NILAI PROFETIK DALAM KEBIJAKAN KENAIKAN HARGA BBM
kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu di masyarakat di mana dalam penyusunannya melalui berbagai tahapan.[1]Kebijakan publik adalah keputusan otoritas negara yang bertujuan mengatur kehidupan bersama. Dalam sebuah kebijakan akan sangat mempengaruhi cara, pola, srtategi dan fokus perubahan yang akan dicapai. Kebijakan dapat dimengerti sebagai ketetapan, keputusan dan semua bentuk tataperaturan yang dibuat oleh lembaga negara seperti legislatif, eksekutif, dan yudikatif.[2]Dalam paper ini akan dibahas mengenai kebijakan yang dibuat oleh lembaga negara eksekutif khususnya presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tentunya dalam masa pemerintahannya yang lama, yaitu mencapai dua periode masa jabatan memiliki pro dan kontra dalam pelaksanaannya dan juga integrasinya terhadap ilmu politik profetik.
Fokus kebijakan yang diangkat adalah kebijakan kenaikan harga BBM dalam masa pemerintahan presiden SBY. Kebijakan menaikkan harga BBM yang dilakukan beberapa kali dalam masa pemerintahan SBY ini bukan serta merta tidak menimbulkan gejolak sosial. Kontra dan kontra terhadap kebijakan ini sangat kuat dilengungkan oleh banyak pihak, dan hanya sedikit pihak diluar pemerintah yang menguatkan kebijakan ini. Pada kenyataannya memang kebijakan ini secara instan meringankan beban defisit APBN negara, namun juga tidak kalah instan meningkatkan penderitaan rakyat miskin. Terlebih kenaikan harga BBM akan menimbulkan dampak yang beruntun, mulai dari rasa semakin mahalnya harga BBM sampai imbas kenaikan harga keseluruhan. Apakah kebijakan kenaikan harga BBM ini termasuk langkah yang mengedepankan sifat yang profetik atau kah berlawanan. Dalam pembahasan politik profetik dikenal tujuh nilai dasar atau prinsip negara hukum dalam perspektif Islam yaitu, kedulatan, pengambilan keputusan, sendi dasar pengelolaan negara, relasi negara dan masyarakat, supremasi hukum, tujuan negara, ketaatan rakyat. Dalam kaitannya kebijakan kenaikan harga BBM lebih tepat kita mengambil prinsip pengambilan keputusan, tujuan negara dan juga ketaatan rakyat.
Kisah panjang kenaikan BBM masa pemerintahan SBY dimulai pada 1 maret 2005, saat itu kenaikkan harga BBM naik dari Rp. 1.810 per liter menjadi Rp. 2.400 per liter untuk Premium dengan kenaikan dalam persen sebesar 32,5% dan dari Rp. 1.650 per liter menjadi Rp. 2.100 untuk Solar dengan kenaikan dalam persen 27%.[3]Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak takut kehilangan popularitas (Kompas, 26/2) menjadi taruhan dangan dalih “demi keadilan” atas subsidi BBM yang selama ini banyak dinikmati kelas menengah ketimbang rakyat kecil. Namun apa dikata yang terjadi di dalam kenyataannya, kelas menengah keatas adalah pihak yang tidak merasa gelisah akan kenaikan itu, sebaliknya kelas menengah kebawah benar-benar merasakan dampaknya yang kecut.[4]Masih di tahun yang sama, pada 1 Oktober 2005 pemerintah Presiden SBY kembali menaikan harga BBM dengan tiga objek BBM, nama baru muncul yaitu Minyak Tanah, ikut dinaikkan. Dengan harga awal Rp. 700 naik menjadi Rp. 2000 untuk Minyak Tanah dengan kenaikan dalam persen 185,7%, Rp. 2400 menjadi Rp. 4.500 untuk Premium dengan kenaikan dalam persen 87,5%, dan Rp. 2.100 menjadi Rp. 4.300 untuk Solar dengan kenaikan dalam persen 104,8%. Dua tahun lebih harga BBM ini bertahan, namun perdebatan mengenai kenaikan BBM ini masih hangat menjadi topik berita. Memasuki tahun 2008, turunnya harga BBM yang dinanti-nanti pupus, bukannya turun Premium naik sampai Rp. 6.000. Sehingga istilah SBY-JK tidak di maknai sebenarnya, tapi Susah bensin Ya Jalan Kaki. Namun akhirnya terjadi penurunan harga Premium pada 24 Mei 2008, dari Rp. 6.000 menjadi Rp. 4.500.[5]Penurunan yang di tunggu-tunggu walaupun hanya kembali ke harga sebelumnya, sangat membahagiakan.
