Larangan Mempengaruhi Hakim

PEMBAHASAN

1.      Tafsir Al-Qur’an Surat Al-Baqarah (2) Ayat 188 : 
Artinya: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui”. (QS. Al-Baqarah : 188)
Tafsir
Pada ayat 188 ini Allah SWT menerangkan hukum memakan atau mempergunakan harta orang lain dengan cara yang bathil atau dengan cara yang tidak shah.
Sebab turunnya ayat ini ialah seperti yang diriwayatkan bahwa: Ibnu Asywa’ Al Hadrami dan Imriil Qais, terlibat dalam suatu perkara soal tanah yang masing-masing tidak dapat memberikan bukti. Maka rasulullah menyuruh Imrill Qais (sebagai terdakwa yang ingkar) supaya bersumpah, Tatkala Imriil Qais hendak melaksanakan sumpah itu, turunlah ayat ini.
Pada bagian pertama ayat ini Allah melarang agar jangan memakan harta orang lain dengan jalan yang bathil. Yang dimaksud dengan “memakan” disini ialah “mempergunakan atau memanfaatkan”, sebagaimana biasa dipergunakan dalam bahasa arab dan bahasa lainnya. Dan yang dimaksud dengan “bathil” ialah dengan cara yang tidak menurut hukum yang telah ditentukan Allah.
Para ahli Tafsir mengatakan banyak hal-hal yang dilarang yang termasuk dalam lingkungan bagian pertama dari ayat ini, antara lain:
a.       Memakan riba.
b.      Menerima zakat bagi orang yang tidak berhak menerimanya.
c.       Makelar-makelar yang melaksanakan penipuan terhadap pembeli atau penjual.
Kemudian pada bagian kedua atau bagian terakhir dari ayat ini Allah SWT melarang membawa urusan harta kepada hakim dengan maksud untuk mendapat sebagian dari harta orang lain dengan cara yang bathil, dengan menyogok atau memberikan sumpah palsu atau sanksi palsu. Rasullullah bersabda, “sesungguhnya saya adalah manusia, dan kamu datang membawa suatu perkara untuk saya selesaikan. Barang kali diantara kamu lebih pintar berbicara sehingga saya memenangkannya, berdasarkan alasan-alasan yang kedengarannya baik”. Maka barangsiapa yang mendapat keputusasan hukum dari saya untuk memperoleh bagian dari harta saudaranya (yang bukan haknya) maka janganlah ia mengambil harta itu, karena ini berarti saya memberikan sepotong api neraka kepadanya”. Mendengar ucapan itu keduanya bersedia mengikhlaskan harta bagian kepada kawannya. Lalu Rasulullah SAW memerintahkan: “pergilah kamu berdua dengan rasa penuh persaudaraan dan lakukan undian dan terimalah bahagiaanmu masing-masing menurut hasil undian itu dengan penuh keikhlasan.”
Kesimpulan
1.      Tidak boleh memakan harta orang lain dengan jalan yang tidak shah.
2.      Tidak boleh menyogok dan menerima sogokan untuk memperoleh sesuatu yang tidak shah dan membuat sumpah palsu atau menjadi saksi palsu.[2]

