Sistem Pemilu Di Indonesia

Sistem Pemilu Orde Lama

Pemilu pertama di Indonesia terjadi pada tahuan 1955.Payung hukum pemilu pertama ini adalah UU No.7 Tahun 1953 tentang pemilu dan diselenggarakan secara langsung ,umum ,bebas dan rahasia .Dengan demikian UU No.27 Tahun 1948 tentang pemilu yang diubah dengan UU No.12 tahun 1949 yang mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak langsung) bagi anggota DPR tidak berlaku lagi. Pada pemilu pertama ini dilakukan pemilu untuk dua lembaga yang berbeda .Pada pemilu yang pertama tepatnya tanggal 29 September 1955 untuk memilih 272 anggota DPR .Kemudian pada tanggal 15 Desember 1955 dilanjutkan untuk memilih 542 anggota Dewan Konstituante .Pada pemilu pertama ini peserta pemilu lebih dari dari 30-an partai politik (parpol )dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan .Dan pada masa itu hanya ada empat partai besar yaitu PNI (57 kursi ),Masyumi (57 kursi)dan PKI (39 kursi) yang menduduki kursi dalam DPR.[1]
Partai-partai lainnya (termasuk yang kecil ),yang dimasa pra pemilihan sering memegang peran penting dalam kehidupan politik (kadang-kadang melebihi dukungannya dalam masyarakat )ternyata masing-masing hanya memperoleh satu sampai delapan kursi .Pada masa berlakunya sistem parlementer, kombinasi yang digunakan adalah sistem pemilu proportional representation dan sistem multipartai. Pada masa ini, tidak hanya partai saja yang diberikan kesempatan menjadi kontestan pemilu, akan tetapi individu (Perorangan) juga diberi kesempatan untuk mencalonkan diri. Pemilu pada era ini dianggap sebagai pemilu yang paling demokratis selama pemerintahan di Indonesia.
Walaupun demikian, partai politik yang dihasilkan melalui pemilu demokratis ini dianggap telah menyalahgunakan kesempatan berkuasa, karena terlalu mementingkan kepentingan serta ideologi masing-masing kelompok, sehingga gagal menciptakan suasana yang stabil yang kondusif untuk pembangunan secara berkesinambungan. Karena pendeknya usia setiap kabinet sebagai akibat ulahnya partai-partai, tidak mungkin bagi pemerintah menyusun dan melaksanakan suatu rencana kerja secara mantap.
Dektrit Presiden 4 Juli 1959 menghidupkan kembali UUD 1945, Soekarno dalam usaha membentuk demokrasi terpimpin menyatakan beberapa tindakan antara lain menyederkanakan sistem partai dengan mengurangi jumlah partaiPenyederhanaan dilakukan dengan mencabut Maklumat Pemerintah tertanggal 3 November 1945, melalui Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 7 tahun 1959 ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh partai untuk diakui oleh pemerintah. Parati yang kemudian dinyatakan memenuhi syarat adalah PKI,PNI,NU,Partai Katolik,Partindo ,Paratai Murba ,PSII Arudji ,IPKI ,Parati Islam Perti ,sedangkan beberapa partai lain dinyatakan tidak memenuhi syarat .Dengan dibubarkannya Masyumi dan PSI pada tahun 1960 jumlah partai yang memenuhi syarat tinggal 10 partai.[2]

Sistem Pemilu Orde Baru

Pada Orde baru perlu diketahui untuk penyelenggarakan Pemilu sebanyak 6 kali yaitu 5 Juli 1971, 2 Mei 1977,4 Mei 1982, 23 April 1987 ,9 Juni 1992 dan 29 Mei 1997. Salah satu instansi yang pada masa demokrasi pancasila adalah instansi yang menarik perhatian adalh Seskoad ,Bandung ,lembaga yang sedikit banyak bertindak sebagai pusat pemikir (think tank) untuk orde baru .Salah satu peristiwa yang penting adalah diadakannya Seminar Angkatan Darat II di Bandung pada tahun 1966.Beberapa perwira ABRI dan bebrapa tokoh sipil diundang untuk memberikan makalah dan partisipasi dalam diskusi .Salah satu makalah yang berjudul Pemilihan Umum Orde baru membahas tentang dua sistem pemilihan,yaitu sistem perwakilan berimbang (atau sistem proporsional ) dan sistem distrik yang umumnya dikenal di Indonesia .[3]Salah satu negara yang pertama memakai sistem pertama adalah Nederland ,sedangkan negara-negara Anglo Saxon seperti Inggris dan Amerika memakai sistem kedua. Mengingat keadaan di Indonesia ,seandainya sistem distrik diselenggarakan di Indonesia sebagai pengganti sistem proporsional yang telah dipakai dalam Pemilihan Umum 1955,ada kemungkinan terjadinya penyederhanaan partai secara alamiah (artinya tanpa paksaan ) karena jumlah partai kecil mungkin akan berkurang ,sekurang-kurngnya mereka akan terdorong untuk bekerja sama satu sama lain .hl ini diharapkan dapat sedikit banyak meningkatkan stabilitas politik yang kadarnya pada masa itu masih lemah .

