Hirabah atau disebut juga perampokan merupakan kejahatan yang sangat merugikan. Bisa dikatakan perampokan termasuk bentuk pencurian, hanya saja perampokan dilakukan secara terang-terangan kepada korban, karenanya perampokan disebut dengan perampokan besar.
Permasalah
1. Apa itu tindak pidana perampokan?
2. Bagaimana dasar hukum larangan dalam tindak pidana perampokan?
3. Apa saja unsur unsur dalam tindak pidana perampokan?
4. Macam macam perampokan dan bagaimana hukumannya?
DAFTAR PUSTAKA
Yusuf Qardhawi, Fiqih Jihad: Sebuah Karya Monumental Terlengkap tentang Jihad Menurut Al-Quran dan Sunnah, alih bahasa Ifran Maulana Hakim dkk, Bandung: PT MIzan Pustaka, 2010
Thalib. M, Fiqih Nabawi, Surabaya: Al-Ikhlas, tth.
I Doi Abdur Rahman, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam ,Jakarta: Rineka Cipta, 1992.
http://trialbydoing.blogspot.com/2012/07/hirabah-perampokan.html , akses 07/10/2013 14:40
Ali Zainuddin, Hukum Pidana Islam ,Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Ash-Shiddiqieqy Muhammad Hasbi, Hukum-Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Muslich Ahmad Wardi, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
[1] Yusuf Qardhawi, Fiqih Jihad: Sebuah Karya Monumental Terlengkap tentang Jihad Menurut Al-Quran dan Sunnah, alih bahasa Ifran Maulana Hakim dkk, cet. Ke-1 (Bandung: PT MIzan Pustaka, 2010), hlm. 890.
[2] M. Thalib, Fiqih Nabawi (Surabaya: Al-Ikhlas, 1991), hlm. 290.
[3] Menodong adalah mengarahkan senjata (pistol dsb) sbg ancaman untuk merampok, merampas, dsb, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
[4] Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 69
[5] Abdur Rahman I Doi, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hlm. 56
[6]Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm.70
[7] Abdur Rahman I Doi, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam, hlm. 57
[8] http://trialbydoing.blogspot.com/2012/07/hirabah-perampokan.html , akses 07/10/2013 14:40
[9] M. Thalib, Fiqih Nabawi, hlm. 291
[10] Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqieqy, Hukum-Hukum Islam, (Jakarta :Bulan Bintang, 1978), hlm. 563-564.
[11] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 150-151
[12] Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, hlm.70
[13] M. Thalib, Fiqih Nabawi, hlm. 292
[14] M. Thalib, Fiqih Nabawi, hlm. 59
Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi nilai kehormatan dan harta benda umat manusia. Karenanya Islam memberikan hukuman kepada pelaku kejahatan secara tegas untuk bisa melindungi nilai kehormatan dan harta benda umat manusia. Salah satunya adalah mengenai hirabah, perampokan atau penodongan adalah salah satu bentuk kejahatan yang menyangkut harta benda.
Permasalah
1. Apa itu tindak pidana perampokan?
2. Bagaimana dasar hukum larangan dalam tindak pidana perampokan?
3. Apa saja unsur unsur dalam tindak pidana perampokan?
4. Macam macam perampokan dan bagaimana hukumannya?
PEMBAHASAN
Pengertian Tindak Pidana Perampokan
Perampokan merupakan salah satu bentuk kejahatan. Perampokan dapat dikatakan pencurian besar karena hampir sama dengan mencuri, hanya saja jika dalam pencurian seseorang mengambil harta secara diam diam dan dalam perampokan mengambil harta secara terang terangan dan disertai ancaman bahkan kekerasan. Kejahatan inilah yang dilakukan oleh kelompok-kelompok bersenjata yang suka menyergap. Ini pula yang dalam Islam di sebut kejahatan perampokan atau “pencurian besar” untuk membedakannya dari “pencurian kecil” yakni pencurian biasa.[1]
Merampok artinya menggedor rumah orang untuk berbuat jahat terhadap jiwanya atau hartanya atau kehormatannya. Umumnya “merampok” ini dilakukan oleh lebih dari satu orang, sedangkan merampok dijalanan sering disebut dengan “membegal” dan jika hal itu terjadi dilaut disebut “merompak”.[2]
Sedangkan penodong[3] adalah merampas atau mengambil harta milik harta orang lain dengan cara memaksa korbannya. Pada umumnya kata penodong lebih lazim dipakai terhadap tindak pidana yang dilakukan diluar rumah. Jika perbuatan yang sama dilakukan oleh pelaku didalam rumah atau didalam gedung disebut dengan merampok. Dalam hukum islam perilaku demikian (penodong atau perampokan) diistilahkan sebagai muharib. Seorang dapat disebut muharib apabila (kriteria):
1. Apabila ia keluar rumah dengan niat mengambil harta milik orang lain dengan cara anarkis sehingga membuat suasana menakutkan atau mencekam, walaupun ia tidak berhasil mengambil harta dan atau membunuh pemilik harta.