Secara Gramatika / ‘Irāb
 و تدلوا بها إلى الحكام  ; lafadz  " وتدلوا " ada kalanya  dibaca majzūm (shigat nahi), karena ‘athaf pada firman Allah sebelumnya (ولا تأكلوا...), dalam hal ini seakan-akan dikatakan; ".. وَلاَ تُدْلُوا..".
Ada kalanya dibaca manshūb karena perkiraan masuknya " أنْ " setelah huruf  " وَ " yang jatuh sebagai jawāb dari nahi, hal ini bermakna al-jam’u (mengumpulkan), seakan dikatakan; " وَ لاَ تَجْمَعُوْا  َبْينَ أنْ تَأْكُلُوْا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ، وَ أَنْ تُدْلُوْا بِهَا إِلىَ الْحُكَّامِ ".
 وَ أنتم تَعْلَمُوْنَ  ; jumlah ismiyyah menempati kedudukan nashab karena menjadi hāl dari dlamīr marfū’ pada lafadz " لتأكلوا..".
Tafsir Mufradāt
 وَ لاَ تَأْكُلُوْا أمْوَالَكُمْ بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ ; Jangan sebagian kalian makan harta sebagian yang lain dengan cara yang tidak benar (menurut Syara’); yang dimaksud dengan "الأكل" : yaitu mengambil (al-akhdu) dan menguasai (al-istilā`), diungkapkan dengan lafadz"الأكل"  karena tujuan yang terbesar/terpenting dari harta adalah untuk dimakan.
Makan harta dengan cara bathil ini ada dua klasifikasi; pertama, didapatkannya harta itu dengan dengan perbuatan dhalim, seperti mencuri, merampas (ghasab) dan sebagainya; kedua, diperolehnya harta itu dari cara-cara yang dilarang, seperti judi, upah menyanyi, serta semua cara yang diharamkan oleh Syara’. Dan ayat di atas telah mewanti-wantikan keharaman semua itu; Lafadz " الباطل " secara bahasa adalah sinonim dengan dengan lafadz " الزائل"  dan  "الذاهب" berarti yang tergelincir atau yang hilang, sedangkan yang dimaksud di sini ialah yang diharamkan oleh Syara’, seperti mencuri, ghasab, dan mencakup semua pengambilan tanpa ganti atau tanpa ada kerelaan dari pemiliknya, atau mentasharufkan kepada sesuatu yang nyata-nyata tidak ada manfaatnya.
و تدلوا ..  ; kamu berikan sejumlah harta itu kepada para Hakim, sebagai suap agar kamu mendapatkan keputusan hukum yang sesuai dengan kemaslahatan (yang kamu kehendaki).
 بالإثم  ; dengan berbuat dosa, yakni perbuatan dhalim dan aniaya; termasuk persaksian palsu, sumpah dusta, dan sebagainya. Semua itu merupakan perbuatan dosa, karena dosa itu tergantung pada pelakunya.
 و أنتم تعلمون  ; sedangkan kalian tahu, bahwa kalian orang yang salah dan berbuat dosa, ini menunjukkan mubālaghah (keterlaluan) dalam olehnya berani dan berbuat kemaksiatan.
Sabab Nuzūl
Muqatil bin Hayyan berkata : ayat ini turun mengenai prihal Amru’ Qays bin Abbas Al-Kindy dan ‘Abdan bin Asywa’ Al-Hadlrāmy. Jelasnya, keduanya bersengketa tentang sebidang tanah dan membawanya kehadapan Rasulullah SAW, dalam pada itu Amru’ Al-Qays sebagai pihak yang dituntut (terdakwa), dan ‘Abdan bin Al-Hadramy sebagai penuntut. Kemudian Allah SWT menurunkan ayat ini (Al-Baqarah : 188), Rasulullah SAW memenangkan ‘Abdan pada sebidang tanahnya, dan dengan keputusan itu Amru’ Al-Qays pun tidak menentangnya.
Sa’id bin Jabir berkata ; bahwasa Amru’ bin Qays bin Abbas dan ‘Abdan bin Asywa’ Al-Hadlrāmy bersengketa mengenai sebidang tanah, lalu Amru’ Al-Qays menginginkan ‘Abdan bersumpah, maka turunlah ayat ; " ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل .." .
Munāsabah
Hubungan ayat ini dengan ayat-ayat sebelumnya jelas, yaitu berhubungan dengan orang yang mengerjakan ibadah kepada Allah SWT; berpuasa, menahan nafsu dari kebiasaan makan, minum, menggauli istrinya pada siang hari, dan segala larangan dalam puasa. Demikian tidakl selayaknya makanan dan minuman yang ia santap kecuali yang jelas-jelas halal lagi bersih, yang bisa membuat hati menjadi terang/bercahaya, dan menambah kepekaan/ketajaman mata hati (bashīrah), yang dapat mendorong semangat/kesungguhan dalam beribadah. Oleh karena itu maka Allah melarang memakan barang-barang haram yang menjadikankan puasanya tidak diterima.
Tafsīr & Penjelasan
Dalam ayat-ayat puasa Allah SWT telah menjelaskan halalnya seseorang memakan sebagian dari hartanya, di sini Allah menghubungkannya dengan penyebutan hukum memakan harta orang lain.
Allah SWT melarang sebahagian diantara kita memakan harta sebahagian yang lain dengan cara yang tidak dibenarkan oleh syara’. Kata "أموال" diidlāfah-kan kepada jamā’ah/orang banyak (kepada dlamīr كُمْ) supaya timbul perasaan bahwa pada hakikatnya harta itu adalah harta umat atau jama’ah/orang banyak, yaitu umat yang satu, sepenanggunagan yang saling menanggung satu sama lain. Juga sebagai peringatan untuk saling menghormati dan menjaga harta milik orang lain, menghormati dan menjaga (supaya tetap) pada pemiliknya (yang sah). Maka berbuat aniaya atau merampas harta milik orang lain merupakan tindakan kriminal terhadap umat, karena ia termasuk individu dan bagian anggota pada kesatuan umat. Kata "أموال" disandarkan kepada dlamīr manhi (yakni dlamīr " كُمْ ", menjadi mafūl dari "لا تأكلو .."), menunjukkan bahwa masing-masing individu, kesemuanya dilarang. 
Memakan harta secara bathil mencakup segala bentuk perolehan harta yang tidak benar. Seperti riba dan judi; keduanya termasuk mengambil harta tanpa ada gantinya, suap dan membela kebathilan; karena keduanya termasuk membantu perbuatan dhalim, bersedekah kepada orang yang mampu berusaha; karena itu akan merendahkannya dan ia tidak boleh mengambilnya kecuali jika terpaksa, mencuri dan ghasab; karena keduanya merupakan perbuatan aniaya (menggunakan tanpa hak) terhadap harta orang lain, baik itu terhadap materinya maupun manfaatnya, atau berbuat aniaya terhadap manfaat harta orang lain, seperti memperkerjakan tanpa upah, atau mengurangi upah, makan harta anak yatim secara dhalim, upah dari tari-tarian dan menyani, bayaran pelacur, upah meramal, membuat jimat-jimat dan menghatamkan Al-Qur’an, dan segala harta yang diambil dengan cara tipu daya dan kebohongan dan cara-cara haram lainnya, yang dapat menghantarkan kepada neraka; oleh karena setiap anggota tubuh yang tumbuh dari barang yang haram, maka baginya neraka lebih semestinya.
Larangan memakan harta dengan cara bathil, juga hadir dalam ayat-ayat lain. Diantaranya ialah ;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا .[النساء : ٢٩]
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. (QS. An-Nisa’ : 29)
Diantaranya juga firman Allah :
 إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا . 
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dhalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)”. (QS. An-Nisa’ : 10)
Makna " و تدلوا بها إلى الحكام " ; jangan kalian memberikan harta kepada para hakim sebagai upaya untuk menyuap mereka, karena mengambil harta orang dengan perbuatan dosa, seperti sumpah dusta atau persaksian palsu, dan semua yang dapat menghantarkan kepada keharaman. Ayat ini mencakup dua segi; pertama, memberikan harta kepada para hakim sebagai suap, yang dengan maksud agar para hakim itu memenagkan mereka dengan cara bathil dan mengambil hak orang lain; kedua, mengangkat suatu keputusan (masalah) terhadap juru hukum dengan berpegang pada argumentasi (hujjah) yang bathil, dan mendeskreditkan kebenaran, persaksian palsu, dan sumpah bohong.
Inilah yang diingatkan oleh Nabi SAW dalam haditsnya Ummu Salamah yang diriwayatkan oleh Malik, Ahmad, dan Ashhāb al-kutub as-sittah (Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah), Ummu Salamah berkata ; “aku berada di sisi Rasulullah SAW, kemudian datang dua laki-laki yang bersengketa mengenai harta warisan dan suatu masalah lain, lalu Rasulullah SAW bersabda” : “ Aku hanyalah manusia biasa, sedangkan kalian bersengketa kepadaku, bisa jadi sebagian diantara kalian lebih lihai dalam berargumentasi daripada yang lain, maka aku memenangkannya berdasarkan apa yang aku dengar, maka barang siapa yang aku menangkan baginya daripada sesatu hak saudaranya, janganlah ia mengambilnya, karena aku memotongkan baginya potongan api neraka”, lantas kedua laki-laki yang bersengketa itu menangis, dan masing-masing keduanya berkata; “Aku halal untuk sahabatku, kemudian Nabi SAW bersabda; “Pergilah kalian dan tetaplah bersaudara, kemudian undilah dan hendaknya masing-masing seorang diantara kalian menghalalkan hak sahabatnya”.
Beberapa Aspek Hukum
Ayat tersebut melarang semua individu umat Muhammad untuk memakan harta sebagian mereka diantara mereka atas sebagian yang lain dengan cara yang tidak benar, ini meliputi; perjudian, penipuan, ghasab, menentang kebenaran, apa yang tidak direlakan oleh pemilik, atau yang diharamkan oleh Syara’ sekalipun diberikan atas kerelaan, seperti bayaran pelacur (tukang zina), upah dukun, harga hasil jual khamr, babi, dan segala yang mengarah pada permainan yang haram.
Termasuk diantara memakan harta dengan cara bathil yaitu; ketika seorang qādli memenangkan kamu, sementara kamu tahu bahwa kamu salah. Ayat tersebut jelas mengenai dosanya orang yang makan sedang ia tahu bahwa ia dhalim dengan perbuatannya (makan) itu. Adapun jika tidak tahu maka tidak berdosa baginya. Yang haram tetap haram, tidak otomatis menjadi halal karena putusan hakim, karena hakim itu hanya menghukumi berdasarkan fakta zhahir, sebagaimana yang ditunjukkan dalam hadits Ummu Salamah di atas, Nabi menyesuaikan dengan wāqi’ (fakta yang ada saat itu).
Meski demikian, masih muncul perbedaan pendapat (Khilāf)  diantara para ulama mengenai tema ini;
Abu Hanifah berkata; Putusan hakim dapat terjadi secara dhahir dan bathin dalam masalah akad dan penceraian. Jika seorang hakim berdasarkan bukti menghukumi terjadinya akad atau batalnya akad maka hukumnya dapat berlaku, seperti halnya akad  yang dilaksanakan di muka, sekalipun saksi-saksinya itu adalah palsu. Sebagai contoh, jika seorang laki-laki mengaku bahwa ia telah menikahi seorang wanita, kemudian wanita itu mengingkarinya, lalu ia mendantangkan dua orang saksi palsu, kemudian halim memutuskan telah terjadinya akad antara keduanya maka halal bagi laki-laki itu untuk istimtā’ dengannya, demikian jika hakim memutuskan terjadinya thalāk, maka terjadilah perceraian antara keduanya, sekalipun laki-laki itu mengingkarinya. Dapat berlakunya keputusan qādli, sebagaimana di atas terikat oleh dua syarat;
a) Ia (qādli) tidak tahu bahwa keberadaan para saksi tersebut adalah palsu.
b) Dalam hal-hal yang diperkirakan (dengan keputusan itu) ada kebaikan yang akan timbul.
Ali Karramallāhu wajhah pernah memutuskan suatu masalah, yang bisa menguatkan pendapat ini. Jelasnya, telah datang beliau seorang laki-laki yang mengaku sebagai suami atas seorang permpuan, sedangkan perempuan itu mengingkarinya, ia mendatangkan dua orang saksi, wanita itu berkata; “Sungguh aku tidak menikah dengannya”, Ali berkata padanya; “ dua orang saksi itu telah membuktikan pernikhan kamu’. Demikian halnya kisah li’ān Hilal bin Umayyah dengan istrinya, lalu Nabi SAW memutuskan pisah antara keduanya, dan itu setelah beliau mengatakan; “Jika anak itu dengan sifat begini, maka anak itu kepunyaan Hilal, jika dengan sifat begini, maka milik Syarik bin Sahma` ”, kemudian istrinya itu datang dengan sifat yang tidak disukainya, maka Nabi bersabda; “Sekiranya tidak karena sumpah yang telah lalu, pasti aku punya hak (menentukan) dan ia (istrinya) mendapat haknya”. Kisah tentang li’ān itu menunjukkan bahwa, seorang istri bisa saja sampai pada perceraian suaminya lantaran li’ān dusta, yang sekiranya hakim mengetahui kebohongannya pasti akan menolak dan tidak memisahkan keduanya. Ini tidak masuk dalam umumnya sabda Nabi SAW ; “..barang siapa yang aku menangkan baginya daripada sesatu hak saudaranya, janganlah ia mengambilnya ..”.
Menurut Jumhur ulama; keputusan hakim itu berlaku secara dhāhir bukan bāthin. Baik dalam masalah harta maupun hukum-hukum yang lain, seperti pernikahan, thalak, dan jinayat. Maka keputusan hakim tidak serta merta menghalalkan yang haram, tidak pula menimbulkan hak, tetapi ia hanya menampakkan dan mengungkap masalah-masalah itu sesuai dengan fakta yang ada, berdasarkan haditsnya Ummu Salamah di atas, yang dari padanya di ambil sebuah kaidan berikur ;
" نَحْنُ نَحْكُمُ بِا الظَّاهِرِ ، وَ اللهُ يَتَوَلَّى السَّرَائِرَ "
“ Aku memnghukumi dengan fakta dhāhir (yang kongkrit), Allah lah yang menangani sarāir (yang abstrak/tersembunyi)”
Inilah penerapan terhadap ‘ām, kecuali yang telah di-takhshīsh dengan nash seperti masalah li’ān.
Dalam keadaan apapun, tidak diperkenankan bagi orang mukmin menyelesaikan urusan terhadap hakim, dengan bertumpu pada bayaran dan melimpahkan perkara dakwaan, sedangkan ia tahu bahwa dirinya yang salah dalam dakwaan itu.
Tidak halal pula bagi seorang mukmin mengambil harta saudaranya atau yang bukan haknya, sekalipun qādli dalam keputusannya menetapkan harta itu untuknya; karena qādli adalah manusia yang tidak luput dari salah, ia memutus perkara berdasarkan fakta dhahir, sedangkan keutusannya tidak dapat mengubah fakta yang sebenarnya. Sesungguhnya yang pasti yang akan diperlihatkan adalah hisab yang benar dihadapan Allah SWT, yang mana tiada sesuatupun yang tersembunyi, dan manusia akan mendapatkan baladan sesuai dengan perbuatannya. Allah senantiasa meliput dan mengawasinya, baik dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan. Dan hanya kepada-Nya lah seharusnya seorang muslim merasa takut secara dhāhir dan bāthin.
Memberikan harta kepada hakim sebagai suap hanya akan menyia-nyiakan harta itu, membuatnya lenyap/hilang percuma. Maka tidak dibenarkan bagi seorang muslim mensia-siakan harta dan menyuap para hakim, supaya mereka memenangkan baginya lebih banyak daripada haknya, atau sesuatu yang bukan haknya.
Ulama Ahlussunnah sepakat bahwa orang yang mengambil apa yang dinamakan "مال" (harta) secara bathil, baik sedikit maupun banyak; bahwa hal itu akan menjadikan ia fasik, dan baginya haram mengambilnya.[3]

