Kata “mut’ah” berasal dari kata “mata’a” yang berarti bersenang-senang. Perbedaan dengan pernikahan biasa, selain adanya batasan waktu yang disepakati bersama adalah: (1) tidak saling mewarisi, kecuali kalau diisyaratkan, (2) lafadz ijab yang berbeda, (3) tidak ada talak, sebab sehabis kontrak, pernikahan itu putus, (4) tidak ada nafkah iddah[1].A. Kawin kontrak secara yuridis. Makna Yuridis dalam kamus bahasa Indonesia diartikan dengkaan : Menurut hukum. Kawin kontrak yang akan saya bahas adalah berdasar dasar yuridis Islam atau menurut dasar hukum Islam. Karena permasalahan yang banyak dibahas dalam buku-buku dan memang perdebatan di masyarakat sendiri mencakup boleh tidaknya berdasar hukum agama.
Nikah mut’ah atau di Indonesia sering disebut nikah kontrak, nikah sementara waktu atau nikah terputus, merupakan masalah dan salah satu titik rawan dalam hubungan antara dua kelompok: Ahlus-Sunnah dan Syiah. Yang satu mengharamkannya secara mutlak dan yang lainnya menghalalkannya secara mutlak.[2]
1. Dalam pandangan Yuridis Ahlus-Sunnah
Ahlus-Sunnah memberikan hukum terhadap praktek nikah mut’ah dengan hukum haram, ini berdasarkan banyak riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW telah mengharamkan nikah mut’ah. Seperti riwayat Hadits dibawah ini, memberikan penjelasan bahwa nikah mut’ah adalah haram
Muhammad bin Ali meriwayatkan bahwa Ali (pernah diberi tahu oleh seorang bahwa Ibnu Abbas membolehkan nikah mut’ah, maka dia berkata kepada Ibnu Abbas,”Sesungguhnya Nabi SAW melarang nikah mut’ah dan melarang (memakan) daging kedelai pada waktu perang Khaibar.”[3]
Diriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sabrah al-Juhani, dari ayahnya, bahwa Rasulullah SAW melarang nika mut’ah. Rasulullah SAW bersabda: “ Ketahuilah, sesungguhnya nikah mut’ah itu haram mulai sekarang sampai hari Kiamat. Barangsiapa yang telah memberikan sesuatu (yakni upah), maka janganlah ia mengambilnya kembali.”[4]
Jabir bin Abdullah menceritakan , “Pada suatu hari, kami pernah melakukan nikah mut’ah dengan mahar segenggam kurma dan gandum selama beberapa hari pada masa Rasulullah SAW dan Abu Bakar hingga akhirnya pada masa Umar dilarang karena kasus Amr bin Huraits,” (HR. Muslim).[5]
Dari hadits diatas dijelaskan bahwa dilarangnya nikah mut’ah kerena kasus Arm bin Huraits, namun terus terang saya sendiri tidak menemukan kasus seperti apa yang terjadi dengan Arm bin huraits dalam buku-buku yang saya baca. Sehingga apabila pembaca memiliki jawaban, saya akan sangat senang menerimanya. Kembali kepada pembahasan nikah mut’ah, saya juga menambahkan beberapa hadits lagi yang berkenaan dalam larangan nikah mut’ah, seperti dibawah ini.
Dari Rabi’ bin Sabrah bahwa ayahnya pernah berperang barsama Rasulullah SAW pada waktu pembebasan Kota Mekah, dia berkata,, “kami menetap di Mekah selama lima belas hari. Lantas, Rasulullah SAW mengizinkan kami untuk menikahi wanita dengan cara mut’ah. Kemudian, aku dan seorang pria dari kaumku yang tidak terlalu tampan bahkan hamper berwajah buruk keluar dengan mengenakan pakaian. Pakaianku agak lusuh dan pakaian sepupuku baru dan menarik. Sehingga pada saat kami berada di bagian utara atau selatan Mekah, kami bertemu dengan seorang gadis perawan yang tinggi semampai. Kami bertanya, “Apakah engkau mau melakukan nikah mutah dengan salah satu dari kami?” wanita itu bertanya,” Apa yang akan kalian berikan?” Lalu masing-masing kami menebarkan pakaian. Aku membuatnya melihat kepada dua kaki sedangkan temanku membuatnya menatap ke ketiaknya, sambil berkata, “sesungguhnya baju ini lusuh sedangkan bajuku masih baru mentereng.” Tetapi wanita itu berkata, “Tidak masalah melakukan nikah mut’ah bersamanya sebanyak tiga kali atau dua kali.” Kemudian aku melakukan nikah mut’ah dengannya. Aku tidak pernah keluar sampai nikah mut’ah diharamkan oleh Rasulullah SAW.” (HR. Muslim).[6]
Dalam hadits diatas dijelaskan bahwa Sabrah telah melakukan pernikahan mut’ah, namun pada akhirnya dia meninggalkan pernikahan itu berdasarkan kalimat yang ada di hadits itu, “Aku tidak pernah keluar sampai nikah mut’ah diharamkan oleh Rasulullah SAW.” Itu artinya Rasulullah SAW akhirnya melarang nikah mut’ah.
2. Dalam pandangan Yuridis Syi’ah
Walaupun nikah mut’ah dilarang menurut hadis diatas tetapi berbeda dengan pandangan Syi’ah dalam pandangan mereka nikah mut’ah itu diperbolehkan, bahkan sebagian imam Syi’ah ada yang bersifat sangat fanatik dan menganggap mut’ah sebagai jalan mendekatkan diri kepada Allah SWT (qurbah). Dalam satu riwayat disebutkan, iman ash-Shadiq berkata,”Orang yang tidak menghalalkan nikah mut’ah bukan termasuk golongan kami.”[7]
Nikah mut’ah memang pernah diperbolehkan pada masa awal Islam, karena situasi darurat. Kemudian Nabi SAW melarangnya dan larangan itu telah menjadi ijma’ ulama. Bahkan Ibnu Abbas sendiri menarik pendapat yang memperbolehkan nikah mut’ah, karena mayoritas para sahabat sepakat melarang pernikahan semacam itu.[8]
Abu Jamrah berkata, “ aku pernah mendengar Ibnu Abbas ditanya tentang nikah mut’ah, dan dia membolehkan. Maka seorang maula-nya berkata, “Bukankah itu dibolehkan dalam keadaan yang sulit, jumlah wanita sedikit, atau keadaan sejenisnya” Ibnu Abbas menjawab, “Benar”.[9]
Mazhab Syi’ah dengan tegas tetap mengizinkan dan membolehkan dilaksanakannya nikah mut’’ah di era modern ini. Walaupunn andalan argument mereka tetap merujuk pada pendapatnya Ibnu Abbas. Golongan Syiah membantah pendapat yang mengatakan bahwa nikah mut’ah hanya berlaku pada saat “terjepit” dengan menganalogikan pada kasus memakan bangkai dan darah. Menyamakan nikah mut’ah dengan kasus memakan bangkai dan darah nampaknya kurang relevan. Karena memakan bangkai dan darah saat kita kelaparan disebabkan tidak menemukan makanan lain. Sedangkan makanan adalah kebutuhan primer, maka mau tidak mau kita harus memakannya. Kalau tidak, kita akan terlempar pada “kubangan” kematian. Beda halnya dengan kebutuhan biologis. Karena untuk menghempaskan gemuruh berahi ini dapat dilakukan dengan beragam cara. Misalnya, dicegah dengan puasa atau aktivitas positif dari rangkaian kehidupan kita. Karena itu, tidak masuk akal jika darurat digantungkan sebagai alas an pada nikah mut’ah. Kelompok yang dalam sejara dikenal sebagai kelompok ahlul bait ini memasang beberapa syarat untuk meresmikan akad nikah ala mut’ah sehingga mendapat justifikasi agama. Yaitu kalimat yang dipakai dalam sigat adalah salah satu kalimat mata’a, nakaha, atau zawaja. Untuk perempuan yang akan dinikahi tidak disyaratkan muslimah., boleh dari perempuan kitabiyah (Kristen atau yahudi). Syarat selanjutnya, harus ada perjanjian hitam diatas putih tentang mahar (maskawin) dan batas waktu kontrak. Sementara untuk soal wali dan saksi kelompok ini tidak mewajibkannya. Ketika ditanya tentang perempuan pezina, mereka membuat hukum makruh untuk dinikahi dengan model mut’ah.[10]
Syi’ah membolehkan nikah mut’ah dan menjadikannya sebagai dasar agama mereka.
a. Mereka jadikan sebagai rukun iman, mereka menyebutkan bahwa Ja’far ash-Shadiq mengatakan: “Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak mengimani adanya ra’jab dan tidak menghalalkan nikah mut’ah.
b. Mereka beranggapan bahwa nikah mut’ah merupakan pengganti dari minuman yang memabukkan. Mereka meriwayatkan dari Muhammad bin Muslim dari Abu Ja’far bahwa ia berkata: “Sesungguhnya Allah SWT telah menyayangi kamu dengan menjadikan nikah mut’ah sebagai pengganti bagi kamu dari minuman keras.”
c. Mereka tidak hanya membolehkan saja, bahkan mereka menjatuhkan ancaman yang sangat keras bagi yang meninggalkannya. Mereka berkata, “Barang siapa meninggal dunia sedang ia belum melakukan nikah mut’ah, maka ia akan dating pada hari kiamat dalam keadaan terpotong hidungnya..”
d. Dan menjadikan pahala yang sangat besar bagi pelakunya sehingga mereka berkeyakinan bahwa barang siapa yang melakukan nikah mut’ah empat kali, maka derajatnya (kedudukannya seperti Rasulullah SAW. Lalu mereka menisbatkan kedustaan ini kepada Rasulullah SAW. Mereka menyebut riwayat palsu: “Barang siapa yang melakikan nikah mut’ah sekali maka derajatnya seperti al-Husein. Barang siapa melakukan nikah mut’ah dua kali, maka derajatnya seperti derajat al-Hasan. Barang siapa melakukan nikah mut’ah tiga kali,maka derajatnya seperti derajat Ali. Dan barang siapa melakukan nikah mut’ah empat kali, maka derajatnya seperti derajatku.”
e. Menurut mereka boleh melakukan nikah mut’ah dengan gadis perawan tanpa harus minta izin kepada walinya.[11]
B. Kawin kontrak secara normatif
Makna kata norma dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok dalam masyarakat, dipakai sebagai panduan, tatanan, dan tingkah laku yang sesuai dan berterima, aturan, ukuran, atau kaidah yang dipakai sebagai tolak ukur untuk menilai atau memperbandingkan sesuatu.
Didalam kehidupan masyarakat terdapat empat macam norma, yaitu norma kesopanan, norma kesuliaan, norma agama, dan norma hukum.[12]
1. Norma Kesopanan
Norma kesopanan adalah aturan tingkah laku yang berlaku dimasyarakat. Jika melanggar norma kesopanan, kita tidak akan dihargai atau dihormati orang lain. Kita bahkan dicemooh oleh orang lain.[13]
Dalam masalah nikah mut’ah yang sedang kita bahas dengan pijakan sudut pandang norma kesopanan memang antara satu daerah dengan daerah lain memiliki perbedaan sudut pandang persepsi. Dalam masyarakat yang notabennya hamper tidak ada praktek nikah mut’ah, mereka akan menganggap seorang yang melakukannya sebagai seorang yang telah menyimpang dan mendapat ketidak berhargaan didalm masyarakat itu. Mungkin mereka akan memandangnya sebagai salah satu bentuk lain dari pelacuran.
Sedang dalam masyarakat yang dalam kehidupan bermasyarakatnya sudah biasa terjadi pernikahan dengan cara mut’ah, mereka akan memandangnya secara kesopanan biasa saja. Itu merupakan perbuatan yang biasa dilakukan dan bukan merupakan perilaku menyimpang. Seperti halnya yang terjadi di daerah pucak bogor. Pembangunan perumahan mewah didaerah puncak menghadirkan tempat nyaman untuk beristri dan beristirahat bagi orang-orang luar Indonesia. Dengan keadaan yang nyaman ini mereka juga melakukan kawin kontrak dengan para gadis setempat. Namun dalam norma kesopanan mereka itu adalah hal yang biasa dan kadang merupakan sebuah langkah kepahlawanan bagi keluarganya yang dilanda miskin.
Sehingga bisa dikatakan bahwa saat ini secara norma kesopanan nikah mut’ah itu bersifat relative terhadap struktur masyarakat. Karena setiap golongan masyarakat memiliki pendangan kesopanan tersendiri berhubungan dengan masalah nikah mut’ah.
2. Norma Kesusilaan
Norma sesusilaan adalah salah satu aturan yang berasal dari akhlak atau dari hati nurani sendiri tentang apa yang baik dan apa yang buruk.[14]
Secara hati nurani sebenarnya kawin kontrak ini ditentang. Namun banyaknya kasus yang terjadi mempunyai latar belakang karena kebutuhan uang yang mendesak. Dengan alasan inilah masyarakat tidak menghukumi mereka para pelaku nikah mut’ah adalah orang yang memiliki akhlak yang buruk, karena mereka biasanya menikah karena dorongan uang untuk keluarganya.
3. Norma Agama
Norma agama adalah peraturan hidup yang merupakan perintah dan larangan yang berasal dari Tuhan.[15]
Dalam pandangan norma agama, sesungguhnya sudah dijelaskan di bagian kawin kontrak secara yuridis. Disanan dijelaskan bahwa agama Islam menghukumi nikah mut’ah ini dengan dua hukum pada dua golongan yang bertentangan. Pertama goolongan Ahlu Sunnah wa al jamaah, mereka menghukuminya dengan haram sampai hari kiamat. Yang kedua dari golongan Syi’ah, mereka menghukumi boleh melakukan nikah mut’ah, bahkan menjadikan dasar mereka dalam beragama.
4. Norma hukum
Didalam Pasal 1 UU No.1/1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa”. Berdasarkan pasal ini maka jelas terjadinya kawin kontrak bertentangan dengan filosofis tujuan perkawinan.
Dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebutkan bahwa supaya terjadi persetujuan yang sah,perlu dipenuhi empat syarat:
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu pokok persoalan tertentu;
4. suatu sebab yang tidak terlarang.[16]
Dari serangkaian peraturan ini, ada kalimat suatu sebab yang tidak terlarang. Sehingga bisa dikatakan sebenarnya pernikahan kontrak telah melanggar hukum positif kita. Walaupun padam pasal tidak ditemukan pasal kusus mengenai permasalahan kawin kontak.
C. Kawin kontrak secara realitas
1. Perbedaan gaya kawin kontrak di puncak Bogor dan di jepara
Dalam pembahasan kawin kontrak secara realitas ini saya mengambil dua tempat objek kawin kontrka yang terkenal, Jepara dan puncak bogor.
Diantara kedua lokasi tersebut terdapat perbedaan, sehingga kedua dearah itu memiliki cirri khas dalam masalah nikah mut’ahnya.
Perbedaan pertama, terletak pada pelakunya. Di kawasan Puncak, pelakunya adalah pria berwajah Timur Tengah dengan wanita lokal. Sedangkan di Jepara, pria pelaku kawin kontrak umumnya berwajah Eropa atau akrab disebut dengan istilah londo.
Perbedaan kedua, terletak pada jangka waktu pelaksanaan kawin kontrak. Di kawasan Puncak, kawin kontrak ada yang berumur satu hari, bahkan hanya beberapa jam, sebagaimana pria hidung belang menyewa pelacur. Bisa juga mingguan. Paling lama satu bulan. Sedangkan di Jepara, kawin kontrak paling sedikit berlangsung dua tahun, paling lama sepuluh tahun.
Ketiga, pelaku kawin kontrak di Puncak, umumnya turis yang mencari hiburan dan kepuasan duniawi lainnya. Sedangkan di Jepara, praktik kawin kontrak umumnya dilakoni pelaku bisnis mebel, atau orang kepercayaan sebuah industri mebel di negara-negara Eropa, atau tenaga kontrak pada industri berat di sekitar Jepara, misalnya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tanjung Jati, Jepara.
Keempat, pria berwajah Timur Tengah pelaku kawin kontrak di kawasan Puncak, diduga beragama Islam. Sehingga tidak ditemukan adanya prosesi meng-Islam-kan yang bersangkutan. Sedangkan di Jepara, pria pelaku kawin kontrak diduga non-Muslim, sehingga dapat ditemukan proses meng-Islam-kan yang bersangkutan sebelum akad nikah terjadi.
Kelima, kawin kontrak di kawasan Puncak, sangat pekat aroma prostitusinya dan segala tipu daya yang menyertainya. Sehingga sepak terjang wanita pelaku kawin kontrak di kawasan Puncak ini, umumnya tidak diketahui pihak keluarganya. Sedangkan di Jepara, wanita pelaku kawin kontrak sepak terjangnya diketahui pihak keluarga, bahkan direstui. Oleh karena itu dapat ditemukan adanya semacam prosesi perkenalan antara calon ‘mempelai’ pria dengan keluarga wanita lokal.[17]
Dari perbedaan ini keduanya tetap memiliki dampak yang negative bagi kelangsungan kehidupan masyarakat disana.
Praktek nikah mut’ah atau kawin kontrak juga salah satu factor penunjang terjadinya mobilitas social pada daerah itu. Mobilitas sosial menurut Kimball Young dan Raymond W. Mack adalah suatu gerak dalam, yaitu pola-pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok sosial. Sedangkan menurut Robert M.Z Lawang, mobilitas sosial adalah perpindahan posisi dari lapisan yang satu ke lapisan yang lain dari dimensi yang lain ke dimensi yang lain.[18]
Tak bias dipungkiri bahwa masyarakat Indonesia masih banyak yang mengandalkan lembaga perkawinan untuk menaikkan kelas sosial. Fenomena kawin kotrak di daerah puncak atau gadis-gadis pedesaan yang pada usia sudah menikah, hanyalah beberapa hal yang menunjukkan bagaimana lembaga perkawinan menjadi solusi untuk menaikkan kelas sosial.[19]
Mereka memanfaatkan nikah mut’ah untuk menaikkan kelas sosial mereka dalam tatanan masyarakat mereka. Sehinggga bias dilihat bahwa sebagian besar alasan menikah mut’ah ini adalah demi menaikkan pendapatan financial semata. Sehingga mereka mampu menaikkan kelas sosial dalam sudut pandang kekayaan.
2. Cara melakuka kawin kontrak di puncak
Sebagaimana diungkapkan oleh seorang resepsionis di villa puncak Bogor. Di puncak bogor ada masa dimana disebut kawin kontrak ini ramai. Para pelaku lebih banyak dari para turis timur tengah yang berlibur ke puncak. Pada saat masa kawin kontrak ini villa yang ada di puncak bisa selitar lima puluh persen naik pemesanannya. Mereka memesan untuk satu minggu hingga satu bulanan. Biasanya sekitar bulan Juli-Agustus. Lebih dari 80 villa terisi oleh pasangan kawin kontrak ini
Kawin kontrak dipilih oleh para lelaki Arab ini karena persyaratan yang diberikan cukup mudah disbanding dengan menikah resmi. Nikah mut’ah ini hanya membutuhkan emas kawin sebesar Rp. 4 juta dampai Rp. 6 juta, mereka bisa mendapat wanita-wanita cantik dan menjadikannya istri sementaranya.
Pelaksanaan kawin kontrak dilakukan tanpa adanya penghulu, melainkan hanya seorang saksi. Sehingga banyak juga orang yang menjadikan saksi sebagai profesinya atau disebut tukang saksi.
Wanita yang dinikah kontrak tidak bisa mendapat mahar secara penuh, namun harus berbagi dengan mama (germo), atau memberikan sebagian uangnya kepada calo yang mempertemukannya dengan pasangan kontraknya.[20]
[1] Beni Ahmad Saebani, Fiqih Munakahat 1 (CV. Pustaka Setia, Bandung, 2009), hal. 67
[2] Muhammad Bagir, Fiqih Praktis II Menurut Al-Quran As-Sunnah dan Pendapat Para Ulama, (Karisma, Bandung, 2008)Hal 117.
[3] M. Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih Bukhari. (Gema Insani Pres, Jakarta, 2008), hal 424.
[4] Syaikh Salim bin ‘Ied, Ensiklopedi Larangan Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, (Pustaka Imam Asy-Syafi’I, Bogor, 2005), hal 26.
[5] Muhamad Shidiq Hasan Khan, Ensiklopedia Hadis Sahih Kumpulan hadis Tentang Wanita, (Hikmah, Jakarta, 2009), hal 348.
[6] Adil Abdul Mun’im Abu Abbas, Ketika Menikah Menjadi Pilihan, (Almahira, Jakarta, 2001), hal 52.
[7] Ahmad Nahrawi Abdus Salam al-Indunisi, Ensiklopedia Imam Syafi’I, (PT Mizan Publika, Jakarta, 2008), hal 101.
[8] Ahmad Nahrawi Abdus Salam al-Indunisi, Ensiklopedia Imam Syafi’I, (PT Mizan Publika, Jakarta, 2008), hal 120.
[9] M. Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih Bukhari. (Gema Insani Pres, Jakarta, 2008), hal 424.
[10] Abu Yasid, Fatwa Tradisional untuk Orang Modern, (PT Gelora Aksara Pratama, 2002), hal 110.
[11] Syaikh Salim bin ‘Ied, Ensiklopedi Larangan Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, (Pustaka Imam Asy-Syafi’I, Bogor, 2005), hal 27-28.
[12] Aa Nurdiaman, Pendidikan Kewarganegaraan kecakapan berbangsa dan bernegara, (Pribummi Mekar, Bandung, 2007), hal 4.
[13] Sarwiyanto dan kawan-kawan, Ayo Belajar Pendidikan Kewarganegaraan PKN, (Kanisius, Yogyakarta, 2009), hal 49.
[14] Janu Murdiyatmoko, Sosiologi Memahami dan Mengkaji Masyarakar, (Grafindo Media Pratama, Bandung, 2007), hal 52.
[15] Irwansyah Lubis, Menggali Potensi Pajak perusahaan dan Bisnis Dengan Pelaksanaan Hukum, (EleX Media Komputindo, Jakarta, 2010), hal 3.
[16]http://teckywaskito.wordpress.com/2011/01/21/kawin-kontrak-dalam-pandangan-hukum/ diakses pada 2-11-2012 pukul 03.10.
[17] http://www.eramuslim.com/syariah/tsaqofah-islam/ustadz-hartono-ahmad-jaiz-fenomena-pelanggaran-syari-at-kawin-kontrak-khas-jepara.htm#.UJLEv9lwSkc di akses pada 2-11-2012 pukul 01.56.
[18] Janu Murdiyatmoko, Sosiologi Memahami dan Mengkaji Masyarakar, (Grafindo Media Pratama, Bandung, 2007), hal 45.
[19] Puline Pudjiastiti, Sosiologi untuk SMA/MA Kelas XII, (Grasindo, Jakarta, 2007), hal 36.
[20]http://metro.news.viva.co.id/news/read/148666-musim_kawin_kontrak_di_pucak_mulai_tiba, diakses pada 2-11-2012 pukul 03.04.
0 komentar:
Post a Comment