2. Apabila ia keluar rumah dengan niat mengambil harta milik orang lain dengan cara anarkis dan berhasil mengambil harta tetapi tidak membunuh pemilik harta
3. Apabila ia keluar rumah dengan niat mengambil harta milik orang laindengan cara anarkis, tidak berhasil mengambil harta tetapi membunuh pemilik harta.
4. Apabila ia keluar rumah dengan mengambil harta milik orang lain dengan cara anarkis, berhasil mengambil harta dan membunuh pemiliknya.
Para fuqaha (ahli hukum islam) mengkategorikan penodongan atau perampokan dengan pencurian besar. Namun, pengertian muharib saat ini di indonesia biasa disebut pelaku teroris. Pelaku teroris (muharib) dimaksud, harus memenuhi dua syarat pokok yaitu jami’ dan mani’. Jami’ yakni segala tindakan kejahatan perilaku manusia, sedangkan mani’ adalah segala tindakan pencegahan perilaku manusia untuk berperilaku hirabah.[4]
Tindak pidana perampokan sendiri telah diatur hukuman serta larangannya dalam islam sebab tindakan merampok dapat merugikan orang lain. Seorang korban perampokan tidak hanya terancam kehilangan harta saja namun ia berpotensi terluka dan bahkan terancam kehilangan nyawa. Oleh sebab itu al qur’an menuliskan beberapa ayat yang didalamnya terdapat larangan dan hukuman merampok. Penodongan dijalan raya menurut al-aqauran merupakan suatu kejahatan yang gawat, yang dilakukan oleh sekelompok atau seorang bersenjata yang mungkin akan menyerang mussafir atau orang yang berjalan dijalan raya atau ditempat manapun mereka merampas harta korbannya dengan menggunakan kekerasan bila korbannya berusaha lari mencarai pertolongan. Dalam al-quran juga menyebutkan hal ini merupakan suatu “peperangan melawan allah dan rasulnya” dan merupakan suatu usaha menyebar luaskan kerusuhan didunia.[5]
Larangan dan hukumnya merampok
Perbuatan merampok sangat diharamkan, hal ini berdasarkan pada Quran Surat Al-Maidah ayat (33), yang berbunyi:
Artinya: “Sesungguhnya hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan melakukan pengacauan di muka bumi, ialah mereka harus dibunuh atau disalib atau, tangan dan kaki mereka dipotong selang-seling atau dibuang jauh. Demikian itu adalah kehinaan bagi mereka di dunia ini. Dan di akhirat mereka akan mendapat siksa yang hebat”[6]
Imam bukhari meriwayatkan asbabul nuzul dari ayat ini. Beberapa orang suku ukul datang menghadap rasulullah SAW di Madinah. Mereka berpura pura bahwa mereka ingin memeluk agama islam. Mereka mengeluh kepada rasulullah SAW bahwa cuaca di Madinah tidak cocok bagi mereka sehingga mereka mengalami gangguan kesehatan. Karena itu nabi memerintahkan agar mereka dibawa keluar Madinah untuk tinggal ditempat yang lebih bagi meeka dan minum susu dari sapi milik negara.
Mereka membunuh pemeliharanya dan melarikan diri dengan membawa serta sapi tersebut. Ketika masalah tersebut dilaporkan kepada rasulullah SAW, beliau SAW memerintahkan agar mereka dikejar dan dibawa kembali. Dan wahyu ini (dalam surat al-maidah (5): 33) dturunkan pada saat ini.[7]
Perampokan bukan hanya suatu pelanggaran terhadap manusia dan masyarakat melainkan juga berdasarkan kutipan ayat di atas seakan-akan merupakan suatu pernyataan perang terhadap Allah SWT dan rasulnya menggunakan kekerasan. Melakukan perang terhadap suatu masyarakat mungkin akan mengakibatkan kekacauan, kekalutan, dan hilangnya rasa aman dipikirkan dan di hati. Oleh karena itu perampok adalah orang yang menggunakan kekerasan (bersenjata) terhadap orang-orang yang yak berdosa dan tak mempunyai rasa permusuhan terhadap mereka sebelumnya. Beratnya tindak perampok ini tetap sama apakah ia dilakukan disebuah kota, desa ataupun dipadang pasir, dan korban tiada berdaya, tidak memperoleh pertolongan atau dilarang berteriak tolong. Inilah bentuk perampokan yang sempurna menurut Imam Malik perampokan yang dilakukan baik diluar maupun didalam kota, tetapi Imam Abu Hanifah berbeda pendapat darinya dalam hal ini bahwa jika tindakan semacam itu dilakukan dikota, maka ia tak termasuk perampokan karena ada pihak berwenang yang akan melindungi warganya. Ulama yang lain mengatakan sama saja halnya apakah dilakukan diluar atau didalam kota asalkan ia menggunakan kekerasan maka itu temasuk perampokan. Sedangkan Imam Syafi’i menjelaskan bahwa pihak yang berwenang lemah, tak dapat menolong atau melindungi warganya maka perampok bersenjata mungkin saja terjadi didalam kota.
Unsur-Unsur Tindak Pidana Perampokan
1. Keluar untuk mengambil harta.
2. Dilakukan dengan terang-terangan dan disetai kekerasan.
3. Adanya realisasi, apakah itu dalam bentuk intimidasi (menakut-nakuti) saja, atau mengambil harta saja, atau membunuh saja, atau mengambil harta, intimidasi dan membunuh.
4. Adanya niat (kesengajaan) dari pelaku.
Syarat-syarat seseorang dapat diberi hukuman pidana prampokan
1. Syarat pada Subjek:
a. Harus balikh dan berakal
b. Dilakukan atas kemauan sendiri
c. Pelaku mengetahui bahwa sanya perbuatan itu dilarang
d. Harus laki-laki semuanya (menurut Abu Hanifah. Sedang menurut yang lainnya tidak mensyaratkannya.
2. Syarat pada Objek:
a. 100% milik orang lain
b. Yang diambil hanya harta mutaqawwim (bernilai dalam pandangan syar’i)
c. Harta yang bersifat bergerak
d. Harta harus mencapai nisab, nisabnya sama dengan nisab pada pencurian
3. Syarat pada korban, yaitu harus orang Islam[8]
Macam-macam perampokan dan hukumannya
Macam-macam perampokan dapat dikategorikan atau digolongkan sebagai berikut:
1. Jika perampok itu memeras harta korban dan membunuhnya pula maka perampoknya dihukum dibunuh dan disalib
2. Jika perampok itu hanya membunuh korbannya dan tidak merampas hartanya maka perampoknya dibunuh saja
3. Jika perampok itu hanya merampas harta kornbannya dan tidak membunuhnya maka perampoknya dipotong tangan dan kakinya berselang-seling. Kalau tangan kanan yang dipotong maka kaki kirinya juga dipotong
4. Jika perampok itu hanya menakut-nakuti orang-orang yang lalu atau mengganggu ketertiban umum maka mereka dibuang jauh-jauh atau dipenjarakan saja.[9]
Had yang dijatuhkan atas pembegal, perampok dan penyerobot di jalan jalan raya, ialah menurut tertib yang tersebut dalam Al qur’an. Pendapat ini disetujui Abu Hanifah dan Ahmad. Imam malik berbeda pendapat. Ia berpendapat bahwa had diserahkan kepada ijtihad hakim (kepala negara). Maka boleh dihukum bunuh, boleh dihukum salib, boleh dipotong tangan sebelah dan kaki sebelah dan boleh dipenjarakan.[10]
Hukuman mati dijatuhkan kepada perampok (pengganggu keamanan) apabila mereka melakukan pembunuhan. Hukuman ini merupakan hukum had dan bukan qishas. Oleh karena itu hukuman tersebut tidak boleh dimaafkan.[11] Menurut Ahmad jika perampok tersebut telah membunuh maka hendaknya ia dibunuh lalu disalibkan sesudah dibunuh. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat jika ia telah mengambil harta dan membunuh maka imam boleh memilih antara memotong sebelah kaki dan sebelah tangan, dengan membunuh mati tanpa menyalibnya.
Hukuman mati disalib ini dijatuhkan apabila perampok melakukan pembunuhan dan merampas harta benda. Jadi hukuman tersebut dijatuhkan atas pembunuhan dan pencurian harta bersama sama dan pembunuhan tersebut merupakan jalan untuk memudahkan pencurian harta. Hukuman tersebut juga merupakan hukuman had yang tidak bisa dimaafkan.
Hukuman potong tangan dan kaki ini dijatuhkan apabila perampok hanya mengambil harta melakukan pembunuhan. Dalam hal ini yang anggota badan yang dipotong adalah tangan kanan dan kaki kiri pelaku.
Hukuman pengasingan dijatuhkan apabila perampok (pengganggu keamanan) hanya menakut nakutin orang orang yang lewat dijalan tetapi tidak mengambil harta benda tetapi tidak mengambil harta benda dan tidak pula membunuh. Ahmad berkata bahwa diasingkan yang dimaksud adalah diusir dari kampung dan tidak memberikan mereka berkediaman disuatu tempat. Namun Abu Hanifah berpendapat bahwa jika mereka dapat ditangkap sebelum dapat mengambil harta orang dan sebelum dapat membuuh seseorang, hendaklah imam (hakim) memenjarakan mereka sehingga mereka bertobat. Imam Malik jika mereka dapat ditangkap, walaupun sebelum mereka membunuh atau merampas harta orang, maka hakim boleh memutuskan mana yang dipandang baik. Jika yang ditangkap itu kepala perampok da berpengaruh, boleh dibunuhnya. Kalau hanya mempunyai tenaga tapi tidak berpengaruh, cukuplah dengan diasingkan.
Pendapat yang sama juga diutarakan Imam Malik dalam hal hukumannya, jika pelaku adalah seorang wanita maka dia pun harus tetap dihukum. Hukuman-hukuman tersebut dapat diterapkan pada seorang wanita yang merampok, dengan pengecualian bahwa dia tidak boleh diasingkan karena hal ini daapat mengakibatkan mereka melakukan perzinahan yang merupakan pelanggaran yang lebih mengerikan.
Dalam hal Taubatnya Pelaku Perampokan
Bagaimana dalam hal ini jika seorang yang telah merampok/membegal telah melakukan taubat sebelum ia tertangkap? Apakah dia dapat diampuni dari kesalahan dan dosa-dosa nya?. Jika ada pemberontak atau pembegal yang berbuat kerusakan dimuka bumi ini melakukan taubat sebelum ia tertangkap, sedangkan mungkin pemerintah akan dapat menangkap mereka, maka Allah akan mengampunkan dosa mereka yang telah lewat dan hukuman mereka karena perampokan/pembegalan gugur karena allah telah berfirman yang artinya: “Demikian itu bagi mereka suatu kehinaan dan dunia dan mereka akan mendapat siksaan hebat di akhirat kecuali orang-orang yang bertaubat sebelum dapat kamu tangkap. Maka ketahuilah bahwa allah maha pengampun dan penyayang”.
Dalam keadaan bagaimanapun penyesalan yang mendalam sebelum pelaksanaan hukuman telah sangat terlambat sebagai alasan untuk mohon keampunan tetapi dia pelaku tetap harus bertanggung jawab atas semua pelanggaran selain mrampok dan harus mengembalikan harta korban yang tak berdosa itu. Sebagaimana yang ada dalam Q.S Al-Maidah (34)
“Kecuali orang-orang yang bertaubat (diantara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka maka ketahuilah bahwasanya Allah maha pengampun lagi maha penyayang”.[12]
Adapun syarat-syarat taubat yang harus dilakukan agar diterima, taubat itu meliputi lahir dan batin tetapi hukum melihat segi lahirnya, bukan batin yang hanya diketahui oleh Allah semata, jika perampok/pembegal taubat sebelum tertangkap maka taubatnya diterima dan segala konsekuensinya berlaku. Tetapi sebagian ulama mensyaratkan bahwa yang bertaubat menyerah pada pemerintah lalu pemerintah menerimanya tetapi ada pula pendapat tanpa mensyaratkan demikian. Dan pemerintah wajib menerima taubat setiap orang yang mau taubat. Dan ada pula pendapat mengatakan taubatnya cukup dengan menanggalkan senjatanya dan meninggalkan tempat-tempat timbulnya kejahatan (perampokan/pembegalan) tersebut dan menjaga keamanan masyarakat, tanpa perlu menyerahkan diri kepada pemerintah. Perampok itu mungkin laki-laki atau perempuan sepanjang mereka sadar, sehat ingatan, dan dewasa. Begitu mereka mengaku melakukan kejahatan itu kalau dua orang saksi muslim dewasa memberikan bukti atas perbuatan mereka sekalipun andaikan saksi itu adalah mereka yang menjadi korban maka hukuman bagi si pelaku harus dijatuhkan.
Ibnu Jarir menerangkan katanya: ali telah bercerita kepadaku bahwa walid bin muslim telah bercerita kepada kami katanya: laits telah berkata: begitulah musa al madani – seorang amir kami- bercerita kepadaku bahwa ali al asadi membegal, menakut-nakuti orang-orang berjalan, membunuh dan merampas harta. Lalu ia dicari oleh pejabat-pejabat dan masyarakat. Tetapi ia lolos dan mereka tidak dapat menangkapnya sampai dia datang kembali dalam keadaan taubat. Hal itu disebabkan karena ia mendengar seorang laki-laki membaca ayat yang artinya:
“Katakanlah hai hamba-hambaku yang berbuat durhaka kepada dirinya! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Allah sungguh mengampunkan segala dosa. Dia sungguh maha pengampun maha penyayang”. (az-Zumar: 53)
Lalu ia berhenti di hadapanya seraya berkata: “hai hamba allah ulangi lah bacaanya”. Lalu ia ulangi untuknya. Kemudian ia sarungkan pedangnya. Kemudian ia kembali dengan taubat dan tiba di madinah wktu sahur. Lalu ia mandi. Kemudian datang ke masjid rasulullah lalu shalat subuh. Kemudian ia duduk enghadap abu hurairah yang ada di tengah tengah muridnya. Tatkala orang-orang ini pergi, barulah orang-orang mengenalnya lalu mereka berdiri dihadapannya. Maka ali al mazdi: kalian tidak ada alasan berbuat kepada saya. Saya telah bertaubat sebelum kalian dapat menagkap saya. Lalu abu hurairah berkata: dia benar. Dan beliau pegang tangannya sampai marwan bin hakam datang ketika itu beliau menjadi amir di madinah pada jaman khalifah muawiyah. Lalu beliau berkata: ini adalah ali yang datang dengan bertaubat dan tidak ada lagi bagi kalian bertaubat kepadanya, juga tidak ada hukuman bunuh terhadapnya lalu ali meninggalkan semua kejahatannya. Kata (musa) selanjutnya: ali lalu keluar dalam keadaan taubat untuk berjihad di jalan Allah di tengah laut. Lalu mereka (pasukan islam) berhadapan dengan tentara romawi lalu mereka berada satu perahu dengan satu perahu lalu ali menyerang kedalam perahu mereka maka merekapun melarikan diri ke sudut lain dan saling serang menyerang sehingga mereka dapat ditenggelamkan semuannya.[13]
Para ulama telah pula memberikan pendapat mengenai tindakan perampokan dapat dikategorikan menjadi:
1. Perampokan yang hanya dapat membunuh tetapi tak dapat membawa rampasannya, tetap dianggap merampok
2. Kalau mereka membunuh dan membawa serta harta korbannya, inilah perampokan yang lengkap
3. Jika mereka merampas hart dengan menggunakan kekerasan tetapi tidak membunuh
4. Bahkan sekalipun mereka hanya menakut-nakuti tanpa memaksa merampok, namun ia tetap dianggap merampok.[14]
Pengertian Tindak Pidana Perampokan
Perampokan merupakan salah satu bentuk kejahatan. Perampokan dapat dikatakan pencurian besar karena hampir sama dengan mencuri, hanya saja jika dalam pencurian seseorang mengambil harta secara diam diam dan dalam perampokan mengambil harta secara terang terangan dan disertai ancaman bahkan kekerasan. Kejahatan inilah yang dilakukan oleh kelompok-kelompok bersenjata yang suka menyergap. Ini pula yang dalam Islam di sebut kejahatan perampokan atau “pencurian besar” untuk membedakannya dari “pencurian kecil” yakni pencurian biasa.[1]
Merampok artinya menggedor rumah orang untuk berbuat jahat terhadap jiwanya atau hartanya atau kehormatannya. Umumnya “merampok” ini dilakukan oleh lebih dari satu orang, sedangkan merampok dijalanan sering disebut dengan “membegal” dan jika hal itu terjadi dilaut disebut “merompak”.[2]
Sedangkan penodong[3] adalah merampas atau mengambil harta milik harta orang lain dengan cara memaksa korbannya. Pada umumnya kata penodong lebih lazim dipakai terhadap tindak pidana yang dilakukan diluar rumah. Jika perbuatan yang sama dilakukan oleh pelaku didalam rumah atau didalam gedung disebut dengan merampok. Dalam hukum islam perilaku demikian (penodong atau perampokan) diistilahkan sebagai muharib. Seorang dapat disebut muharib apabila (kriteria):
1. Apabila ia keluar rumah dengan niat mengambil harta milik orang lain dengan cara anarkis sehingga membuat suasana menakutkan atau mencekam, walaupun ia tidak berhasil mengambil harta dan atau membunuh pemilik harta.
2. Apabila ia keluar rumah dengan niat mengambil harta milik orang lain dengan cara anarkis dan berhasil mengambil harta tetapi tidak membunuh pemilik harta
3. Apabila ia keluar rumah dengan niat mengambil harta milik orang laindengan cara anarkis, tidak berhasil mengambil harta tetapi membunuh pemilik harta.
4. Apabila ia keluar rumah dengan mengambil harta milik orang lain dengan cara anarkis, berhasil mengambil harta dan membunuh pemiliknya.
Para fuqaha (ahli hukum islam) mengkategorikan penodongan atau perampokan dengan pencurian besar. Namun, pengertian muharib saat ini di indonesia biasa disebut pelaku teroris. Pelaku teroris (muharib) dimaksud, harus memenuhi dua syarat pokok yaitu jami’ dan mani’. Jami’ yakni segala tindakan kejahatan perilaku manusia, sedangkan mani’ adalah segala tindakan pencegahan perilaku manusia untuk berperilaku hirabah.[4]
Tindak pidana perampokan sendiri telah diatur hukuman serta larangannya dalam islam sebab tindakan merampok dapat merugikan orang lain. Seorang korban perampokan tidak hanya terancam kehilangan harta saja namun ia berpotensi terluka dan bahkan terancam kehilangan nyawa. Oleh sebab itu al qur’an menuliskan beberapa ayat yang didalamnya terdapat larangan dan hukuman merampok. Penodongan dijalan raya menurut al-aqauran merupakan suatu kejahatan yang gawat, yang dilakukan oleh sekelompok atau seorang bersenjata yang mungkin akan menyerang mussafir atau orang yang berjalan dijalan raya atau ditempat manapun mereka merampas harta korbannya dengan menggunakan kekerasan bila korbannya berusaha lari mencarai pertolongan. Dalam al-quran juga menyebutkan hal ini merupakan suatu “peperangan melawan allah dan rasulnya” dan merupakan suatu usaha menyebar luaskan kerusuhan didunia.[5]
Larangan dan hukumnya merampok
Perbuatan merampok sangat diharamkan, hal ini berdasarkan pada Quran Surat Al-Maidah ayat (33), yang berbunyi:
Artinya: “Sesungguhnya hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan melakukan pengacauan di muka bumi, ialah mereka harus dibunuh atau disalib atau, tangan dan kaki mereka dipotong selang-seling atau dibuang jauh. Demikian itu adalah kehinaan bagi mereka di dunia ini. Dan di akhirat mereka akan mendapat siksa yang hebat”[6]
Imam bukhari meriwayatkan asbabul nuzul dari ayat ini. Beberapa orang suku ukul datang menghadap rasulullah SAW di Madinah. Mereka berpura pura bahwa mereka ingin memeluk agama islam. Mereka mengeluh kepada rasulullah SAW bahwa cuaca di Madinah tidak cocok bagi mereka sehingga mereka mengalami gangguan kesehatan. Karena itu nabi memerintahkan agar mereka dibawa keluar Madinah untuk tinggal ditempat yang lebih bagi meeka dan minum susu dari sapi milik negara.
Mereka membunuh pemeliharanya dan melarikan diri dengan membawa serta sapi tersebut. Ketika masalah tersebut dilaporkan kepada rasulullah SAW, beliau SAW memerintahkan agar mereka dikejar dan dibawa kembali. Dan wahyu ini (dalam surat al-maidah (5): 33) dturunkan pada saat ini.[7]
Perampokan bukan hanya suatu pelanggaran terhadap manusia dan masyarakat melainkan juga berdasarkan kutipan ayat di atas seakan-akan merupakan suatu pernyataan perang terhadap Allah SWT dan rasulnya menggunakan kekerasan. Melakukan perang terhadap suatu masyarakat mungkin akan mengakibatkan kekacauan, kekalutan, dan hilangnya rasa aman dipikirkan dan di hati. Oleh karena itu perampok adalah orang yang menggunakan kekerasan (bersenjata) terhadap orang-orang yang yak berdosa dan tak mempunyai rasa permusuhan terhadap mereka sebelumnya. Beratnya tindak perampok ini tetap sama apakah ia dilakukan disebuah kota, desa ataupun dipadang pasir, dan korban tiada berdaya, tidak memperoleh pertolongan atau dilarang berteriak tolong. Inilah bentuk perampokan yang sempurna menurut Imam Malik perampokan yang dilakukan baik diluar maupun didalam kota, tetapi Imam Abu Hanifah berbeda pendapat darinya dalam hal ini bahwa jika tindakan semacam itu dilakukan dikota, maka ia tak termasuk perampokan karena ada pihak berwenang yang akan melindungi warganya. Ulama yang lain mengatakan sama saja halnya apakah dilakukan diluar atau didalam kota asalkan ia menggunakan kekerasan maka itu temasuk perampokan. Sedangkan Imam Syafi’i menjelaskan bahwa pihak yang berwenang lemah, tak dapat menolong atau melindungi warganya maka perampok bersenjata mungkin saja terjadi didalam kota.
Unsur-Unsur Tindak Pidana Perampokan
1. Keluar untuk mengambil harta.
2. Dilakukan dengan terang-terangan dan disetai kekerasan.
3. Adanya realisasi, apakah itu dalam bentuk intimidasi (menakut-nakuti) saja, atau mengambil harta saja, atau membunuh saja, atau mengambil harta, intimidasi dan membunuh.
4. Adanya niat (kesengajaan) dari pelaku.
Syarat-syarat seseorang dapat diberi hukuman pidana prampokan
1. Syarat pada Subjek:
a. Harus balikh dan berakal
b. Dilakukan atas kemauan sendiri
c. Pelaku mengetahui bahwa sanya perbuatan itu dilarang
d. Harus laki-laki semuanya (menurut Abu Hanifah. Sedang menurut yang lainnya tidak mensyaratkannya.
2. Syarat pada Objek:
a. 100% milik orang lain
b. Yang diambil hanya harta mutaqawwim (bernilai dalam pandangan syar’i)
c. Harta yang bersifat bergerak
d. Harta harus mencapai nisab, nisabnya sama dengan nisab pada pencurian
3. Syarat pada korban, yaitu harus orang Islam[8]
Macam-macam perampokan dan hukumannya
Macam-macam perampokan dapat dikategorikan atau digolongkan sebagai berikut:
1. Jika perampok itu memeras harta korban dan membunuhnya pula maka perampoknya dihukum dibunuh dan disalib
2. Jika perampok itu hanya membunuh korbannya dan tidak merampas hartanya maka perampoknya dibunuh saja
3. Jika perampok itu hanya merampas harta kornbannya dan tidak membunuhnya maka perampoknya dipotong tangan dan kakinya berselang-seling. Kalau tangan kanan yang dipotong maka kaki kirinya juga dipotong
4. Jika perampok itu hanya menakut-nakuti orang-orang yang lalu atau mengganggu ketertiban umum maka mereka dibuang jauh-jauh atau dipenjarakan saja.[9]
Had yang dijatuhkan atas pembegal, perampok dan penyerobot di jalan jalan raya, ialah menurut tertib yang tersebut dalam Al qur’an. Pendapat ini disetujui Abu Hanifah dan Ahmad. Imam malik berbeda pendapat. Ia berpendapat bahwa had diserahkan kepada ijtihad hakim (kepala negara). Maka boleh dihukum bunuh, boleh dihukum salib, boleh dipotong tangan sebelah dan kaki sebelah dan boleh dipenjarakan.[10]
Hukuman mati dijatuhkan kepada perampok (pengganggu keamanan) apabila mereka melakukan pembunuhan. Hukuman ini merupakan hukum had dan bukan qishas. Oleh karena itu hukuman tersebut tidak boleh dimaafkan.[11] Menurut Ahmad jika perampok tersebut telah membunuh maka hendaknya ia dibunuh lalu disalibkan sesudah dibunuh. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat jika ia telah mengambil harta dan membunuh maka imam boleh memilih antara memotong sebelah kaki dan sebelah tangan, dengan membunuh mati tanpa menyalibnya.
Hukuman mati disalib ini dijatuhkan apabila perampok melakukan pembunuhan dan merampas harta benda. Jadi hukuman tersebut dijatuhkan atas pembunuhan dan pencurian harta bersama sama dan pembunuhan tersebut merupakan jalan untuk memudahkan pencurian harta. Hukuman tersebut juga merupakan hukuman had yang tidak bisa dimaafkan.
Hukuman potong tangan dan kaki ini dijatuhkan apabila perampok hanya mengambil harta melakukan pembunuhan. Dalam hal ini yang anggota badan yang dipotong adalah tangan kanan dan kaki kiri pelaku.
Hukuman pengasingan dijatuhkan apabila perampok (pengganggu keamanan) hanya menakut nakutin orang orang yang lewat dijalan tetapi tidak mengambil harta benda tetapi tidak mengambil harta benda dan tidak pula membunuh. Ahmad berkata bahwa diasingkan yang dimaksud adalah diusir dari kampung dan tidak memberikan mereka berkediaman disuatu tempat. Namun Abu Hanifah berpendapat bahwa jika mereka dapat ditangkap sebelum dapat mengambil harta orang dan sebelum dapat membuuh seseorang, hendaklah imam (hakim) memenjarakan mereka sehingga mereka bertobat. Imam Malik jika mereka dapat ditangkap, walaupun sebelum mereka membunuh atau merampas harta orang, maka hakim boleh memutuskan mana yang dipandang baik. Jika yang ditangkap itu kepala perampok da berpengaruh, boleh dibunuhnya. Kalau hanya mempunyai tenaga tapi tidak berpengaruh, cukuplah dengan diasingkan.
Pendapat yang sama juga diutarakan Imam Malik dalam hal hukumannya, jika pelaku adalah seorang wanita maka dia pun harus tetap dihukum. Hukuman-hukuman tersebut dapat diterapkan pada seorang wanita yang merampok, dengan pengecualian bahwa dia tidak boleh diasingkan karena hal ini daapat mengakibatkan mereka melakukan perzinahan yang merupakan pelanggaran yang lebih mengerikan.
Dalam hal Taubatnya Pelaku Perampokan
Bagaimana dalam hal ini jika seorang yang telah merampok/membegal telah melakukan taubat sebelum ia tertangkap? Apakah dia dapat diampuni dari kesalahan dan dosa-dosa nya?. Jika ada pemberontak atau pembegal yang berbuat kerusakan dimuka bumi ini melakukan taubat sebelum ia tertangkap, sedangkan mungkin pemerintah akan dapat menangkap mereka, maka Allah akan mengampunkan dosa mereka yang telah lewat dan hukuman mereka karena perampokan/pembegalan gugur karena allah telah berfirman yang artinya: “Demikian itu bagi mereka suatu kehinaan dan dunia dan mereka akan mendapat siksaan hebat di akhirat kecuali orang-orang yang bertaubat sebelum dapat kamu tangkap. Maka ketahuilah bahwa allah maha pengampun dan penyayang”.
Dalam keadaan bagaimanapun penyesalan yang mendalam sebelum pelaksanaan hukuman telah sangat terlambat sebagai alasan untuk mohon keampunan tetapi dia pelaku tetap harus bertanggung jawab atas semua pelanggaran selain mrampok dan harus mengembalikan harta korban yang tak berdosa itu. Sebagaimana yang ada dalam Q.S Al-Maidah (34)
“Kecuali orang-orang yang bertaubat (diantara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka maka ketahuilah bahwasanya Allah maha pengampun lagi maha penyayang”.[12]
Adapun syarat-syarat taubat yang harus dilakukan agar diterima, taubat itu meliputi lahir dan batin tetapi hukum melihat segi lahirnya, bukan batin yang hanya diketahui oleh Allah semata, jika perampok/pembegal taubat sebelum tertangkap maka taubatnya diterima dan segala konsekuensinya berlaku. Tetapi sebagian ulama mensyaratkan bahwa yang bertaubat menyerah pada pemerintah lalu pemerintah menerimanya tetapi ada pula pendapat tanpa mensyaratkan demikian. Dan pemerintah wajib menerima taubat setiap orang yang mau taubat. Dan ada pula pendapat mengatakan taubatnya cukup dengan menanggalkan senjatanya dan meninggalkan tempat-tempat timbulnya kejahatan (perampokan/pembegalan) tersebut dan menjaga keamanan masyarakat, tanpa perlu menyerahkan diri kepada pemerintah. Perampok itu mungkin laki-laki atau perempuan sepanjang mereka sadar, sehat ingatan, dan dewasa. Begitu mereka mengaku melakukan kejahatan itu kalau dua orang saksi muslim dewasa memberikan bukti atas perbuatan mereka sekalipun andaikan saksi itu adalah mereka yang menjadi korban maka hukuman bagi si pelaku harus dijatuhkan.
Ibnu Jarir menerangkan katanya: ali telah bercerita kepadaku bahwa walid bin muslim telah bercerita kepada kami katanya: laits telah berkata: begitulah musa al madani – seorang amir kami- bercerita kepadaku bahwa ali al asadi membegal, menakut-nakuti orang-orang berjalan, membunuh dan merampas harta. Lalu ia dicari oleh pejabat-pejabat dan masyarakat. Tetapi ia lolos dan mereka tidak dapat menangkapnya sampai dia datang kembali dalam keadaan taubat. Hal itu disebabkan karena ia mendengar seorang laki-laki membaca ayat yang artinya:
“Katakanlah hai hamba-hambaku yang berbuat durhaka kepada dirinya! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Allah sungguh mengampunkan segala dosa. Dia sungguh maha pengampun maha penyayang”. (az-Zumar: 53)
Lalu ia berhenti di hadapanya seraya berkata: “hai hamba allah ulangi lah bacaanya”. Lalu ia ulangi untuknya. Kemudian ia sarungkan pedangnya. Kemudian ia kembali dengan taubat dan tiba di madinah wktu sahur. Lalu ia mandi. Kemudian datang ke masjid rasulullah lalu shalat subuh. Kemudian ia duduk enghadap abu hurairah yang ada di tengah tengah muridnya. Tatkala orang-orang ini pergi, barulah orang-orang mengenalnya lalu mereka berdiri dihadapannya. Maka ali al mazdi: kalian tidak ada alasan berbuat kepada saya. Saya telah bertaubat sebelum kalian dapat menagkap saya. Lalu abu hurairah berkata: dia benar. Dan beliau pegang tangannya sampai marwan bin hakam datang ketika itu beliau menjadi amir di madinah pada jaman khalifah muawiyah. Lalu beliau berkata: ini adalah ali yang datang dengan bertaubat dan tidak ada lagi bagi kalian bertaubat kepadanya, juga tidak ada hukuman bunuh terhadapnya lalu ali meninggalkan semua kejahatannya. Kata (musa) selanjutnya: ali lalu keluar dalam keadaan taubat untuk berjihad di jalan Allah di tengah laut. Lalu mereka (pasukan islam) berhadapan dengan tentara romawi lalu mereka berada satu perahu dengan satu perahu lalu ali menyerang kedalam perahu mereka maka merekapun melarikan diri ke sudut lain dan saling serang menyerang sehingga mereka dapat ditenggelamkan semuannya.[13]
Para ulama telah pula memberikan pendapat mengenai tindakan perampokan dapat dikategorikan menjadi:
1. Perampokan yang hanya dapat membunuh tetapi tak dapat membawa rampasannya, tetap dianggap merampok
2. Kalau mereka membunuh dan membawa serta harta korbannya, inilah perampokan yang lengkap
3. Jika mereka merampas hart dengan menggunakan kekerasan tetapi tidak membunuh
4. Bahkan sekalipun mereka hanya menakut-nakuti tanpa memaksa merampok, namun ia tetap dianggap merampok.[14]
DAFTAR PUSTAKA
Yusuf Qardhawi, Fiqih Jihad: Sebuah Karya Monumental Terlengkap tentang Jihad Menurut Al-Quran dan Sunnah, alih bahasa Ifran Maulana Hakim dkk, Bandung: PT MIzan Pustaka, 2010
Thalib. M, Fiqih Nabawi, Surabaya: Al-Ikhlas, tth.
I Doi Abdur Rahman, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam ,Jakarta: Rineka Cipta, 1992.
http://trialbydoing.blogspot.com/2012/07/hirabah-perampokan.html , akses 07/10/2013 14:40
Ali Zainuddin, Hukum Pidana Islam ,Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Ash-Shiddiqieqy Muhammad Hasbi, Hukum-Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Muslich Ahmad Wardi, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
[1] Yusuf Qardhawi, Fiqih Jihad: Sebuah Karya Monumental Terlengkap tentang Jihad Menurut Al-Quran dan Sunnah, alih bahasa Ifran Maulana Hakim dkk, cet. Ke-1 (Bandung: PT MIzan Pustaka, 2010), hlm. 890.
[2] M. Thalib, Fiqih Nabawi (Surabaya: Al-Ikhlas, 1991), hlm. 290.
[3] Menodong adalah mengarahkan senjata (pistol dsb) sbg ancaman untuk merampok, merampas, dsb, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
[4] Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 69
[5] Abdur Rahman I Doi, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hlm. 56
[6]Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm.70
[7] Abdur Rahman I Doi, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam, hlm. 57
[8] http://trialbydoing.blogspot.com/2012/07/hirabah-perampokan.html , akses 07/10/2013 14:40
[9] M. Thalib, Fiqih Nabawi, hlm. 291
[10] Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqieqy, Hukum-Hukum Islam, (Jakarta :Bulan Bintang, 1978), hlm. 563-564.
[11] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 150-151
[12] Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, hlm.70
[13] M. Thalib, Fiqih Nabawi, hlm. 292
[14] M. Thalib, Fiqih Nabawi, hlm. 59
Blogger Comment
Facebook Comment