Apa sebenarnya dibalik semua kenaikan harga BBM ini, pasti terdapat alasan-alasan yang kuat yang menjadi dasar terbentuknya kebijakan. Menurut perhitungan kementerian, kenaikan minyak itu disebabkan oleh besaran subsidi yang tak bisa ditanggung oleh APBN. Terlebih setelah harga minyak di pasaran internasional melonjak di atas angka US$50 per barel, beban subsidi semakin bertambah berat. Sebelum terjadi lonjakan harga minyak, subsidi BBM mencapai angka Rp. 75 triliun per tahun, dan setelah terjadi lonjakan menjadi sebesar Rp. 100 triliun (Kompas, 2/11/2004). Selain itu, subsidi yang diberikan selama ini telah salah sasaran, karena subsidi lebih besar dinikmati oleh kalangan menengah keatas dan para oranng kaya dan pengusaha. Pemerintah menganggap kenaikan harga minyak dunia dan kenaikan BBM dalam negeri adalah pilihan terakhir untuk menyelamatkan negara ini dari inflasi. Hasil dari pengaruh harga minyak dunia yang terus meningkat sehingga menyebabkan perbedaan harga minyak mentah domestik dan internasional terlalu jauh melebar. Perbedaan harga yang terlalu melebar ini mengakibatkan konsumsi BBM tidak terkendali. Pengaruh lain adalah indeks harga saham terus menurun, rupiah masuk fase anomali yang menakutkan sangat beresiko krisis moneter, dan inflasi meningkat tajam akibat instabilitas makro. Jika ada pihak yang menolak kenaikan harga BBM ini dan meminta pemerintah mencari alternatif lain dalam menanggulangi masalah inflasi itu, pemerintah pun memiliki alasan bahwa mereka sudah melakukan sejumlah usaha agar tidak harus menaikkan harga BBM dalam negeri, namun hasilnya masih sangat meragukan bisa menanggulagi masalah utama. Sehingga tak bisa dihindari menurut pemerintah jalan terakhir adalah memberikan kebijakan yang sangat berat itu, menaikkan harga BBM.[6]
Menghadapi kebijakan kenaikan harga BBM beberapa pihak memberi alternatif kebijakan untuk menghadapi kenaikan harga minyak dunia. Seperti Menneg PPN/Kepala Bappenas, H. Paskah Suzetta, mengusulkan agar kenaikan harga BBM dilakukan secara bertahap sebagai alternatif kebijakan untuk menghadapi kenaikan harga minyak dunia. Alternatif ini bertujuan agar menghindari gejolak sosial yang terlalu berat. Selain itu masyarakat bisa mengembangkan sifat adaptasi terhadap dampak kenaikan BBM ini dengan lebih mudah dibanding dengan kenaikan yang serentak tinggi. Sehingga dapat dihindari timbulnya suatu reaksi yang berlebihan (overshoot) dari kenaikan harga barang dan jasa lainnya yang pada gilirannya dapat merugikan/memukul perekonomian secara lebih besar.[7]Sedangkan Menteri Kelautan dan Perikanan, Fredy Numberi memberi alternatif bahwa ada sumber energi lain yang bisa menjadi solusi mahalnya Minyak dunia. Indonesia adalah negara dengan luas laut yang lebih luas dari daratan, energi alternatif itu bisa didapat dari energi panas laut, energi gelombang dan energi pasang surut.[8]Mungkin ada alternatif lain yang pernah diutarakan pihak-pihak penentang kebijakan kenaikan harga BBM ini, namun tidak terlalu di sorot.
Selebihnya tanggapan yang paling berkembang adalah menolak kebijakan kenaikan harga BBM ini tanpa memberi solusi alternatif, dan hanya memberikan deskripsi masalah yang akan muncul atau kerugian dari kebijakan menaikkan harga BBM. Mereka para penentang kebijakan lebih sering memberi alasan-alasan kenapa kebijakan ini harus ditentang. Sangat disayangkan jika penentangan ini tidak dilakukan dengan evaluasi yang ketat terhadap kebijakan tersebut. Wajar jika kebijakan tidak berubah walau gerakan demontrasi begitu besar dari segala wilayah nusantara. Alternatif baru yang timbul akibat kebijakan kenaikan harga BBM ini pun tidak memiliki argumen yang kuat dan kritis dalam melihat dampak utama. Jika sekiranya alternatif kebijakan disampaikan secara detail terhadap dampak dan hasil yang akan hadir dengan diberlakukannya kebijakan alternatif tersebut, bisa jadi pemerintah akan mengurungkan niatnya menaikkan harga BBM dan melaksanakan kebijakan alternatif tersebut. Pengambilan keputusan kebijakan kenaikan harga BBM oleh pemerintah jika dilihat dengan kaca dampak pada masyarakat kecil, kebijakan ini kurang tepat atau belum memenuhi prinsip pengambilan keputusan yang baik. Namun jika kita melihat penyebab dan dampak jangka panjang terhadap kondisi ekonomi negara kebijakan ini memenuhi prinsip pengambilan kebijakan, karena secara fungsi keaadaan Indonesia sedang dalam kondisi tertekan karena kenaikan harga minyak dunia. Walaupun dasar pengambilan kebijakan ini jelas dan memang merupakan cara ampuh menekan defisit APBN, tapi jika akhirnya memberikan efek menyengsarakan rakyat dan merusak tujuan negara untuk mensejahterakan kehidupan bangsa, kebijakan kenaikan harga BBM melukai prinsip profetik. Disamping itu tanggapan rakyat sangat menentang kebijakan ini, dengan lahirnya banyak gerakan demontrasi, bahkan tak jarang yang mendemontrasikannya dengan mogok makan dan menjahit mulut. Ini membuktikan tingkat kepatuhan atau ketaatan rakyat akan kebijakan ini sangat kecil, kalaupun akhirnya mereka menerima kebijakan ini, ini karena mereka sudah tidak mempu berbuat apa-apa atau sudah masuk dalam kondisi yang memang harus menerima. Dilema besar memang, posisi pemerintah antara mendengarkan keluhan rakyat dan mempertahankan keuangan negara.
PEMBACA YANG BAIK MENINGGALKAN KOMENTAR
kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu di masyarakat di mana dalam penyusunannya melalui berbagai tahapan.[1]Kebijakan publik adalah keputusan otoritas negara yang bertujuan mengatur kehidupan bersama. Dalam sebuah kebijakan akan sangat mempengaruhi cara, pola, srtategi dan fokus perubahan yang akan dicapai. Kebijakan dapat dimengerti sebagai ketetapan, keputusan dan semua bentuk tataperaturan yang dibuat oleh lembaga negara seperti legislatif, eksekutif, dan yudikatif.[2]Dalam paper ini akan dibahas mengenai kebijakan yang dibuat oleh lembaga negara eksekutif khususnya presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tentunya dalam masa pemerintahannya yang lama, yaitu mencapai dua periode masa jabatan memiliki pro dan kontra dalam pelaksanaannya dan juga integrasinya terhadap ilmu politik profetik.
Fokus kebijakan yang diangkat adalah kebijakan kenaikan harga BBM dalam masa pemerintahan presiden SBY. Kebijakan menaikkan harga BBM yang dilakukan beberapa kali dalam masa pemerintahan SBY ini bukan serta merta tidak menimbulkan gejolak sosial. Kontra dan kontra terhadap kebijakan ini sangat kuat dilengungkan oleh banyak pihak, dan hanya sedikit pihak diluar pemerintah yang menguatkan kebijakan ini. Pada kenyataannya memang kebijakan ini secara instan meringankan beban defisit APBN negara, namun juga tidak kalah instan meningkatkan penderitaan rakyat miskin. Terlebih kenaikan harga BBM akan menimbulkan dampak yang beruntun, mulai dari rasa semakin mahalnya harga BBM sampai imbas kenaikan harga keseluruhan. Apakah kebijakan kenaikan harga BBM ini termasuk langkah yang mengedepankan sifat yang profetik atau kah berlawanan. Dalam pembahasan politik profetik dikenal tujuh nilai dasar atau prinsip negara hukum dalam perspektif Islam yaitu, kedulatan, pengambilan keputusan, sendi dasar pengelolaan negara, relasi negara dan masyarakat, supremasi hukum, tujuan negara, ketaatan rakyat. Dalam kaitannya kebijakan kenaikan harga BBM lebih tepat kita mengambil prinsip pengambilan keputusan, tujuan negara dan juga ketaatan rakyat.
Kisah panjang kenaikan BBM masa pemerintahan SBY dimulai pada 1 maret 2005, saat itu kenaikkan harga BBM naik dari Rp. 1.810 per liter menjadi Rp. 2.400 per liter untuk Premium dengan kenaikan dalam persen sebesar 32,5% dan dari Rp. 1.650 per liter menjadi Rp. 2.100 untuk Solar dengan kenaikan dalam persen 27%.[3]Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak takut kehilangan popularitas (Kompas, 26/2) menjadi taruhan dangan dalih “demi keadilan” atas subsidi BBM yang selama ini banyak dinikmati kelas menengah ketimbang rakyat kecil. Namun apa dikata yang terjadi di dalam kenyataannya, kelas menengah keatas adalah pihak yang tidak merasa gelisah akan kenaikan itu, sebaliknya kelas menengah kebawah benar-benar merasakan dampaknya yang kecut.[4]Masih di tahun yang sama, pada 1 Oktober 2005 pemerintah Presiden SBY kembali menaikan harga BBM dengan tiga objek BBM, nama baru muncul yaitu Minyak Tanah, ikut dinaikkan. Dengan harga awal Rp. 700 naik menjadi Rp. 2000 untuk Minyak Tanah dengan kenaikan dalam persen 185,7%, Rp. 2400 menjadi Rp. 4.500 untuk Premium dengan kenaikan dalam persen 87,5%, dan Rp. 2.100 menjadi Rp. 4.300 untuk Solar dengan kenaikan dalam persen 104,8%. Dua tahun lebih harga BBM ini bertahan, namun perdebatan mengenai kenaikan BBM ini masih hangat menjadi topik berita. Memasuki tahun 2008, turunnya harga BBM yang dinanti-nanti pupus, bukannya turun Premium naik sampai Rp. 6.000. Sehingga istilah SBY-JK tidak di maknai sebenarnya, tapi Susah bensin Ya Jalan Kaki. Namun akhirnya terjadi penurunan harga Premium pada 24 Mei 2008, dari Rp. 6.000 menjadi Rp. 4.500.[5]Penurunan yang di tunggu-tunggu walaupun hanya kembali ke harga sebelumnya, sangat membahagiakan.
Apa sebenarnya dibalik semua kenaikan harga BBM ini, pasti terdapat alasan-alasan yang kuat yang menjadi dasar terbentuknya kebijakan. Menurut perhitungan kementerian, kenaikan minyak itu disebabkan oleh besaran subsidi yang tak bisa ditanggung oleh APBN. Terlebih setelah harga minyak di pasaran internasional melonjak di atas angka US$50 per barel, beban subsidi semakin bertambah berat. Sebelum terjadi lonjakan harga minyak, subsidi BBM mencapai angka Rp. 75 triliun per tahun, dan setelah terjadi lonjakan menjadi sebesar Rp. 100 triliun (Kompas, 2/11/2004). Selain itu, subsidi yang diberikan selama ini telah salah sasaran, karena subsidi lebih besar dinikmati oleh kalangan menengah keatas dan para oranng kaya dan pengusaha. Pemerintah menganggap kenaikan harga minyak dunia dan kenaikan BBM dalam negeri adalah pilihan terakhir untuk menyelamatkan negara ini dari inflasi. Hasil dari pengaruh harga minyak dunia yang terus meningkat sehingga menyebabkan perbedaan harga minyak mentah domestik dan internasional terlalu jauh melebar. Perbedaan harga yang terlalu melebar ini mengakibatkan konsumsi BBM tidak terkendali. Pengaruh lain adalah indeks harga saham terus menurun, rupiah masuk fase anomali yang menakutkan sangat beresiko krisis moneter, dan inflasi meningkat tajam akibat instabilitas makro. Jika ada pihak yang menolak kenaikan harga BBM ini dan meminta pemerintah mencari alternatif lain dalam menanggulangi masalah inflasi itu, pemerintah pun memiliki alasan bahwa mereka sudah melakukan sejumlah usaha agar tidak harus menaikkan harga BBM dalam negeri, namun hasilnya masih sangat meragukan bisa menanggulagi masalah utama. Sehingga tak bisa dihindari menurut pemerintah jalan terakhir adalah memberikan kebijakan yang sangat berat itu, menaikkan harga BBM.[6]
Menghadapi kebijakan kenaikan harga BBM beberapa pihak memberi alternatif kebijakan untuk menghadapi kenaikan harga minyak dunia. Seperti Menneg PPN/Kepala Bappenas, H. Paskah Suzetta, mengusulkan agar kenaikan harga BBM dilakukan secara bertahap sebagai alternatif kebijakan untuk menghadapi kenaikan harga minyak dunia. Alternatif ini bertujuan agar menghindari gejolak sosial yang terlalu berat. Selain itu masyarakat bisa mengembangkan sifat adaptasi terhadap dampak kenaikan BBM ini dengan lebih mudah dibanding dengan kenaikan yang serentak tinggi. Sehingga dapat dihindari timbulnya suatu reaksi yang berlebihan (overshoot) dari kenaikan harga barang dan jasa lainnya yang pada gilirannya dapat merugikan/memukul perekonomian secara lebih besar.[7]Sedangkan Menteri Kelautan dan Perikanan, Fredy Numberi memberi alternatif bahwa ada sumber energi lain yang bisa menjadi solusi mahalnya Minyak dunia. Indonesia adalah negara dengan luas laut yang lebih luas dari daratan, energi alternatif itu bisa didapat dari energi panas laut, energi gelombang dan energi pasang surut.[8]Mungkin ada alternatif lain yang pernah diutarakan pihak-pihak penentang kebijakan kenaikan harga BBM ini, namun tidak terlalu di sorot.
Selebihnya tanggapan yang paling berkembang adalah menolak kebijakan kenaikan harga BBM ini tanpa memberi solusi alternatif, dan hanya memberikan deskripsi masalah yang akan muncul atau kerugian dari kebijakan menaikkan harga BBM. Mereka para penentang kebijakan lebih sering memberi alasan-alasan kenapa kebijakan ini harus ditentang. Sangat disayangkan jika penentangan ini tidak dilakukan dengan evaluasi yang ketat terhadap kebijakan tersebut. Wajar jika kebijakan tidak berubah walau gerakan demontrasi begitu besar dari segala wilayah nusantara. Alternatif baru yang timbul akibat kebijakan kenaikan harga BBM ini pun tidak memiliki argumen yang kuat dan kritis dalam melihat dampak utama. Jika sekiranya alternatif kebijakan disampaikan secara detail terhadap dampak dan hasil yang akan hadir dengan diberlakukannya kebijakan alternatif tersebut, bisa jadi pemerintah akan mengurungkan niatnya menaikkan harga BBM dan melaksanakan kebijakan alternatif tersebut. Pengambilan keputusan kebijakan kenaikan harga BBM oleh pemerintah jika dilihat dengan kaca dampak pada masyarakat kecil, kebijakan ini kurang tepat atau belum memenuhi prinsip pengambilan keputusan yang baik. Namun jika kita melihat penyebab dan dampak jangka panjang terhadap kondisi ekonomi negara kebijakan ini memenuhi prinsip pengambilan kebijakan, karena secara fungsi keaadaan Indonesia sedang dalam kondisi tertekan karena kenaikan harga minyak dunia. Walaupun dasar pengambilan kebijakan ini jelas dan memang merupakan cara ampuh menekan defisit APBN, tapi jika akhirnya memberikan efek menyengsarakan rakyat dan merusak tujuan negara untuk mensejahterakan kehidupan bangsa, kebijakan kenaikan harga BBM melukai prinsip profetik. Disamping itu tanggapan rakyat sangat menentang kebijakan ini, dengan lahirnya banyak gerakan demontrasi, bahkan tak jarang yang mendemontrasikannya dengan mogok makan dan menjahit mulut. Ini membuktikan tingkat kepatuhan atau ketaatan rakyat akan kebijakan ini sangat kecil, kalaupun akhirnya mereka menerima kebijakan ini, ini karena mereka sudah tidak mempu berbuat apa-apa atau sudah masuk dalam kondisi yang memang harus menerima. Dilema besar memang, posisi pemerintah antara mendengarkan keluhan rakyat dan mempertahankan keuangan negara.
PEMBACA YANG BAIK MENINGGALKAN KOMENTAR
[1] William Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1998, hal 24.
[2]Makinuddin, Tri Hadiyanto Sasongko, Analisis Sosial: Beraksi Dalam Advokasi Irigasi, Bandung: Yayasan AKATIGA, 2006, hal 18.
[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Harga_bahan_bakar_minyak_di_Indonesia, Harga Bahan Bakar Minyak di Indonesia, diakses pada tanggal 2 Juni 2013.
[4] http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=4937&coid=2&caid=30&gid=2, Dampak Harga BBM dan Pertimbangan Sepihak, diakses pada tanggal 2 Juni 2013.
[5] http://anditoaja.wordpress.com/2008/05/26/bbm/, BBM, diakses pada tanggal 2 Juni 2013.
[6] PDF, Realokasi Subsidi BBM Demi Keadilan, Kementerian Koordinator kesejahteraan Rakyat 04 Juni 2008.
[7] http://www.bappenas.go.id/print/1396/alternatif-kebijakan-untuk-menghadapi-kenaikan-harga-minyak-dunia/, Alternatif Kebijakan untuk Menghadapi Kenaikan Harga Minyak Dunia, diakses pada tanggal 3 Juni 2013.
[8] http://beritasore.com/2008/06/06/energi-alternatif-sebagai-solusi-kenaikan-bbm/, Energi Alternatif Sebagai Solusi Kenaikan BBM, diakses pada tanggal 3 Juni 2013.
[2]Makinuddin, Tri Hadiyanto Sasongko, Analisis Sosial: Beraksi Dalam Advokasi Irigasi, Bandung: Yayasan AKATIGA, 2006, hal 18.
[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Harga_bahan_bakar_minyak_di_Indonesia, Harga Bahan Bakar Minyak di Indonesia, diakses pada tanggal 2 Juni 2013.
[4] http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=4937&coid=2&caid=30&gid=2, Dampak Harga BBM dan Pertimbangan Sepihak, diakses pada tanggal 2 Juni 2013.
[5] http://anditoaja.wordpress.com/2008/05/26/bbm/, BBM, diakses pada tanggal 2 Juni 2013.
[6] PDF, Realokasi Subsidi BBM Demi Keadilan, Kementerian Koordinator kesejahteraan Rakyat 04 Juni 2008.
[7] http://www.bappenas.go.id/print/1396/alternatif-kebijakan-untuk-menghadapi-kenaikan-harga-minyak-dunia/, Alternatif Kebijakan untuk Menghadapi Kenaikan Harga Minyak Dunia, diakses pada tanggal 3 Juni 2013.
[8] http://beritasore.com/2008/06/06/energi-alternatif-sebagai-solusi-kenaikan-bbm/, Energi Alternatif Sebagai Solusi Kenaikan BBM, diakses pada tanggal 3 Juni 2013.
Blogger Comment
Facebook Comment