Sebagai hasil perdebatan ,baik dalam seminar angkatan darat maupun di luar ,akhirnya sistem distrik dituang dalam rancangan UU pemilihan umum yang diajukan kepada parlemen pada awal tahun 1967 bersama dua RUU lainnya .Akan tetapi ternyata RUU ini sangat dikecam oleh partai –partai politik ,tdak hanya karena dianggap merugikan mereka ,akan tetapi juga mencakup abeberapa ide baru seperti duduknya wakil ABRI sebagi anggota parlemen .Akhirnya pada tanggal 27 Julli 1967 pemerintah dan partai-partai mencapai suatu kompromi di mana kedua belah pihak memberi konsesi .Pemerintah mengalah dengan menyetujui sistem pemilihan umum proporsional ,tetapi dengan bebrapa modifikasi antara lain tiap kabupaten akan dijamin sekurang-kurangnya satu kursi sehinga perwakilan dari daerah luar jawa akan seimbang dengan perwakilan Jawa .Dipihak lain ,partai –partai mengalah dengan diterimanya ketentuan bahwa 100 anggota parlemen dari jumlah total 460 akan diangkat dari golongan ABRI (75) dan non ABRI (25). [4]Pada Pemilu 1971 Pemilu pertama era Orde Baru yang dilaksanakan berdasarkan UU Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilu. Untuk pemilu berikutnya , landasan hukumnya mengacu pada UU Nomor 15 tahun 1969 yang telah diperbaharui dengan UU Nomor 4 tahun 1975, UU Nomor 2 Tahun 1980 dan UU Nomor 1 Tahun 1985. Sekurang-kurangnya ada empat tujuan diadakan Pemilu pada era Orde Baru yang terdapat didalam konsiderans UU No. 15 tahun 1969 tentang Pemilu. Keempat hal tersebut adalah :
1. Memilih wakil-wakil rakyat yang duduk dalam lembaga permusyawaratan atau perwakilan
2. Melaksanakan kedaulatan rakyat atas dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
3. Mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
4. Sebagai sarana untuk mencapai kemenangan Orde Baru dalam mewujudkan tata kehidupan yang dijiwai semangat Pancasila dan UUD 1945.
Pada pemilu yang kedua tepatnya tanggal 5 Juli 1971 peserta pemilu terdiri dari 10 partai yaitu :

1. Partai Khatolik
2. Partai Sjarikat Islam Indonesia
3. Partai Nahdlatul Ulama
4. Partai Muslim Indonesia
5. Golongan Karya
6. Partai Kristen Indonesia
7. Murba
8. Partai Nasional Indonesia
9. Partai islam Perti ,dan
10. Partai IP-KI

Sementara itu peranan golongan militer bertambah kuat yang menimbulakan sebuah rezim otoriter .Usaha penyederhanaan partai dilanjutkan dengan cara yang sedikit radikal .Dimuka sepuluh partai termasuk Golkar ,Presiden Soeharto mengemukakan sarannya agar partai mengelompokkan diri untuk mempermudah kampanyenya pemilihan umum tanpa partai kehilangan identitas masing-masing atau dibubarkan sama sekali .Pengelompokan ini mencakup tiga kelompok ,yaitu Golongan nasional , Kemudian pada Golongan Spiritual dan Golongan Karya Usaha ini yang sebenarnya ingin dilaksanakan sebelum pemilihan umum 1971 ,ternyata tidak dapat dituntaskan pada waktu itu .Kemudian pemilu yang ke-3 sampai ke -7 pesertanya hanya 3 yakni Golongan Karya(Golkar),Partai persatuan pembangunan (PPP),dan Partai Demokrasi Indonesia ( PDI ).[5]Selama pemerintahan orde baru dipakai slogan/asas Luber (langsung ,umum,bebas dan rahasia)
Setelah cukup lama (selama masa orde baru hingga pemilu 1999) menggunakan sistem proporsional dengan daftar tertutup ,penentuan calon yang diajukan untuk duduk di lembaga –lembaga lefislatif ,baik di DPR maupun di DPRD ,sepenuhnya berada di tangan elite partai di tingkatnya masing-masing akibatnya ,aspirasi dan kepentingan masyarakat tentang siapa yang layak menjadi calon .Apabila dalam praktik sistem proporsional yang berlaku selama orde baru masyarakat hanya memilih atau mencoblos tanda gambar partai ,sedangkan para calon telah disusun dan dipersiapkan sebelumnya oleh elite partai tanpa keterlibatan masyarakat .Dalam konteks sistem otoriter yang berlaku pada era pemerintahan soeharto tersebut hal itu bisa dipahami karena pemilu didesain untuk mempertahankan struktur politik yang berlaku .Tak mengherankan jika institusi penyelenggaraan pemilu ,baik di tingkat pusat maupun di tingkat lokal ,hampir keseluruhannya adalah para aparatur pemerintah itu sendiri .Kecenderungan sistem pemilu orde baru membawa dampak pada :
rendahnya kualitas keterwakilan para calon dan para wakil rakyat yang duduk dalam lembaga-lembaga legislatif di tingkat nasional dan lokal
rendahnya kualitas akuntabilitas wakil-wkil terhadap rakyat yang diwakilinya
rendahnya kualitas lembaga-lembaga legislatif itu sendiri sehingga tidak mengherankan jika muncul penilaian bahwa DPRdan DPRD tidak lebih sebagai lembaga “stempel “yang melestarikan kekuasaan rejim otoriter orde baru .

Sistem Pemilu Era Reformasi

Pasca pemerintahan Soeharto 1999 , 2004 dan 2009 terdapat perubahan terhadap sistem pemilu di Indonesia yakni terjadinya modifikasi sistem proporsional di indonesia, dari proporsional tertutup menjadi proporsional semi daftar terbuka. Dilihat dari daerah pemilihan terdapat perubahan antara pemilu 1999 dengan masa orde baru. Pada orde baru yang menjadi daerah pilihan adalah provinsi, alokasi kursinya murni di dasarkan pada perolehan suara di dalam satu provinsi, sedangkan di tahun 1999 provinsi masih sebagai daerah pilihan namun sudah menjadi pertimbangan kabupaten/kota dan alokasi kursi dari partai peserta pemilu didasarkan pada perolehan suara yang ada di masing-masing provinsi tetapi mulai mempertimbangkan perolehan calon dari masing-masing kabupaten /kota. [6]Pada pemilu 2004 daerah pemilihan tidak lagi provinsi melainkan daerah yang lebih kecil lagi meskipun ada juga daerah pemilihan yang mencangkup satu provinsi seperti Riau, Jambi, Bengkulu, Bangka Belitung, kepulauan Riau, Yogyakarta, Bali, NTB, semua provinsi di Kalimantan, Sulawesi Utara dan Tenggara, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Irian Jaya Barat. masing-masing daerah pilihan mendapat jatah antara 3-12 kursi. Pada pemilu 2009 besaran daerah pemilihan untuk DPR diperkecil antara 3-10. [7]Perbedaan lain berkaitan dengan pilihan terhadap kontestan. pada pemilu 1999 dan orde baru para pemilih cukup memilih tanda gambar kontestan pemilu. pada tahun 2004 para pemilih boleh mencoblos tanda gambar kontestan pemilu dan juga mencoblos calonnya. hal ini dimaksudkan agar pemilih dapat mengenal dan menetukan siapa yang menjadi wakil di DPR dan memberikan kesempatan pada calon yang tidak berda di nomor atas untuk terpilih asalkan memenuhi jumlah bilangan pembagi pemilih (BPP), dikatakan perubahan proporsional ini semi daftar terbuka karena penentuan siapa yang akan mewakili partai didalam perolehan kursi di DPR/D tidak didasarkan para perolehan suara tebanyak melainkan tetap berdasarkan nomor urut, kalupun di luar nomer urut harus memiliki suara yang mencukupi BPP.[8]
Sistem proporsional semi daftar terbuka sendiri pada dasarny merupakan hasil sebuah kompromi. dalam pembahasan RUU mengenai hasil pemilu pada 2002, PDIP, GOLKAR, PPP terang-terangan menolak sistem daftar terbuka, dikarenakan penetuan caleg merupakan hak partai peserta pemilu. memang jika diberlakukannya sistem daftar terbuka akan mengurangi otoritas partai di dalam menyeleksi caleg mana saja yang di pandang lebih pas duduk di DPR/D. tetapi tiga partai itu akhirnya menyetujui perubahan hanya saja perubahannya tidak terbuka secara bebas melainkan setengah terbuka. perubahan-perubahan disain kelembagaan seperti itu pada kenyataannya tidak membawa perubahan yang berarti. ada beberapa penyebab diantaranya yaitu : pada kenyataannya para pemilih tetap lebih suka memilih tanda gambar dari pada menggabungkannya dengan memilih calon yang ada di dalam daftar pemilih karena lebih mudah. selain itu, di lihat dari tingkat keterwakilan masih mengandung masalah. permasalahan ini khususnya berkaitan dengan perbandingan jumlah suara dengan jumlah alokasi kursi di DPR/D kepada partai-partai. di sisi lain juga nilai BPP antara daerah pemilihan yang satu dengan daerah pemilihan yang lain memiliki perbedaan. mengingat sistem. hal ini terkait dua hal yakni pertama terdapat upaya untuk mengakomodasi gagasan adanaya keterwakilan yang berimbang antara Jawa dan luar Jawa, kedua secara kelembagaan terdapat keputusan bahwa satu daerah pemilihan mininal memiliki 3 kursi. implikasinya adalah terdapatnya daerah pemilih bahwa BPP nya berada di bawah rata-rata BPP nasional tetapi ada juga yang berada dia atas BPP nasional.
Mengingat sistem pemilu yang sudah di modifikasi dan mengalami sedikit perbaikan itu masih tidak terlepas dari kekurangan, terdapat usul untuk melakukan modifikasi sistem proporsional lanjutan. kalau pada pemilu 2004 sudah dipakai sistem daftar setengah terbuka, untuk pemilu-pemilu selanjutnya usulan digunakannya sistem daftar terbuka. di dalam sistem ini digunakan nomor urut di dalam daftar calon tidak lagi dijadikan ukuran untuk menjadikan calon mana yang mewakili partai di dalam perolehan kursi sekitarnya tidak ada calon yang memenuhi BPP yang di jadikan ukuranya adalah calon yag memperoleh suara terbanyak. Presiden SBY termasuk yang pernah mengusulkan sistem demikian sebagaimana dijelaskan oleh Andi sistem ini baik untuk partai karena semua calon akan berkerja keras untuk partainya. rakyat juga mendapatkan pilihan yang jelas. sebab siapa yang paling banyak mendapat sura akan masuk ke parlemen tanpa memakai nomer urut yang keriterianya tidak sering jelas dan menjadi sumber politik uang. sistem ini juga mendapat dukunagn dari PAN akan tetapi PDIP menolak, sebagimana dikemukakan oleh Tjahjo Kumolo, dengan menghapuskan nomer urut itu justru membuka peluang money politics dan dianggap mendeligitimasi keberadaan partai, demikian juga Jusuf Kalla (GOLKAR) menurutnya sistem terbuka tanpa nomer urut dapat di lakukan secara teoritis tapi sulit praktiknya. perdebatan smacam itu telah di selesaikan di dadal UU pemilu No 10 tahun 2008. UU ini merupakan aturan dasar untuk pemilu 2009 di dalam UU ini memang disebutkan bahwa pada pemilu 1999 Indonesia menganut sistem daftar terbuka. tetapi kenyataanya Indonesia masih menganut sistem semi daftar terbuka. hal ini tidak terlepas dari aturan bahwa calon yang memperoleh suara terbanyak di dalam suatu partai tidak otomatis terpilih menjadi wakil. tapi yang membedakan dengan pemilu 2004 adalah bahwa di dalam pemilu 2009 yang memperoleh suara min 30% dari BPP memiliki kesempatan mewakili partai di dalam perolehan porsi meskipun tidak berada di nomer urut jadi. [9]di samping itu pemilu 2009 juga memperkuat tuntutan pemberian kepada perempuan semua partai wajib menyertakan calon perempuan sebanyak 30%, atau 1 dari setiap 3 calon harus perempuan. tetapi aturan wajib ini tidak disertai sanksi yang jelas dan tegas manakala ada partai-partai yang melanggarnya.
Keputusan sebagaimana yang terdapat di dalam UU no 10 tahun 2008 mengalami perubahan setelah hampir setahun, kemudian MK mengabulkan tentang suara terbanyak sebagai patokan untuk mengalokasikan kursi kepada partai-partai yang memperoleh kursi. keputusan ini menjadikan sistem pemilu di Indonesia benar-benar masuk kedalam kategori sistem proporsional daftar terbuka. Calon yang memperoleh suara terbanyak yang akan lolos menjadi anggota DPR/D dari partai yang memperoleh alokasi kursi. Akibat dari perubahan-perubahan itu, pemilu 2009 dan bisa jadi pemilu-pemilu selanjutnya memiliki konsekuensi-konsekuensi tersendiri. pertama, kompetisi partai semakin kuat seiring di berlakukannya parliementary thresholdparliementary threshold adalah dimungkinkannya sistem multipartai sederhana di dalam pemerintahan di tingkat pusat, multipartai di dalam pemerintahan di daerah dandi pemilu. hasil pemilu 2009 menunjukan 9 partai yang mendapat kursi di DPR karena lolos parliementary threshold dan tidak sedikit juga partai-partai yang tidak memiliki kursi di DPR tetapi mendapat kursi di DPRD. Hal ini dikarenakan ketentuan PT hanya berlaku untuk DPR bukan untuk DPRD. Realitas ini memperkuat pandangan bahwa aturan main di dalam sistem pemilu itu mewakili implikasi yang cukup besar pada alokasi kursi atau perwakilan dan kekuatan-kekuatan politik yang ada. dan pengecilan besaran Daftar pilih untuk pemilu anggota DPR. Kedua, kompitisi internal partai semakin tinggi. Kompitisi akhir ini mencangkup kompitisi antarcalon di dalam setiap Dapil dan antar calon laki-laki dan perempuan. Dan dalan masa reformasi berkembang pula asa jurdil (jujur dan adil). Kompetisi ini menjadi sangat tinggi setelah pengalokasian kursi menggunakan mekanisme (suara terbanyak). Kompetisi antar partai dan antar calon di internal partai itu lebih mengemuka lagi karena kurun waktu kampanye berlangsung lebih lama, setelah ditetapkannya partai peserta pemilu partai dan calon bisa langsung melaksanakan kampanye dialogis, dan sebagai konsekuensi di berlakukannya.

kesimpulannya
Di Indonesia sendiri sejak tahun 1955 sampai sekarang ini sudah melakukan 10 pemilu . Pelaksanaan pemilu yang berbeda berkaitan dengan sistem demokrasi dan pemerintahannya.Jadi sejak tahun 1955 sampai sekarang Indonesia menggunakan sistem proporsional namun mengalami perubahan/terdapat perbedaan-perbedaan dari masa orde lama sampai era sekarang ini.Perubahan-perubahan ini dilakukan guna untuk memperbaiki kualitas demokrasi di Indonesia lebih baik.


DAFTAR PUSTAKA

Budiardjo Miriam ,” Dasar-Dasar Ilmu Politik” Jakarta: PT .Gramedia Pustaka Utama, 2008
Prof.Dr. Marijan Kacung” Sistem Politik Indonesia” Jakarta: Kencana,2010


[1] Budiardjo Miriam, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, PT .Gramedia Pustaka Utama hal.433
[2] Ibid hal .441
[3] Ibid hal .442
[4] Ibid hal.443
[5] Ibid hal.445
[6]Prof.Dr. Marijan Kacung, Sistem Politik Indonesia, Jakarta: Kencana,2010 hal .93
[7] Ibid hal.94
[8] Ibid hal .95
[9] Ibid hal .97
Share on Google Plus

About CeritakanSaja

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar: