AL-MAQASID UNTUK PEMULA
Prof. Dr. Jaser ‘Audah
Prof. Dr. Jaser ‘Audah
Sangat mengejutkan, mengenalkan bagaimana maqasid itu berawal dari pertanyaan seorang anak tentang mengapa kita harus berhenti pada saat lampu merah. Berawal dari kata mengapalah seharusnya kita bisa mencari tahu apa sebenarnya tujuan utama dari Maqasid Syari’ah itu. Sehingga bisa disimpulkan al-Maqasid adalah ilmu yang menjawab segenap pertanyaan yang sulit dan diwakili oleh sebuah kata yang tampak sederhana, yaitu ‘mengapa?’.
Al-Maqasid bisa juga kita anggap sebagai sejumlah tujuan yang Ilahi dan konsep akhlak yang melandasi proses penyusunan hukum berdasarkan Syariat Islam, seperti prinsip keadalilan, kehormatan manusia, kebebasan berkehendak, kesucian, kemudahan, kesetiakawanan,dsb. Sehingga antara Al-Maqasid dan konsep HAM itu sebenarnya terjadi kesejalanan, tidak ada perselisihan didalamnya.
Al-Maqasid yang kita bahas sebenarnya sudah di kotak-kotakkan kedalam beberapa dimensi oleh para ulama setelah mengalami perkembangannya. Lebih terperinci dalam dimensi keniscayaan (dasar klasifikasi klasik) ini berkembang menjadi 5 keniscayaan Maqasid, Hifz al-Din (pelestarian agama), Hifz al-Nafs (pelestarian nyawa), Hifz al-Mal (Pelestarian harta), Hift al-‘Aql (pelestarian akal) dan Hifz al-Nasl (pelestarian keturunan).
Jika kelima keniscayaan itu tidak ada, maka kehidupan ini akan mengalami kegoncangan. Kelima hal tersebut adalah keharusan, yang harus ada tidak boleh tidak ada, jika kehidupan manusia dikehendaki untuk berlangsung dan berkembang.
Teori al-Maqasid berkembang seiring bergantinya waktu, para faqih Muslim, penggagas teori kontempores telah mengkritik klasifikasi yang berlandasan tingkat keniscayaan itu, dengan beberapa alasan. Al-Maqasid klasik dengan tingkatan keniscayaan itu tidak meliputi nilai-nilai dasar, yang diakui secara universal, seperti keadilan, kebebasan, dsb.
Al-Maqasid klasik telah dideduksi dari tradisi dan literature pemikiran madzab hukum Islami, bukan dari teks-teks suci (Quran dan Hadis).
Ulama kontemporer telah menginduksi konsep-konsep dan klasifikasi-klasifikasi Al-Maqasid dari perspektif-perspektif baru. Pertama, dengan pertimbangan jangkauan hukum dalam Al-Maqasid, ulama kontemporer membagi menjadi tiga golongan yaitu, Al-Maqasid umum, Al-Maqasid spesifik, dan Al-Maqasid parsial.
Kedua, dalam memperbaiki kekurangan pada orientasi individualistic dari klasifikasi Al-Maqasid klasik, para ulama kontemporer telah memperluas konsepnya meliputi jangkauan yang lebih luas seperti masyarakat, bangsa bahkan umat manusia secara umum.
Ketiga, dalam rangka revisi Al-Maqasid klasik itu ulama kontemporer berhasil mengemukakan Al-Maqasid universal baru, yang dideduksi dari teks-teks suci, bukan dari dalam literature warisan ulama mazhab fiqih Islami. Dengan deduksi ini, Al-Maqasid memungkinkan dalam pemikirannya mampu melampaui problem-problem historitas doktrin-doktrin fiqih lama.
Beberapa contoh pemikiran mengenai Al-Maqasid kontemporer yang dideduksi dari teks-teks suci dari para ulama kontemporer.
- Rasyid Rida. Mensurvei Al-Quran dalam mengidentivikasi Al-Maqasid. Menurut beliau Al-Maqasid dalam al-Quran meliputi, “reformasi pilar-pilar keimanan, menyosialisasikan Islam sebagai agama fitrah alami, menegakkan peran akal, pengetahuan, hikmah dan logika yang sehat, kebebasan, indepedensi, reformasi sosial, politik, dan ekonomi, serta hak-hak perempuan.
- At-Tahir ibn ‘Asyur. Menyarankan bahwa hukum Islam memiliki sejumlah Al-Maqasid yang universal, yaitu ketertiban, kesetaraan, kebebasan, kemudahan, pelestarian fitrah manusia.
- Muhammad al-Gazali. Dengan mengambil pelajaran dari sejarah Islami yang berusia 14 abad, beliau memasukkan keadilan dan kebebasan kedalam Al-Maqasid pada tingkat keniscayaan. Beliau juga memiliki sejumlahh pendapat yang reformis mengenai hak asasi manusia dan hak perempuan dan sampailah pada maksud utama, kesetaraan dan keadilan.
- Yusuf al-Qaradawi. Dalam surveinya terhadap Al-Quran, Al-Qardawi mengambil kesimpulan adanya tujuan-tujuan utama syariat sebagai berikut, melestarikan akidah yang benar, melestarikan harga diri manusia, memperbaiki akhlak dan nilai luhur, membangun keluarga yang baik, memperlakukan perempuan secara adil, membangun bangsa muslim yang kuat, dan mengajak kepada kerjasama antarumat manusia.
- Taha Jabir al-Alwani. Dalam surveinya beliau dalam mengidentifikasi maksud utama dalam mengamati Al-Quran. Beliau menarik kesimpulan bahwa maksud-maksud itu adalah Keesaan Allah SWT (al-Tawhid), kesucian jiwa manusia (Tazkiyah), dan mengembangkan peradaban manusia dimuka bumi (‘Imran).
Teori al-Marsalah al-Mursalah telah dikembangkan sebagaii sebuah metode yang meliputi ‘apa yang tidak disebutkan dalam teks-teks suci’. Teori tersebut telah mengisi kekosongan pada metode-metode harfiah dan, akhirnya, melahirkan teori al-Marsalah dalam disiplin ilmu dan praktik hukum Islami.
- Imam al-Juwayni pencetus teori ‘Kebutuhan Publik’. Abu al-Ma’ali al-Juwayni menulis buku al-Burhan fi Usul al-Fiqh. Buku itu dapat dianggap sebagai karya fiqih pertama yang mengemukakan tentang ‘jenjang-jenjang kebutuhan dasar’ dalam nuansa makna yang kita kenal saat ini.al-Juwayni menyarankan 5 jenjang Maqasid, yaitu: keniscayaan-keniscayaan, kebutuhan-kebutuhan publik, tindakan moral, anjuran-anjuran, dan yang tidak dapat dikembalikan kepada maksud yang spesifik. Beliau menyarankan tujuan dari hukum Islami adalah al-Ismah, proteksi atau perlindungan yang yata terhadap keimanan, jiwa, akal, ranah-ranah kepribadian, dan harta.
- Imam al-Ghazali pencetus ‘jenjang-jenjang keniscayaan’. Abu hamid al-Ghazali mengembangkan teori gurunya al-Juwayni dalam bukunya al-Mustasfa (sumber yang murni). Al-Ghazali mengurut keniscayaan yang disarankan oleh gurunya sebagai berikut: a. Keimanan, b. Jiwa, c. Akal, d. Keturunan, dan e. Harta. Al-Ghazali juga mencetak istilah al-Hifz (pelestarian) dari keniscayaan itu. Dengan jelas al-Ghazali memanfaatkan konsep al-Maqasid sebagai dasar bagi beberapa aturan Islami. Dalam rangka ini, beliau menulis: “Segala bentuk minuman yang memabukkan, baik cair maupun padat, adalah dilarang berdasarkan analog dengan khamar, karena khamar dilarang demii untuk pelestarian akal manusia. Disamping itu, al-Gazali menyarankan sebuah ‘aturan funndamental’, berdasarkan penjenjangan bekutuhan yang urutannya lebih tinggi (lebih dasar) harus memiliki prioritas atas kebutuhan yang memiliki nilai aturan yang lebih rendah apabila terjadi pertentangan dalam penerapan keduanya.
- Al-‘Izz ibn “abd al-Salam dan ‘Hikmah di Balik Hukum Syariah’. Beliau menulis dua buku kecil tentang al-Maqasid, yaitu: Maqasid al-Salah (Tujuan-Tujuan Pokok Shalat) dan Maqasid al-Sawm (Tujuan-Tujuan Pokok Puasa). Sedang buku yang kental berisi sumbangannya dalam mengembangkan teori al-Maqasid adalah Qawa’id al-Ahkam fi Masalih al-Anam (Kaidah-Kaidah Dasar tentang Kemaslahatan-Kemaslahatan Manusia).dalam bukunya yang luas membahas maslahat dan mudarat, al-Izz menghubungkan kesahan aturan dengan tujuannya dan hikmah di baliknya. Beliau menulis,’Setiap aksi yang merugi tujuannya adalah tidak laku’ dan ‘Apabila kamu mempelajari bagaimana tujuan-tujuan dari arahan Syariat dapat mendatangkan maslahat dan menvegah mudarat, maka kamu akan menyadari tidak-sahnya mengabaikan kebaikan umum sekecil apa pun dalam situasi mana pun, sekalipun kamu tidak memiliki dalil yang spesifik dari teks-teks suci, ijma atau kias’.
- Imam al-Qarafi dan ‘Klasifikasi Perbuatan Nabi SAW’. Melalui pembedaan yang dilakukan terhadap berbagai macam tindakan Nabi SAW berdasarkan niat/maksud dari Nabi SAW sendiri, Al-Qarafi menulis dalam bukunya al-Furuq (perbedaan-perbadaan): “Terdapat perbedaan antara tindakan-tindakan Nabi SAW dalam kapasitasnya sebagai utusan Ilahi, sebagai hakim, atau sebagai pemimpin,...Implikasi hukum dari perbedaan-perbedaan itu adalah bahwa apa yang permanen...(akan tetapi) keputusan-keputusan yang berhubungan dengan militer, kepercayaan publik,...menunjuk para hakim dan gubernur, membagi rampasan perang, dan menandatangi kesepakatan internasional...adalah aturan yang menyangkut para pemimpin saja.”
-
0 komentar:
Post a Comment