2.      Tafsir Al-Qur’an Surat anNisa’ 135
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi Karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu Karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”
Dalam bahasa Arab perkataan 'Qawwamin' dengan makna sungguh-sungguh kerana ia dikenali sebagai kalimah `Sighah Mubalaghah'. Ertinya kamu hendaklah bersungguh dalam melaksanakan keadilan dalam perkara penyaksian untuk memberi hak kepada seseorang ataupun menjatuhkan hukuman kepada seseorang semata-mata kerana Allah bukan kerana kepentingan duniawi.
Allah memberi pahala yang besar kepada orang yang menegakkan keadilan walaupun di atas diri sendiri. Ertinya kamu menjadi saksi dengan penuh keadilan ke atas diri kamu sehingga dijatuhkan hukuman. Begitulah juga terhadap orang lain.
Ataupun ke atas kedua ibu bapa kamu. Kamu menjadi saksi yang adil ke atas keduanya sehingga mengakibat ibu bapa kamu itu dijatuhkan hukuman. Soal penyaksian yang adil ini tidak termasuk dalam kes menderhakai ibu bapa kerana dengan menjatuhkan hukuman akibat penyaksian yang adil itu menyebabkan keduanya terselamat dari seksaan api neraka. [5]

Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini, beliau menjelaskan : “Bahwa ayat ini adalah perintah dari Allah Subhanahu Wata’ala kepada setiap orang yang beriman untuk senantiasa berkata benar. Tidak sepantasnya bagi seorang mu’min untuk meninggalkan kebenaran dan mudah terpaling darinya. Sebaliknya, orang-orang yang beriman seyogyanya saling bahu membahu, tolong menolong dan menyatu-padukan tekad, guna memperjuangkan kebenaran. Mereka menegakkan kebenaran demi menggapai keridhaan Allah Subhanahu Wata’ala. Bila ketulusan niat ini telah terwujud pada diri seseorang, niscaya ucapan dan perbuatannya-pun benar, adil dan jauh dari penyelewengan atau manipulasi. Kebenaran dan kejujuran ini senantiasa menghiasi kehidupan orang yang beriman, walaupun kadang kala beresiko mendatangkan kerugian pada diri sendiri. Bila hal itu terjadi, maka Allah Subhanahu Wata’ala tidak akan menyia-nyiakan amal baiknya. Allah Subhanahu Wata’ala pasti memberi orang yang taat kepada-Nya jalan keluar bagi setiap problematikanya. Demikianlah kepribadian orang-orang yang benar-benar beriman. Keinginan untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan berbagai perasaan dirinya tidak dapat memalingkannya dari menegakkan keadilan dalam segala aspek kehidupannya.”[6]
Sebab turunya ayat ini ditakhrîj `Ibn Jarîr dari al-Sadiyyi. Ketika ayat ini diturunkan, terdapat dua orang lelaki yang sedang bersengketa yaitu satu kaya dan satu fakir. Sedangkan Nabi Muhammad SAW menyebelahi yang fakir, dengan pandangan orang fakir tidak mungkin menzalimi yang kaya. Maka Allah enggan menerimanya kecuali menegakkan keadilan dalam arti seimbang di antara yang kaya dan fakir.[7]


3.      Tafsir Al-Qur’an Surat al Maidah Ayat ke 46-47

Artinya:
“Dan Kami iringkan jejak mereka (nabi nabi Bani Israil) dengan Isa putera Maryam, membenarkan Kitab yang sebelumnya, yaitu:  Taurat. Dan Kami telah memberikan kepadanya Kitab Injil sedang didalamnya (ada) petunjuk dan dan cahaya (yang menerangi), dan membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu Kitab Taurat. Dan menjadi petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa.”
“Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah didalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.”

Setelah ayat-ayat sebelumnya menjelaskan hukum Allah dalam kitab Taurat dan orang-orang Yahudi kemudian dipesan untuk melaksanakan hukum-hukum tersebut sesuai dengan Taurat. Sementara dua ayat ini berbicara kepada orang-orang Kristen dan mengatakan, Injil adalah kitab Allah yang menjadi petunjuk dan pencerah, sekaligus menetapkan  hukum-hukum  yang ada pada kitab Taurat. Begitu juga terkait ciri nabi yang akan datang setelah Nabi Musa as memiliki kesesuaian dengan Nabi Isa as. Bila memang demikian adanya, kalian harus menaati semua ajaran yang ditetapkan di  dalam Injil dan janganlah kalian menolak serta mengingkari perintah-perintah Allah Swt. Karena jika demikian kalian akan termasuk kedalam golongan orang-orang yang munafik.
Bagaimanapun juga, setiap yang disebutkan al-Quran tentang Taurat dan Injil, maka yang dimaksud adalah Taurat dan Injil yang belum diselewengkan. Sedangkan Taurat dan Injil yang sudah disimpangkan, maka ia tidak lagi memiliki sifat-sifat sebagai kitab pemberi petunjuk. Seandainya seseorang benar-benar mengamalkan ajaran kitab Taurat dan Injil, maka sudah tentu ia akan beriman pula kepada nabi akhir zaman yang kitab sucinya ialah al-Quran. Karena Taurat dan Injil yang sudah menyimpang dari aslinya sudah tidak dapat lagi diamalkan. Kalaupun seseorang mengamalkan ajaran Taurat dan Injil yang ada sekarang dengan baik dan benar, tetap saja Allah tidak menerimanya.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:‎
1.  Semua kitab samawi mengajak dan menyeru manusia kepada kebersihan dan takwa. Karena itu hanya orang-orang yang bersih dapat menerima teladan dan pengaruh.
2.  Semua kitab samawi serta para nabi berada di jalan yang sama. Satu sama lain saling membenarkan, bahkan di  kalangan mereka tidak terdapat perselisihan dan pertentangan.
3.  Semua kitab samawi tidak hanya untuk dibaca, tetapi untuk diamalkan baik pada pribadi, keluarga dan masyarakat.[9]
dalam al Maidah ayat 47, ayat ini hendak menjelaskan tentang perintah kepada orang-orang Kristen agar menerapkan hukum Tuha yang terdapat dalam Kitab Injil. Iman al-Zamakhsyari menjelaskan, terdapat perbedaan antara Kitab Taurat dan Kitab Injil. kalau didalam kitab taurat terdapat banyak hukum Tuhan, maka di dalam kitab Injil hanya didapatkan sedikit hukum Tuhan. pada umumnya, kitab Injil berisi tentang nasihat-nasihat dan pesan kearifan. ini artinya ppenting, ayat, kami jadikan diantara kalian Syariat dan jalan (QS. Al-Maidah 48). tuhan menurunkan wahyu kepada nabi dalam setiap agama dengan syariat yang berbeda, tergantung konteks masyarakat yang dihadapi oleh setiap nabi. dalam konteks Kristen, konteks kehiduppan Nabi Isa as telah menuntut agar Tuhan lebih banyak menurunkan pesan-pesan moral dari pada hukum, sebagaimana kitab Taurat.[10]

4.      Tafsir Al-Qur’an Surat al Maidah ayat 48


 “Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan. Seandanya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat, tetapi Allah hendak menguji kamu mengenai pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” (QS. Al-Maidah 48).
seandainya Tuhan menghendaki kesatuan pendapat, niscaya diciptakan-Nya manusia tanpa akal budi seperti binatang, atau benda-benda tak bernyawa yang tidak memiliki kemampuan memilih dan memilah, karena hanya dengan demikian seluruhnya akan menjadi satu pendapat.
Dari sini, seorang Muslim dapat memahami adanya pandangan atau bahkan pendapat yang berbeda dengan pendangan kehendak hati. kalaupun nalarnya tidak dapat memahami kenapa Tuhan berbuat demikian, kenyataan yang diakui Tuhan itu tidak akan menggelisahkan atau menghantarkannya “mati” atau memaksa orang lain secara halus maupun kasar agar menganut pandangan agamanya.[11]
kenapa mereka diwajibkan untuk menerapkan Injil, padahal Al-Quran sudah ditirunkan kepada nabi Muhammad saw? bukankah hanya Islam sebagai agama yang palig benar? Imam Ar-Razi menghadirkan sejumlah jawaban, pertama, yang dimaksud dengan penegakan Injil adalah mengimami tanda-tanda kedatangan Nabi Muhammad, sebagaimana terdapat didalam kitab Injil. Kedua, ayat ini merpakan perintah bagi orang-orang Kristen agar melaksanakan hukum-hukum yang tidak diabrogasi oleh Al-Quran. sedangkan jawaban yang ketiga, yaitu peringatan agar orang-orang Kristentidak mengullangi apa yang diperbuat oleh orang Yahudi terhadap hukum tuhan yang terdapat dalam kitan Taurat.
menurut Imam Al-Qurthubi, merupakan pendapat yang moderat karena Tuhan menurunkan kitab suci dengan tujuan tertentu, yaitu agar umat melaksanakan perintahnya dengan konsisten.[12]


[1] http://www.dudung.net/quran-online/indonesia/5
[2] Alquran Dan Tafsirnya, yayasan penyelenggara penerjemahan/penafsir Al Quran, Jilid I, hal 336-338
[4] http://www.dudung.net/quran-online/indonesia/5
[5] http://tuntelanai.blogspot.com/2011/12/tazkirah-tafsir-al-quran-surah-nisa.html
[6] http://www.hasmi.org/sulitnya-mencari-kejujuran/
[7] http://nawar-paloh.blogspot.com/2012/09/tafsir-ahkam-tentang-keadilan-surah.html
[8] http://www.dudung.net/quran-online/indonesia/5
[9] http://indonesian.irib.ir/al-quran/-/asset_publisher/b9BB/content/id/5270344
[10] Zuhairi Misrawi, Alquran Kitab Toleransi, Jakarta: Fitrah, 2007, hal 389
[11]Quraish Shihab, Wawasan al-Quran: tafsir maudhu'i atas pelbagai persoalan umat, Bandung: Mizan, 1996, hal 492
[12] Zuhairi Misrawi, Alquran Kitab Toleransi, … hal 389
Share on Google Plus

About CeritakanSaja

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar: