum yang berada di wilayah barat, atau yang sering kita sebut dengan hukum barat. Hukum barat ini banyak diadopsi oleh banyak negar tak terkecuali indonesia yang memang banyak menyerap sistem hukum barat. Akan tetapi tidak sedikit pula negara-negara yang berkiblat pada hukum islam islam dan menjadikan acuan sebagai tatanan hukum dinegaranya. Indonesia sendiri selain mengadopsi hukum barat juga mengadopsi hukum-hukum islam, hal ini tidak dipungkiri dengan penduduk indonesia yang mayoritas beragama islam, sehingga hukum islam ini sangat perlu untuk diadopsi. Selain hukum barat dan hukum islam, indonesia sendiri dalam pembuatan hukumnya tidak sedikt pula mengacu pada hukum-hukum adat yang berlaku dimasyarakat, akantetapi hukum-hukum adat yang sangat beranekaragam dan berbeda disetiap daerah menyebabkan tidak semua hukum adat adijadikan hukum tertulis, hal ini disebabkan perbedaan kultur dan budaya yang beraneka ragam disetiap daerah masing-masing. Hukum barat, hukum islam dan hukum adat tentunya memiliki cirinya masing-masing dan memiliki sistem hukum yang saling berbeda satu sama lain, sehingga dalam makalah ini kami mencoba untuk menguraikannya sehingga kita dapat memahami apa itu hukum islam, hukum barat dan hukum adat itu sendiri.
1.Hukum Adat
Pengertian Hukum Adat
1. Hukum Adat
Hukum adat sering kita kenal dimasyakat dengan sebutan kebiasaan, hukum adat yang ada di Indonesia sangatlah beragam mengingat daerah indonesia yang memiliki keanekaragaman budaya dan agama yang saling berbeda. Hukum adat pertamakali diperkenalkan oleh C Snouck Hurgronje di Indonesia dari bahasa belanda yaitu “adatrecth” yang selanjutnya dipakai oleh Van Vollenhoven dengan istilah teknis yuridis. Istilah hukum adat baru muncul dalam perundang-undangan pada tahun 1980, yaitu dalam undang-undang belanda mengenai perguruan tinggi di negeri Belanda. Hukum adat mulai diperkanalkan sejak zaman belanda, hal ini terbukti dengan adanya pengendalian masyarakat aceh dengan hukum adat. Hal ini diperjelas dengan sebuah buku yang berjudul De Atjehers yang dikarang oleh Snouck. Hukum adat adalah hukum non statutair dimana sebagian besar adalah hukum kebiasaan dan sebagian kecil hukum islam. Hukum adat memang tidak diberlakukan secara tertulis seperti halnya undang-undang, namun keberadaab hukum adat sendiri memang diakui sebagi suatu aturan yang berlaku didalam sebuah masyarakat tertentu dan dilindungi keberadaannya oleh undang-undang[1]. Hukum adat ditemukan pertamakali oleh tiga orang yang berkebangsaan belanda yang dikenal dengan trio penemu hukum adat yaitu
1. Penemu hukum adat yang pertama
Ialah Wilken datang di Indonesia sebagai pegawai pangreh praja belanda mula-mula diburu, kemudian di Gorontalo dan minahasa barat, selanjutnya di sipirok dan mandailing. Di semua daerah itu ia membukukan segala sesuatu yang dilihatnya, seperti tentang hak hutan diburu, tentang hak tanah hakullah di sipirok. Pada wilken hukum adat itu merupakan suatu bahan mandiri, meskipun ia tetap memelihara hubunganya dengan kebiasaan dan religi rakyat. Karena Wilken memberi tempat tersendiri kepada hukum adat itu, maka ia tidak mencampur adukkan hukum agama dengan hukum penduduk asli yang di sana-sini menunjukkan penyimpangan karena unsur-unsur agama islam atau agama hindu.
2. Penemu hukum adat yang kedua
Ialah Liefrinck menjalankan tugasnya di lapangan Hukum sebagai pegawai Pangreh Praja Belanda di Indonesia .Seperti halnya dengan Wilken,maka Liefrinck-pun memberi tempat tersendiri kepada Hukum Adat.Namun berbeda dengan Wilken,maka Liefrinck membatasi penyelidikannya hanya pada satu lingkungan Hukum Adat,yaitu Bali dan Lombok. Pada tahun 1927 tulisan-tulisan terpenting dari Liefrinck di kumpulkan oleh van Earde di dalam sebuah himpunan “Bali dan Lombok” dengan sub judul: “GESCHRIFTEN”.
3. Penemu hukum adat yang ketiga
Ialah Snouck Hurgronje seorang sarjana sastra yang menjadi politkus. Pada tahun 1884-1885 ia mengembara di tanah Arab sebagai mahasiswa,di Mekkah ia bertemu dengan orang Indonesia (Aceh dan Jawa) sehingga ia mengenal hukum adat.Tahun 1891 ia dikirim ke Indonesia untuk mempelajari lembaga Isalam,selama di Indonesia ia menulis beberapa buku: tentang lembaga-lembaga kebudayaan di Sumatera bagian utara,”De Atjehers”,dan “Het Gajoland”.Karyanya itu mengagumkan dunia Ilmu,karena ia mengarangnya berdasarkan percakapan belaka dengan orang-orang yang berada di pedalaman,sedang daerah itu belum atau tidak di kunjunginya. Karya utamanya “De Atjhers” dan “Het Hajoland”,terkonsentrasi pada satu lingkungan hukum atau bagian dan tidak bersifat perbandingan untuk seluruh Nusantara[2].
B. Sejarah Politik Hukum Adat
Perhatian terhadap hukum adat bermanifestasi ke dalam :
1) Lahirnya suatu ilmu hukum adat
2) Pelaksanaan suatu politik hukum adat
Sejarah politik hukum adat itu dapat dibagi atas 7 periode yaitu :
A. Masa Kompeni ( V.O.C ., 1596 – 1808 )
B. Masa Pemerintahan Deandels ( 1808 – 1811 )
C. Masa Pemerintahan Rafles ( 1811 – 1816 )
D. Masa 1816 – 1848
E. Masa 1848 – 1928
F. Masa 1928 – 1945
G. Masa 1945 sampai sekarang[3]
C. Beberapa jenis – jenis hukum adat
1. Hukum Perkawinan
Menurut Hukumadat, perkawinan bisa merupakan urusan kerabat, keluarga, persekutuan, martabat, bisa merupakan urusan pribadi, bergantung kepada tata-susunan masyarakat yang bersangkutan.
Bagi kelompok-kelompok wangsa yang menyatakan diri sebagai kesatuan-kesatuan, sebagai persekutuan-persekutuan hukum, (bagian clan, kaum, kerabat), perkawinan para warganya (pria, wanita atau kedua-duanya) adalah sarana untuk melangsungkan hidup kelompoknya secara tertib dan teratur, sarana untuk dapat melahirkan generasi baru yang melanjutkan garis hidup kelompoknya.
1. Langka perintis
Dengan menghidangkan sekapursirih, pihak yang satu biasanya pihak pria mengajak pihak lainya menjalin ikatan perkawinan tertentu.-4Pinangan demikian itu hampir selalu disampaikan oleh seoarang utusan, seorang wakil. Jika lamaranya diterima, biasanya diadakan pertunangan terlebihdahulu.
2. Nama dan Funksi Hadiah Pertunangan
Hadiah itu jatuh ketangan kelompok kerabat, orang tuanya atau calon istri sendiri. Kadang-kadang perhiasan yang diserahkan kepada orang tua sigadis harus dikembalikan sesudah upacara perkawinan; namanya ialah “petaruh pertunangan” (kerinci).
3. Motif dan Pendorong kearah Pertunangan
Motif pertunangandapatberbedah-bedah:
a. Orang hendak segera mendapat kepastian tentang perkawinan yang dihasratkan.
b. Orang kadang-kadang mendapat pertolongan dari calon menantu pria.
c. Dimana pergaulan muda-mudi sebelum pertunangan adalah bebas, orang selekas-lekasnya ingin melepaskan sigadis dari pengaruh pergaulan tersebut.
d. Pertimbangan-pertimbangan sejenis itu yang berhubungan keadaan social.
Sementara dilingkungan hokum, para yang berkepentingan dapat menekan pengaruh/wibawahnya dengan cara khusus, yaitu dengan mengajukan “pinanganpaksa” sehingga sebenarnya sukar disebur lamaran lagi.
4. Larangan dan kecenderungan kawin
a. Larangan kawin dalam lingkungan (bagian) clanyasendiri (exogami).
b. Larangan hubungan kawin timbale-balik.
c. Derajat derajat perkawinan antar-wangsa terdekat yang terlarang.
d. Larangan kawin dengan istri yang sudah bercerai dari sesame warga clan.
e. Kecenderunagn kawin dengan anak gadis dari saudara laki-laki ibunya.
f. Desakan untuk kawin dengan pemudi dari desanya sendiri.
5. Akibat Pertunangan
Akibat pertunangan ialah :
a. Orang terikat untuk kawin dengan pihak lainya, namun jarang sekali terdapat paksaan langsung untuk kawin.
b. Lahirnya kewajiban memberikan hadiah-hadiah dengan pengertian, pertunangan itu putus bila hadiah tersebut tidak diberikan.
c. Perlindungan si pemudi terhadap kebebasan hubungan seksuil sepertihalnya terhadap wanita bersuami (akan tetapi hubungan kelamin dengan gadis yang sudah bertunangan itu tidak selalu disamamakan dengan zina).
d. Timbulnya (kadang-kadang )hubungan yang diliputi rasa segan antara menantu pria dengan mertuanya atau kewajiban bekerja bagi menantu tersebut tuntuk kepentingan mertuanya.
6. Pemutusan pertunangan
Pemutusan pertunangan berdasarkan musyawarah adalah urusan kerabat dan pihak keluarga. Pihak yang bersalah kehilangan tanda pengikatnya, harus mengembalikannya dua kali lipat atau harus membayar denda delik lainya. jumlah uang denda itu ditetapkan pula pada saat pertunangan.
7. Pelangsungan perkawinan
Upacara perkawinan dilangsungkan pada hari yang telah ditentukan. Namun di lingkungan hokum manapun tidak dapat ditunjukkan dengan tegas saat terjalinya ikatan perkawinan menurut hukum adat itu.[4]
2. HUKUM WARIS
Hukum waris adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum yang bertalian dengan proses penerus/pengoperan dan peralihan/perpindahan harta-kekayaan materiil dan non-materiil dari generasi kegenerasi. Hukum waris arti yang luas yaitu penyelenggaraan pemindah-tangankan dan peralihan harta kekayaan kepada generasi berikutnya. Pengaruhaturan-aturan hukum lainya atas lapangan hukum waris dapat dilukiskan sebagai berikut :
1. Hak purba/pertuanan/ulayat masyarakat hukum adat yang bersangkutan membatasi pewarisan tanah.
2. Transaksi-transaksi seperti jual gadai harus dilanjutkan oleh para ahli waris.
3. Kewajiban dan hak yang timbul dari perbuatan-perbuatan kredit tetap berkekuatan hukum setelah sipelaku semula meninggal.
4. Struktur pengelompokan wangsa/sanak, demikian pula bentuk perkawinan turut menentukan bentuk dan isi pewarisan.
1. Hak purba/pertuanan/ulayat masyarakat hukum adat yang bersangkutan membatasi pewarisan tanah.
2. Transaksi-transaksi seperti jual gadai harus dilanjutkan oleh para ahli waris.
3. Kewajiban dan hak yang timbul dari perbuatan-perbuatan kredit tetap berkekuatan hukum setelah sipelaku semula meninggal.
4. Struktur pengelompokan wangsa/sanak, demikian pula bentuk perkawinan turut menentukan bentuk dan isi pewarisan.
5. Perbuatan-perbuatan hukum seperti adopsi, perkawinan ambil anak, pemberian bekal/modal berumahtangga kepada pengantin wanita, dapat pula dipandang sebagai perbuatan di lapangan hukum waris.
Pembagian harta peninggalan
Bila seorang pewaris semasa hidupnya tidak mewariskan seluruh hartanya dengan jalan pembekalan, dan jika sesudah dipotong utang-utang masih terdapat kelebihan, maka harta peninggalan tersebut dapat dibiarkan untuk takterbagi atau pundi bagi-bagi pada waktunya pembagian ini merupakan perbuatan dari para ahli waris bersama, dan biasanya tidak dicekam oleh peraturan yang tegar-kaku dan tuntutan yang keras tajam, melainkan dijiwai oleh semangat kekeluargaan, toleransi dan keikhlasan memberikan tambahan kepada para warga yang paling buruk nasibnya.
Ahli Waris
Pada umumnya yang menjadi ahli waris ialah para warga yang palin karip di dalam generasi berikutnya, ialah anak-anak yang dibesarkan didalam keluarga/biyatdipewaris. Yang pertama-tama mewaris ialah anak-anak kandung.[5]
3. HUKUM KEKERABATAN
Ø Hubungan anak dengan orang tuanya
1. Pembeda antara hubungan kekerabatan sebagai pengertian umum dan hubungan anak dengan oranng tuanya sebagai hubungan khusus. Hal ini perlu karena :
a. Di dalam struktur patrilineal: wangsa-wangsa ibu mempunyai arti yang lain bagi sang anak daripada ibunya sendiri.
b. Di dalam struktur matrilinial: wanngsa-wangsa bapak mempunyai arti yang lain bagi sang anak daripada ayahnya sendiri.
c. Berbagai hubungan terjalin dengan ibu selaku ibu, ayah selaku ayah, tidak selaku warga-warga terdekat.
2. Anak yang lahir di dalam perkawinan, beribu wanita yang melahirkannya dan berayah pria suami ibunya, penyebab kelahiran dia. Di dalam perumusan itu tersimpul penyimpangan yanng mungkin terjadi dikeadaan normal, contohnya: disementara lingkungan hukum, anak luar kawin beribu wanita tak kawin melahirkannya, sama halnya dengan anak yang beribu wanita yang melahirkannya di dalam perkawinan sah (Minahasa, Ambon, Timor, Mentawai).
3. Baik dahulu maupun sekarang orang mengenal lenbaga yang bermaksut melepaskan ibu dan anaknya dari nasip yang malang, contohnya: kawin darurat adalah kawinnya sembaranng pria ( misalnya kepala desa ) dengan seorang wanita hamil, supaya kelahiran bayinya nanti terjadi didalam ikatan perkawinan sah ( Jawa “nikah tambelan”, Bugis “pattongkoh sirik”, “penetup malu”).
4. Karena sekarang ekskomunikasi dengan kekerasan itu sudah tidak lagi atau jarang terjadi (Nias), maka ibu dan anak itu ditoleransikan; namun si anak tetap dikenal dengan nama ejekan: “anak tak sah”,”astra” (Bali), “haram jadah” (Jawa), kecuali karena alasan tertentu dapat dilakukan perbuatan pengesahannya (Bali). Kadang-kadang diperlukan pembayaran adat agar dapat tetap tinggal dalam persekutuan hukum. Hubungan anak dengan ibunya yang tak kawin itu sama dengan hubungan anak sah dengan ibunya. Di Bali anak-anak yang lahir didalam satu periode hidup berkumpul sebelum perkawinan adalah sah.
5. Di Minahasa, hubungan anak dengan pria tak kawin yang menurunkannya adalah serupa dengan hubungan anak dengan ayahnya. Bila si ayah hendak menghilanngkannya kesangsian mengenai hubunngan itu, maka ia memberikan hadiah (lilikur) kepada ibu anaknya (dalam hal mereka tidak berdiam serumah).
6. Bila seorang anak selama ikatan perkawinan diturunkan oleh pria lain daripada yanng telah nikah dengan ibunya, maka ayah anak tersebut menurut hukum adat ialah pria yanng nikah sah dengan ibunya kecuali jika suami sah ini menyangkal kebapaannya berdasarkan alasan yang diterima; hal ini dimungkinkan di Jawa.
7. Menurut hukum adat rupanya tidak relevan, anak itu lahir berapa lama sesudak perlangsungan pernikahan. Hukum Islam menentukan: anak yang sah dilahirkan lebih dari enam bulan sesudah akad nikah. Ketentuan ini barang kali disana sini berpengaruh terhadap hukum adat yang pasti ialah bahwa ketentuan tersebut tidak mengubah lembaga kawin paksa dan kawin darurat.
8. Anak yang lahir sesudah perkawinan putus, berayah suami dalam perkawinan tersebut, bila ia dilahirkan selama masa hamil. Waktu empat tahun yang ditetapkan oleh hukum Islam tidak di oper oleh hukum adat.
9. Anak-anak keturunan selir dikebelakangkan terhadap anak-anak istri utama dalam hak atas warisan dan hak atas derajat/martabat ayahnya.
10. Akibat hukum dari hubungan anak-ayah dan anak-ibu salah satunya adalah larangan kawin antara ayah dan anaknya perempuan, antara ibu dan anaknya laki-laki di semua wilayah.
11. Penghapusan, penanggalan hubungn hukum antara orangn tua dan anak dengan suatu perbuatan hukum, demikian pula pengusiran anak laki-laki oleh ayahnya, kesemuanya itu formal mungkin diberbagai lingkungan hukum: Angkola “mangaliplip”, Bali “pegat mapianak”.
12. Menitipkan seorang anak kepada orang untuk dipelihara sebagai anak piara, adalah suatu cara yang semua wilayah boleh dijalankan oleh orang tua untuk melaksanakan kewajibannya memberi nafkah kepada anaknya. Perbuatan ini berlainan sama sekali dengan penyerahan didalam adopsi meskipun nyatanya kadang-kadang sukar untuk membedakan kedua perbuatan itu. Anak yang dititipkan, setiap waktu dapat diambil kembali oleh orang tua kandungnya dengan penggantian biaya pemeliharaan.
Ø Hubungan anak dengan kelompok kerabat/wangsanya
1. Yang masih memerlukan penyelidikan mendalam ialah persoalan: pakah seorang anak luar kawin yang didalam lingkungan hidupnya tetap dinilai rendah sebagai “haram jadah”, karena ibu tak nikah bersama anaknya hampir-hampir tidak ditoleransikan didalan paguyuban hidup itu, derajad hubungannya dengan kelompok wangsa ibunya seperti anak sah,di dalam wilayah Jawa nampaknya hal ini tidak ada pembeda antara anak sah dan anak di luar kawin,bila orang lain mengakui hubungan antara anak luar kawin dengan ayahnya,maka hal ini berlaku pula terhadap kelompok wangsanya.
2. Di dalam sementara lingkungan hukum,hukum antara kelompok wangsa ayah dan anak adalah sama belaka dengan hubungan wangsa kelompok ibu dengan anak yang bersangkutan; ini terdapat di dalam susunan/atau tertib parental. Larangan dan kecenderungan kawin, hak waris,kewajiban memberi nafkah,semua hubungan itu berintensitas sama.
3. Di Kalimantan dan Sulawesi tampak adanya peralihan dari susuna parental yang terikat dalam kerangka persekutuan suku,kaum/bagia suku dan kerabat kearah tertib parental dengan keluarga-keluarga selaku satu-satunya kesatuan sosial.
Ø PEMELIHARAAN ANAK YATIM (-PIATU)
1. Bila di dalam suatu keluarga orangtuanya tinggal seorang,sedang di situ masih ada anak-anak yanag belum dewasa,maka yang selanjutnya melakukan kekuasaan orangtua di dalam suatu wilayah yang bertata-kewangsaan parental ialah orangtua yang masuh tingggal itu,kecuali jika anak-anak tadi diserahkan kepada kelompok kerabat si mati,sepertihalnya di kalangan orang Dayak-Ngaju kalau suaminya itu orang luar/asing.
2. Jika di dalam wilayah bertata-kwangsaan parental demikian itu kedua orangtuanya tidak ada lagi, maka yanag wajib mengurus dan memelihara yatim piatu ialah kerabatnya terdekat diantara kedua belah kelompok yang berkemampuan terbaik pula. Yang justru penting sekali dalam hal ini adalah:di dalam lingkungan manak anak itu di dididk pada waktu kedua orangtuanya masih hidup. Soal pembayaran di waktu perkawinan orang tuanya dahulupun dapat berpengaruh atas masalah pemeliharaan yatim-piatu tersebut (Beberapa suku Dayak, Kalimantan ).
Anak-anak yang sudah besar menetapkan sendirimenurut pilihannya pribadi.
3. Kalau kedua orangtuanya meninggal,maka kekuasaan atas anak-anak-pemeliharaan darimana harta bendanya-di dalam tatakwangsaan berkonsekuensi unilateral jatuh (menetap) di tanagan Kepala-kepala atau Pengetua-pengetua kerabat yang sudah menguasai seleruh keluaraga (berhubungan dengan perkawinan orangtuanaya).
Ø PENGAMBILAN / PENGANGKATAN ANAK
Berdasarkan keadaan sosial,dengan suatu perbuatan hukum,orang dapat mempengaruhi eksistensi hubungan-hubungan yang berlaku sebagai ikatan-ikatan kwangsaan biologi.
hal itu terlihat pada perkawinan ambil anak. Didalam tatakwangsaan patrilineal , dengan kepala kerabat yang menguasai dan akan di ganatikan oleh wargaa kerabat yang berwangsa dengannya menurut garis keturunan laki-laki, maka dengan suatu perkawinanaa tanpa jujur , kewangsaan biologis itu lewat si ibu dapat di beri kekeuatan berlakau sosial, sehingga anak-anaknya nanti termasuk dalam kerabat (patrilineal) ibunya.[6]
C. Hukum Barat
Tidak dapat dipungkiri, bahwa perjalanan hukum indonesia tidak lepas dari perjalanan panjang bangsa indonesia. Berbicara tentang sejarah bangsa berarti berbicara tentang kemerdekaan bangsa itu sendiri dari penjajah.
Negara indonesia lebih dari 3 abad dijajah oleh negara barat, sepert : Spanyol, Portugis, Inggris dan Belanda. Bahkan belanda menduduki indonesia selama 350 tahun. Sebuah kurun waktu yang sangat panjang yang melahirkan beberapa generasi dan diikuti munculnya perundang-undangan yang mengatur tata kehidupan kawasan jajahan. Melihat kenyataan itu, tidak pelak lagi kalau hukum kolonial masih begitu banyak yang terdapat didalam perundang-undangan di negara kita.[7]
HUKUM BARAT (BELANDA)
Hukum barat pertama kali dibawa oleh belanda pada saat jaman penjajahan, mereka mengenalkan hukum barat kepada penduduk indonesia dengan cara menerapkan hukum barat tersebut untuk memerintah daerah penjajahannya. Hukum barat sendiri bersumber dari hukum belanda. Dan Belanda dalam menjajah Indonesia menerpakan aturan-aturan hukum barat.
1. Perbandingan KUHP Belanda dan Indonesia
1. KUHP belanda ( NED. WVS ) dibandingkan dengan KUHP Indonesia
KUHP Belanda ( NED. NVS ) paling penting dipelajari dalam hukum pidana di Indonesia, karena KUHP bersumber dari situ. Jikapun nanti rancangan KUHP yang sedang diproses didepartment kehakiman menjelma menjadi KUHP baru, hal ini masih relevan karena pada umunya asas dan rumusan delik didalam RKUHP itu masih dengan KUHP ( WVS )”[8].
A. Pemberdayaan Sejak Semula ( pada saat berlakunya WvSI Tahun 1918 )
Sejak semula telah terdapat perbedaan antara KUHP Indonesia karena situasi dan kondisi antara Indonesia ( Hindia- Belanda ) dan belanda berbeda.
Hawai perbedaan itu ( yang dikemukakan yang penting ) antara lain :
1) Perbedaan rumusan berlakunya hukum pidana ( Pasal 2 dan seterusnya ) kedua KUHP ( Ned. Wvs dan WvSI ).
2) Jenis pidana berbeda yang tercantum di dalam Pasal 9 Ned. WvS dan Pasal 10 WvSI ( sekarang KUHP ). Didalam KUHP Indonesia tercantum pidana mati, sedangkan di Belanda sejak tahun 1870 sudah dihapus karena keadaan di Indonesia berbeda dengan Belanda.
3) Beberapa delik lebih berat pidana penjaranya dalam WvSI ( KUHP ) disbanding dengan dalam Ned. WvS. Misalnya pencurian, di dalam Pasal 310 Ned. WvS maksimum 4tahun penjara, sedangkan di dalam Pasal 362 WvSI ( KUHP ) maksimum 5tahun penjara. Demikian pula dengan delik penadahan, di dalam pasal 416 ayat ( 1 ) Ned. WvS pidana penjara untuk delik penadahan yang dilakukan dengan sengajar, ialah maksimum 3 tahun penjara, sedangkan dalam pasal 480 WvSI ( KUHP ) penadahan baik yang disengaja maupun culpa ( patut harus menduga ) maksimum 4tahun penjara.
4) Ketentuan tentang pidana bersyarat yang tercantum didalam Pasal 14 a s/d 14 f WvSI ( KUHP ) baru diciptakan dalam tahun 1926 dengan Stbld. Ada perbedaan – perbedaan tertentu antara ketentuan pidana bersyarat didalam Ned. WvS dan WvSI ( KUHP ).
5) Perbedaan tentang pelaksanaan pidana. Misalnya Pasal 20 Ned. WvS menentukan, bahwa terpidana kurungan dapat memilih bekerja ataukah tidak, yang dalam pasal 19 WvSI ( KUHP ) mmerupakan kewajiban untuk bekerja.
6) Minimun pidana denda lebih rendah di dalam WvSI ( KUHP ), yaitu f 0,25 sedangkan di dalam Ned. WvS f 0,50. Sekarang ini minimum denda di Indonesia ialah Rp 250,-
7) Ketentuan tentang psychopaten dalam pasal 44 WvSI ( KUHP ), berbeda karena di Nederland ada beberapa undang – undang mengenai hal itu.
8) Perbedaan Rumusan ketentuan pembelaan terpaksa ( noodweer )
Menurut W. L. G. Lemaire, perbedaan ini terjadi karena para pakar penyusun WvSI ( KUHP ) di Indonesia ( Hindia Belanda ) berfikir, bahwa ancaman sekejap itu terlalu sempit, perlu di tambah ( untuk Indonesia ) dengan ancaman segera.
9) Dalam perumusan delik pun di dalam buku II terdapat beberapa perbedaan antara Ned. WvS dan WvSI ( KUHP ), disebabkan karena situasi dan kondisi antara kedua negeri berbeda
10) Didalam Ned. WvS ada jenis pencurian yang tidak ada padanannya di dalam WvSI ( KUHP ), yaitu yang disebut stroperij ( penyamun ), rumput daun kering, tanah, pasir dan sebagainya yang dipandang tidak relevan diatur Indonesia.
B. Perbedaan kemudian ( sekarang ini )
Perbedaan antara Ned. WvS dan WvSI ( KUHP ) sekarang ini bertambah besar. Ned. WvS terus menerus diubah sesuai dengan tuntutan kemajuan tekhnologi. Disamping itu jika ditinjau secara teliti ketentuan pidana di Belanda bertambah lunak.
Sekarang ini sistem denda di Belanda didasarkan kepada kategori, dari kategori satu sampai dengan enam. Dalam daftar kategori itu dicantumkan maksimum denda.
Daftar kategori sebagai berikut :
Kategori 1, Lima ratus gulden
Kategori 2, Lima ribu gulden
Kategori 3, Sepuluh ribu gulden
Kategori 4, Dua puluh lima ribu gulden
Kategori 5, Seratus ribu gulden
Kategori 6, Satu juta gulden
Sistem kategori ini sesuai dengan Negara yang inflasinya tinggi, karena jika denda menjadi kecil seperti sekarang ( 1995 ) di Indonesia, maka cukup satu pasal yang diubah, yaitu yang mengatur daftar kategori denda dalam buku I KUHP. Perubahan paling mendasar pada KUHP ( WvS ) Belanda, pada tahun 80-an ini ialah dicantumkannya alternative ( ada juga alternative/kumulatif) denda pada semua perumusan delik, termasuk delik terhadap keamanan Negara, tidak terkecuali maker terhadap raja”[9].
Jika diteliti tidak ada satu perumusan pun pada saat buku I ditulis yang diancam pidana denda menurut kategori keenam ( satu juta gulden ). Paling tinggi menurt kategori kelima. Jadi kategori keenam masih merupakan cadangan. Perubahan lain ialah disisipkannya title ( bab ) baru seperti :
Titel VIII A. Ketentuan Khusus untuk orang dibawah umur
Titel II A. Tindakan
Titel XIX. Pengguguran Kandungan
Dan banyak pasal – pasal sisipan lain, sesuai dengan perkembangan hukum modern, misalnya Pasal 139a sampai dengan Pasal 139g mengenai perbuatan mendengar secara diam – diam ( menguping ) pembicaraan orang lain tanpa izin.
Pengaruh hukum pidana internasional sebagai akibat munculnya perjanjian-perjanjian antar Negara mengenai hukum pidana, tercermin pulan dalam pasal sisipan yang baru dalam WvS Belanda, yaitu pasal 4a (6 maret 1985, Stb. 131, mulai berlaku 19 juli 1985). Yang berbunyi yaitu : “undang-undang pidana Nederland diterapkan kepada setiap orang-orang yang penuntutnya diambil oleh Nederland dari Negara asing berdasarkan suatu perjanjian yang menimbulkan kewenangan kepada Nederland untuk menuntut pidana”[10]
Suatu hal yang tidak kurang pengtinya untuk diketahui ialah asas bahwa didalam ketentuan KHUP tidak dimungkinkan adanya kumulasi pidana penajara atau denda.
2. Pengertian Hukum Islam
Hukum islam sebagai sistem hukum yang bersumber dari Din al Islam sebagai suatu sistem hukum dan sutu disiplin ilmu, hukum islam mempunyai dan mengembangkan istilah-istilahnya sendiri sebagaimana disiplin ilmu yang lain[11]. Hukum islam didalam masyarakat sering disebut dengan istilah syari’at islam, yang kemudian selalu dihubungkan dengan hal-hal yang berbau islam dan Al-Qur’an. pemikiran-pemikiran yang demikian memang tidak disalahkan sehingga menimbulkan kesan bahwa hukum islam itu bersifat kaku dan tidak fleksibel mengikuti perkembangan zaman. Hal inilah yang patut kita garis bawahi dan harus diluruskan agar definisi dari hukum islam itu sendiri tidak diartikan bahwa hukum islam itu tidak bersifat kaku atau hanya mengacu pada teks semata, akan tetapi hukum islam itu bersifat fleksibel dan mengikuti perkembangan zaman. Hal ini dipertegas oleh perkataan abu hanifa yang mengatakan “bahwa Din tidakpernah berubah sedangkan syariah terus-menerus berubah dalam perjalanan sejarah”[12]. Namun dapat disimpulkan bahwa hukum islam adalah segala perkataan Allah SWT yang berbentuk larangan, perintah atau anjuran. Dalam hal ini hal-hal yang diatur didalam hukum islam mengenai aturan dalam hubungan manusia dengan penciptanya, manusia dengan masyarakat dimana ia hidup dan manusia dengan alam lingkungannya, disegala waktu dan segala tempat, menckup segala aspek kehidupan manusia dan segala permasalahan. Dan dalam pembagiannya hukum islam memiliki lima kaidah yang menjadi patokan dalam segala perbuatan manusia yaitu :
1. Wajib yaitu suatu kaidah hukum islam yang mengandung perintah harus dilaksanakan dengan mendapat pahala dan berakibat dosa jika tidak dikerjakan.
2. Sunah yaitu mengandung suatu anjuran yang jika dikerjkan mendapat pahala dan jika ditiggalkan tidak ada konsekuensi mendapat dosa.
3. Mubah yaitu suatu keadan yang memberikan pelaku untuk mau melaksanakan atau tidak.
4. Makruh suatu keadaan bagi pelaku untuk tidak melaksanakan maka mendapat pahala jika tidak dikerjakan akan mendapat kerugian tapi tidak berdosa.
5. Haram Yaitu suatu perintah untuk tidak menrjakannya, dan kalua dikerjakam mendapat dosa.[13]
Dan hukum islam sendiri telah menjadi bagian dari hukum-hukum yang ada di Indonesia bukan hanya terdapat pada negara-negara jazirah Arab saja, hal ini terbukti dengan aturan-aturan atau hukum yang ada pada undang-undang yang berlaku dinegara kita tidak sedikit dipengaruhi oleh hukum islam. Bahkan didaerah aceh sudah menggunakan hukum islam walaupun belum sepenuhnya dijalankan dengan sempurna. Dalam pengertiannya hukum islam dibagi menjadi tiga macam yaitu :
1. Syari’at
Kata syari’at memang sangat cukup dikenal bagi masyarakat khususnya bagi masyarkat muslim. Kata syari’at secara bahasa memiliki arti jalan ke tempat pengairan atau tempat lalu air di sungai[14]. Disebutkan dalam buku lain, syari’ah secara bahasa diartikan sebagai jalan yang dilalui air terjun atau jalan ke sumber air[15]. jadi syari’at yang dimaksud secara bahasa adalah jalan menuju sumber kehidupan, atau dengan kata lain syari’at adalah suatu proses menuju jalan yang harus diikuti yakni jalan yang telah ditetapkan oleh tuhan bagi manusia. Dan secara istilah syari’ah adalah aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT bagi manusia untuk menjalankan kehidupannya baik dengan Allah, dengan sesama manusia dan alam sekitar. Dan menurut Syekh Mahmout Syaltout memberikan definisi bahwa “Syari’ah adalah peraturan-peraturan yang duciptakan Allah, atau yang diciptkannya pokok-pokoknya supaya manusia berpegang dalam berhubungan dengan Tuhan, saudara sesama muslim, saudaranya sesame manusia, serta hubungannya dengan seluruhnya dan hubungannya dengan kehidupan”[16]. Jadi dapat disimpulkan bahwa syari’at adalah segala ketentuan yang datangnya dari Allah SWT melalui rasul-Nya, berisi perintah, larangan-larangan dan anjuranyang meliputi segala aspek kehidupan manusia. Atau bisa dikatakan bahwa syari’at adalah jalan hidup muslim.
2. Tasyri’
Jika kita membuat suatu aturan-aturan atau hukum, tentunya melalui proses atau tahapan sehingga dapat tercipta sebuah aturan, dan apabila hukum itu tealah tercipta maka proses selanjutnya adalah penetapan atau pengesahan. Oleh karena itu dalh hukum islam penetapan itu disebut Tasyri’. Kata tasyri’ sebenarnya masih satu akar dengan kata syari’at. Tasyri’ sendiri secara bahasa artinya membuat atau menetapkan syari’at. Dengan ini jelaslah bahwa suatu hukum itu memerlukan adanya penetapan, tidak terkecuali dengan hukum islam.
Perbedaan syari’at dengan tasyri’ dilihat dari segi syari’at itu meteri hukumnya sedangkan tasyri’ penetapan materi tersebut”[17]. Mengenai hal ini , yang terkandung didalam tasyri’ adalah mengenai proses, cara, dasar dan tujuan mengapa Allah menetapkan hukum-hukum tersebut.
3. Fiqh
Selain kata syari’at,dalam kehidupan sehari-hari tidak sedikit dari kita yang memahami fiqh sebagai hukum islam. Fiqh sendiri secara etimologis memiliki arti faham yang mendalam. Dalam buku lain disebutkan fiqh secara bahasa diartikan pintar, cerdas, tahu, dan faham menurut asal mulanya, sehingga faham sampai mendalam. Dan secara istilah fiqh fiqh memiliki pengertian yang berbeda-beda diantaranya menurut imam Al-Ghazali mengatakan “ Fiqh itu bermakna paham dan ilmu. Akan tetapi urf ulama telah menjadikan suatu ilmu yang menerangkan hukum – hukum syara’ tertentu bagi perbuatan – perbuatan para mukhallaf, seperti wajib, haram, mubah, sunnah, makhruh, shahih, fasid, batil, qadla’ ada yang sepertinya“[18]. sedangkan menurut Ibnu Kaldun Fiqh adalah ilmu yang dengannya diketahui segala hukum Allah yang berhubungan dengan segala pekerjaan mukallaf, bagi yang wajib, haram, dan yang mubah harus yang diambil ( dinisbatkan ) dari Al kitab dan As – sunnah dan dari dalil – dalil yang telah tegas ditegaskan syara’, seperti khias umpamanya. Apabila dikeluarkan hukum – hukum dengan jalan ijtihad dari dalil- dalilnya, maka yang dikeluarkan itu dinamai Fiqh. Dan dari pengertian-pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa fiqh adalah segala aturan-aturan yang bersumber dari Allah tentang wajib, haram, mubah, makruh, dan sunah bagi manusia dalam menjalankan kehidupan.
2. Prinsip-prinsip Hukum Islam
Setiap Hukum tentunya memiliki prisip yang menjadi dasar dan tumpuan hukum itu. Tidak terkecuali hukum islam juga memiliki prinsip yang menjadi tumpuan atau pilar-pilar yang menguatkan hukum islam itu sendiri. Adapun prinsip-prisip hukum islam adalah ;
a. Prinsip Tauhid
Prinsip tauhid adala suatu prinsip yang menghimpun selurh manusia kepada Tuhan yang juga menjadi prinsip umum sebagai landasan prinsip-prinsip hukum islam lainnya. ”Prinsip tauhid ini menghendaki dan mengaruskan manusia untuk menetapkan hukum sesuia dengan apa yang diturunkan Allah dab Rasul-Nya”[19]. Prinsip tauhid ini melahirkan prinsip khusus, misalnya prinsip-prinsip ibadah, yakni prinsip berhubungan langsung dengan Allah, prinsip memelihara akidah dan iman, memelihara agama, penyucian jiwa dan pembentukan pribadi yang luhur.
b. Prinsip Keadilan
Keadilan merupakan unsur yang sangat penting dan memilki cakupan yang sangat luas yakini dalam segala bidang kehidupan. Menurut Quraisy Shihab keadilan adalah syarat bagi terciptanya kesempurnaan pribadi, standar kesejahteraan masyarakat, dan sekaligus jalan terdekat menuju kebahagiaan ukhrawi. Dan para mufasir mengartikan keadilan dalam A-Qur’an ada empat makna yaitu adil dalam arti sama, adil dalam arti seimbang, adil dalam arti perhatian pada hak-hak individu dan memberikan kepada pemiliknya, dan terkahir adil yang dinisbatkan kepada Allah”[20].
c. prinsip Al-Musawah (Persamaan)
Al-Musawah atau persamaan adalah dimana setiap orang memiliki kedudukan yang sama dimata Tuhan, baik dari segi perbedaan suku, bahasa, bangsa, atau jabatan sekalipun. Semua manusia dianggap sam didepan hukum dan tidak ada pengkhusan atau pengecualian.
d. Prinsip Al-Hururiah (kemerdekaan)
Pada prinsip Al-Hururiah ini yaitu adanya kebebasan secara umum, baik kebebasan individual maupun kelompok. Kebebasan induvidu dan kebebsan berserikat misalnya digunakan untuk kebaikan ddan kebenaran, bukan untuk menimbulkan pertengkaran atau perselisihan.
e. Prinsip Amar Makruf Nahi Munkar
Amar makruf berarti hukum islam yang digerkan untuk mendorong umat manusia menuju tujuan yang baik dan benar yang dikehendaki oleh Allah. Sedangkan Nahi Munkar berfungsi sebagai social control.
f. Prinsip AL-ta’wan (Gotong Royong)
Prinsip ini lebih mengutamakan untuk saling bergotong royong dan saling menolong sesame manusia. Dan hali ini sesuia dengan tridisi Indonesia yaitu asas gotong royong.
g. Tasamuh (Toleransi)
Pada prinsip ini manusia dijamin hidup dalam kebebasan sehingga setiap individu memiliki hak kebebasannya selagi tidak mengganggu kebebasan orang lain pula. Sehingga pada prinsip ini menekankan pada umatnya untuk hidup rukun dan damai tanpa memandang segala perbedaan yang ada.
h. Al-Tha’ah (Ketaatan pada Ulilo Amri)
Al-Tha’ah adalah ketaatan umat terhadap pemimpin yang sedang memimpin. Jadi setiap umat harus mematuhi pemimpin mereka dan segala peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemimpin mereka, dalam hal Ulil Amry adalah sebagai penguasa yang harus ditaati oleh masyarakat. Akan tetapi, ketika pemerintah mengeluarkan undang-undang atau perintah yang berisi kemaksiatan, tidak ada kewajiban patuh dan taat sedikitpun kepadanya.
i. As-Syura (Musyawarah)
Musyawayarah sangat dinjurkan dalam mengambil suatu keputusan mengenai masalah tertentu, sehingga menghasilkan sebuah kesepakatan-kesepakatan yang telah disetujui. Usaha menemukan hukum islam melalui musyawarah itu disebut ijma.
3. Hukum Islam di Indonesia
Di Indonesia memang tidak dipungkiri bahwa hukum islam menjadi salah satu sumber hukum. Hal ini disebabkan oleh penduduk Indonesia sendiri yang mayoritas bergama islam, sehingga hukum islam sendiri muncul dan mempengaruhi aturan-aturan yang berlaku di Indonesia, sebagai wujud dari kebutuhan masrakat itu sendri khususnya yang beragama islam. Hukum islam mulai mempengaruhi aturan yang berlaku sejak agama islam memasuki negara Indonesia dibawa oleh para pedagang dari Gujarat yang datang untuk melakukan perdagangan, selain itu mereka juga menyebarkan agama islam, sehingga dengan hal ini masuklah agama islam. Maka dengan masuknya agama islam ini tentunya membawa pengaru-pengaruh dalam hal keagamaan serta di dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian hukum islam mulai memberikan pengaruhnya di Indonesia. Hal ini terbukti dengan adanya perundang-undangan yang memperkokoh hukum islam. Di Indonesia perundang-undanga tersebut terdapat dalam beberapa macam yaitu :
a. Undang-undang perkawinan
Perkawinan merupakan suatu tindakan yang mengakibatkan adanya hukum-hukum yang harus ditaati, dan ikatan perkawinan mempunyai dampak yang luas, baik natural, sosial, mapun yuridis atau hukum, sehingga perkawinan ini pelu adanya suatu aturan-aturan yang menaunginya. Undang-undang tentang perkawinan muncul pada masa orde baru, stelah melalui barabagai lika-liku, dicetuskan dalam UU No. 1 Tahun 1974 yang kemudian ditindak lanjuti dengan Peratutan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang terdiri dari 14 Bab dan 67 pasal.
b. Undang-undang Peradilan Agama
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 1989. Jadi artinya undnad-undang tentang peradilan agama baru dissa terdihkan pada tanggal tersebut, namun sesungguhnya usaha untunk memantapkan kedudulan Peradilan Agama sebenarnya sudaha dirintis oleh Departemen Agama. Kegiatan penyusunan Rancangan Undang-undang tentang peradilan agama sudah dimulai sejak tahun 1961, namun baru secara kongkret dilaksanakan pada tahun 1971. Setelah mengalami pembahsan yang panjang Baru pada tanggal 29 Desember 1989 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989. Adapun isinya terdiri dari 7 Bab dan terdiri dari 108 pasal.
c. Undang-undang Penyelenggaraan Ibadah Haji.
Dengan penduduk Indonesia yang mayorita beragama islam, tentunya kegiatan ibadah hajipun sangat tinggi intensitasnya, untuk itu agar penyelanggaraan haji bisa berjalan lancar, tidak ada kesulitan, baik didalam negeri maupun ketika diluar negri, maka diperlukan manajemen yang baik, seihingga dibentuklah Undang-undang tentang Penyelenggaraan haji, yaitu Undang-undang Nomo 17 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Ibadah Haji disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 31 mei 1999. Undang-undang penyelenggaraan haji terdiri dari 15 Bab dan 30 pasal.
d. Undang-undang Pengelolaan Zakat.
Zakat adalah salah satu rukun islam yang harus dijalankan oleh selurauh umat musalim, khususnya di Indonesia yang mayoritas beragama muslim, maka sangat mutlak dibutuhan aturan-aturan yang mengatur pengelolaan zakat tersebut. Mengacu hal ini, maka pemerintah membentuka Undang-undang tentang Pengelolaan zakat, yaitu Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tengtang Pengelolaan Zakat disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 23 Desember 1999. UU Pnegelolaan Zakat terdiri dari 10 Bab dan 25 pasal.
e. Undang-undang Penyelenggaraan Keistimewaan DI Aceh.
Aceh yang memang memiliki keistimewaan sendiri tentang hukum-hukum yang berlaku disana, masyarakat aceh yang memang menghendaki penetapan hukum islam, dan sealu menjunjung tinggi adat, dan telah menempatkan ulama pada peran yang sangat terhormat dalam kehidupan bermasrayarakat, berbangsa dan bernegara perlu dilestarika dan dikembangkan. Dan pemerintah juga memberika jaminan kepastian hukum dalam penyelenggaraan keistimewaan yang dimiliki rakyat aceh sebagaimana tersebut diatas dengan munculnya Undang-undang No. 44 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. UU No. 44 tahun 1999 terdiri dari 5 Bab dan 13 pasal.
[1] Prof. Dr. H. Muchsin. S. H. , hukum islam dalam perspektif dan prospektif, yayasan al ikhlas, Surabaya, 2003, hal : 34
[2]Prof. Imam Sudiyat, S.H. , asas-asas hukum adat bekal pengantar, Liberty, Yogyakarta, (2000, cet : 3), hal : 51-54
[3] Prof. Imam Sudiyat, S.H. , asas-asas hukum adat bekal pengantar, Liberty, Yogyakarta, (2000, cet : 3), hal : 76
[4] Imam sudiyat, hukum adat sketsa asas, liberty, yogyakarta,(1981, cet II), hal : 107-143
[5] Ibid, hal : 151-168
[6] Ibid, hal : 90-101
[7]Prof. Dr. H. Muchsin. S. H. , hukum islam dalam perspektif dan prospektif, yayasan al ikhlas, Surabaya, 2003, hal : 34
[8]A. Hamzah, Perbandingan Ilmu hukum Pidana, Jakata : Sinar Grafika. 1995, hlm 6
[9]Ibid, hlm13
[10]Ibid, hlm 15
[11]Abdul Shomad, Hukum Islam, Jakarta : Kencana, 2010, hlm 24
[12] Abdul Shomad, Hukum Islam, Jakarta : Kencana, 2010, hlm 25
[13]H. Muchsin, Hukum Islam “dalam perspektif dan prospektif”, Surabaya : Yayasan Al-ikhlas, 2003, hlm 24.
[14] H. Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Jakarta : PT Bumi Aksara, cet III 1999, hlm 11.
[15] Abdul Shomad, Hukum Islam, Jakarta : Kencana, 2010, hlm 25.
[16] Abdul Shomad, Hukum Islam, Jakarta : Kencana, 2010, hlm 26.
[17] H. Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Jakarta : PT Bumi Aksara, cet III 1999, hlm 13.
[18]Abdul Shomad, Hukum Islam, Jakarta : Kencana, 2010, hlm 29.
[19] H. Juhaya S. Praja, Sejarah Hukum Islam, Bandung : Pustaaka Setia, 2007, hlm 160.
[20] H. Juhaya S. Praja, Sejarah Hukum Islam, Bandung : Pustaaka Setia, 2007, hlm 160.
0 komentar:
Post a Comment