A. Latar
Belakang Masalah
Perbuatan pencucian
uang di samping sangat merugikan masyarakat, juga sangat merugikan Negara
karena dapat mempengaruhi atau merusak stabilitas perekonomian nasional atau
keuangan Negara dengan meningkatkan berbagai kejahatan.[1]
Praktik pencucian uang
kotor, uang tunai atau kekayaan lain yang berasal dari aktivitas criminal
termasuk hasil korupsi guna menghilangkan asal-usul merupakan suatu bisnis yang
menggiurkan.[2]
Berdasarkan statistic
IMF, hasil kejahatan yang dicuci melalui bank-bank diperkirakan hamper mencapai
nilai sebesar US$1.500 miliar pertahun. Sementara itu menurut Associated Press, kegiatan pencucian
uang hasil perdagangan obat bius, prostitusi, korupsi dan kejahatan lainnya
sebagian besar diproses melalui perbankan untuk kemudian dikonversikan menjadi
dana legal dan diperkirakan kegiatan ini mampu menyerap nilai US$ 600 miliar
per tahun. Ini berarti sama dengan GDP seluruh dunia. Namun Micheal Camdessus (Managing Director IMF), memperkirakan
dari folume dari cross-border money
laundering adalah 2 % sampai dengan 5 % dari Gross Domestic Product (GDP) dunia. Bahkan, batas terbawah dari
kisaran tersebut, yaitu jumlah yang dihasilkan dari kegiatan narcotics, trafficking, arms trafficking,
bank fraud, counterfeiting, dan kejahatan yang sejenis itu, yang di cuci di
seluruh dunia setiap tahun mencapai jumlah hamper US$ 600 miliar.[3]
Sebuah data yang
disebutkan oleh FATF (Financial Action Task Force) pada tanggal 22 Juni 2001
menyebut ada 17 negara yang masuk dalam daftar hitam, diantatanya Kepualauan
Cook, Dominica, Kepulauan Marshall, Israel, Lebanon Filipina, Rusia, Mesir,
Guatemala, Hungaria, Myanmar, Nigeria, dan Indosesia. Negara itu dianggap tidak
kooperatif (Non-cooperative countries and territories-NCCT) dalam memberantas
pencucian uang.[4]
Walau akhirnya nasib
Indonesia membaik di mata dunia, dengan di keluarkannya dari daftar hitam
negera yang tidak kooperatif (Non
Cooperative Countries and Teritories/NCCT) terhadap tindakan pencucian uang
pada siding Financial Action Task Force (FATF) di paris, 9-11 Februari 2005.
Hal itu menggembirakan, namun bukan berarti Indonesia dapat berbangga diri
sebagai Negara yang bersih dan bebas dari tindak pidana.[5]
B. Pembahasan
1. Sejarah
dan Pengertian Pencucian Uang (Money Laundering)
a. Sejarah
Pencucian Uang
Istilah pencucian uang atau money loundering
ini telah dikenal sejak dekade tahun 1930 di Amerika Serikat, yaitu ketika
seorang mafia membeli perusahaan yang sah dan resmi sebagai strateginya.[6]
Investasi terbesar adalah perusahaan pencucian pakaian atau disebut Laundromat
yang saat itu terkenal di Amerika Serikat.Pada dekade 1920-1930 ada kelompok
penjahat yang dipimpin Al Capone adalah seorang penjahat terkenal dari Amerika
Serikat. Ia melakukan money laundry terhadap uang haram yang didapatnya dengan
menggunakan jasa seorang akuntan cerdas bernama Meyer Lansky. Money laundry
yang dilakukannya adalah melalui usaha binatu (laundry). Itulah asal muasal
nama money loundering.[7]
Usaha binatu milik Al Capone ini ternyata berkembang maju dengan berbagai
perolehan hasil uang haram dari proses kejahatan lain yang berpa cabang usaha
yang ditanamkan ke perusahaan pencucian pakaian ini, seperti uang hasil proses
minuman keras illegal, hasil perjudian, dan hasil perusahaan pelacuran.
Al Capone pun dijebloskan ke dalam
penjara berdasarkan pelanggaran terhadap Volsted
Act. Suatu hal yang sangat luar biasa pada saat mana kepolisian yang
bersenjata tidak pernah berhasil menangkapnya. Bahkan konfrontasi bersenjata
yang dilakukan polisi untuk menghancurkan kelompok Al Capone dan menangkapnya
selalu gagal, karena kelompok itu pun memiliki persenjataan yang sama lengkap
dan mematikan dengan yang dimiliki polisi.[8]
Charlie Lucky Luciano, seorang gembong
kejahatan Amerika yang memiliki spesialisasi dalam menyelundupkan alcohol dan
perjudian gelap, mengirim rekannya, Meyer Lansky untuk mengambil bagian dalam
emas Nazi. Lansky berangkat ke Swiss dan membantu mentransfer lebih dari US$300
juta ke dalam rekening-rekening lain hingga sampai ke tangan bosnya yang licik,
Al Capone.[9]
Pada
saat yang bersamaan karena pemberlakuan prinsip rahasia bank di swiss pada awal
tahun 1930 an, pencucian uang memperoleh pijakah kokoh. Petinggi –petinggi
militer nazi Jerman melakukan pencurian uang dengan memanfaatkan prinsip
rahasia di bank swiss. Pada saat itu swiss tidak mengkatagorikan penggelapan
dan pengelakan pajak sebagai suatu kejahatan, sehingga siapapun yang menyimpan
uang dibank –bank swiss tidak akan ditanya soal itu. Identitas nasbah hanya
menjadi otoritas direktur bank. Hanya direktur bank yang mengetahui sipa
nasabah pemilik nomor tersebut. Oleh karena itu, identitas nasabah hanya berupa
nomor kode.[10]
Bagi organisasi kejahatan, Harta
Kekayaan sebagai hasil kejahatan ibarat darah dalam satu tubuh, dalam
pengertian apabila aliran Harta Kekayaan melalui system perbankan internasional
yang dilakukan diputuskan, maka organisasi kejahatan tersebut lama-kelamaan
akan menjadi lemah, berkurang aktivitasnya, bahkan menjadi mati. Oleh karena
itu, harta kekayaan merupakan bagian yang sangat penting bagi suatu organisasi
kejahatan. Untuk itu, terdapat suatu dorongan bagi organisasi kejahatan
melakukan pencucian uang agar asal-usul Harta Kekayaan yang sangat dibutuhkan
tersebut sulit atau tidak dapat dilacak oleh penegak hukum.[11]
b. Pengertian
Pencucian Uang
Pencucian uang adalah suatu proses atau
perbuatan yang bertujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang
atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana yang kemudian
diubah menjadi harta kekayaan yang seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah.[12]
Dalam buku kitab Blak’s Law Dictiniory,
istilah money laundering di artikan dengan, term
applied to taking money gotten illegally and washing or laundering it so it
appears to have been gotten legall (istilah yang diterapkan untuk mengambilan uang yang didapat secara ilegal dan mencucinya atau pencucian sehingga
tampaknya didapatkan secara legall).[13]
Sedangkan menurut para ahli hukum,
pencucian uang atau money laundering memiliki
berbagai pengertian dari masing-masing ahli hokum tersebut. Seperti pengertian
dari ahli hukum Sarah N. Welling, the
process by which one conceals the existence, illegal source, or illegal
application of income, and than disguises that income to make it appear
legitimate (sebuah proses dimana untuk menyembunyikan keberadaan, sumber ilegal, atau cara ilegal pendapatan, dan juga penyamaran hingga pendapatan untuk menjadi tampak sah).[14] Kemudian Sarah N welling mengemukakan pengertian
money laundering sebagai proses yang dilakukan oleh seseorang menyembunyikan
keberadaan ,seumber ilegal atau aplikasi ilegal dari pendapatan yang
kemudian menyamarkan pendapatan itu
menjadi sah.Welling menekankan bahwa pencucian uang adalah suatu proses
mengaburkan ,menyembunyikan uang- uang- ilegal melalui sistem keuangan sehingga
ia akan meuncul kembali sebagai uang yang sah.[15]
Selanjutnya menurut ahli hukum Fraser, money
laundering dimaknai sebagai, money laundering
is quite simply the process through which “dirty” money (proceeds of crime), is
washed through “clean” or legitimate sources and enterprises so that the “bad
guys” may more safely enjoy their ill gotten gains (pencucian uang adalah proses sederhana dimana uang "kotor"
(hasil kejahatan), dicuci melalui sumber "bersih" atau sah dan perusahaan, sehingga "orang
jahat" akan lebih aman menikmati keuntungan kotor mereka).[16]
Begitu juga dengan pengertian dari
Pamela H. Bucy dalam bukunya yang berjudul white
Collar Crime: Cases and Materials. Bahwa Money laundering adalah sebagai
berikut, Money laundering is the
concealment of the existence, nature of illegal source of illicit funds in such
a manner that the funds will appear legitimate if discovered.[17]
Maknanya adalah Pencucian uang sebagai penyembunyian keberadaan, sifat atau
sumber illegal, pergerakan atau kepemilikan uang demi alasan apapun.[18]
Pengertian pencucian uang dalam UU no.
25 Tahun 2003 adalah perbuatan menempatkan, menstranfer, membayarkan, membelanjakan,
menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan,
atau perbuatan lainnya atas harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga
merupakan hasil tindakan pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau
menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta
Kekayaan yang sah (Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 25 Tahun 2003 tentang
perubahan atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang). Sedangkan dalam UU No. 8 Tahun 2010 tantang Pencegahan dan pembarantasan
tindak Pidana Pencucian uang, pengertian pencucian uang mengalami perluasan
menjadi segala perbuatan yang memenuhi unsure-unsur tindak pidana sesuai dengan
ketentuan dalam Undang-Undang ini.[19]
2. Tahap-Tahap
atau Mekanisme Pencucian Uang.
Secara umum terdapat beberapa tahap
dalam melakukan usaha pencucian uang, yaitu sebagai berikut.
1. Tahap
Penempatan (Placement)
Tahap
Placement merupakan tahap pengumpulan dan penempatan uang hasil kejahatan
disuatu Bank atau tempat tertentu yang diperkirakan aman guna mengubah bentuk
uang tersebut agar tidak terindentifikasi. Biasanya dana yang ditempatkan
berupa uang tunai dalam jumlah besar yang dibagi ke dalam jumlah yang lebih
kecil dan ditempatkan di beberapa rekening di beberapa tempat.[20]
Tahap
ini merupakan tahap pertama, yaitu pemilik uang tersebut mendepositkan uang
haram tersebut ke dalam system keuangan (financial system). Karena uang itu
sudah masuk ke dalam system keuangan berarti uang itu telah jua masuk kedalam
system keuangan Negara yang bersangkutan. Oleh karena itu uang yang telah
ditempatkan di suatu bank selanjutnya dapat lagi dipindahkan ke bank lain, baik
di Negara tersebut maupun di Negara lain, maka uang tersebut bukan saja telah
masuk ke dalam system keuangan Negara yang bersangkutan, tetapi juga telah
masuk ke dalam system keuangan global atau internasional.Jadi placement
(penempatan) adalah upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu kegiatan
tindak pidana ke dalam system keuangan.[21]
Bentuk kegiatan ini antara lain sebagai berikut:
a. Menempatkan
dana pada bank. Kadang kegiatan ini diikuti dengan pengajuan kredit/pembiayaan.
b. Menyetorkan
uang pada bank atau perusahaan jasa keuangan lain sebagai pembayaran kredit
untuk mengaburkan audit trail.
c. Menyelundupkan uang dari suatu Negara ke
Negara lain.
d. Membiayai suatu usaha yang seola-olah sah atau
terkait dengan usaha yang sah berupa kredit/pembiayaan sehingga mengubah kas
menjadi kredit pembiayaan.
e. Membeli
barang-barang berharga yang bernila tinggi untuk keperluan pribadi, membelikan
hadiah yang nilainya mahal sebagai penghargaan atau hadiah kepada pihak lain
yang pmbayarannya dilakukan melalui bank atau perusahaan jasa keuangan lain.[22]
Tahap
Placement, memindahkan uang haram dari sumbernya untuk menghindarkan jejak
dengan metode smurfing. Metode ini
mengelabui ketentuan untuk melaporkan transaksi uang tunai sesuai dengan
peraturan yang berlaku.[23]
Dalam tahap ini bisa juga penempatan uang hasil criminal itu dimasukkan dalam
sisten keuangan, baik dengan cara memasukkan ke deposito, saham, atau
mengonversikannya ke dalam mata uang lain.[24]
2. Tahap Pelapisan atau Layering
Tahap
Layering merupakan upaya untuk mengurangi jejak asal uang tersebut atau
cirri-siri asli dari uang hasil kejahatan tersebut atau nama pemilik uang hasil
tindak pidana, dengan melibatkan tempat-tempat atau bank di Negara-negara
dimana kerahasiaan bank akan menyulitkan pelacakan jejak uang. Tindakan ini
dapat berupa transfer dana ke Negara lain dalam bentuk mata uang asing,
pembelian property, pembelian saham pada bursa efek menggunakan deposit di bank
A untuk meminjam uang di bank B dan sebagainya.[25]
Layering
(pelapisan) adalah suatu proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau
lokasi tertentu sebagai hasil upaya placement ke tempat lainnya melalui
serangkaian transaksi yang kompleks yang didesain untuk menyamarkan/mengelabui
sumber uang haram tersebut, misalnya bearer
bonds, forex market, stocks. Disamping cara tersebut, langkah lain yang
digunakan adalah dengan menciptakan sebanyak mungkin account dari perusahaan
fiktif/semu dengan memanfaatkan aspek kerahasiaan bank dan keistimewaan
hubungan antara nasabah bank dengan pengacara. Upaya ini dilakukan untuk
menghilangkan jejak atau usaha audit sehingga seolah-olah merupakan transaksi finansial
yang legal.[26]
3. Tahap
Penggabungan atau Tahap Integration
Tahap
Integration merupakan tahap pengumpulan dan menyatukan kembali uang hasil
kejahatan yang telah melalui tahap pelapisan dalam suatu proses arus keuangan
yang sah. Pada tahap ini uang hasil kejahatan benar-benar telah bersih dan
sulit dikenali hasil tindak pidana, dan muncul kembali sebagai asset investasi
yang tampaknya legal.[27]
Integration
(penggabungan) adalah proses pengalihan uang yang diputihkan hasil kegiatan
placement maupun layering ke dalam aktivitas-aktivitas atau performa bisnis
yang resmi tanpa ada hubungan/links ke dalam bisnis haram sebelumnya. Pada
tahap ini uang haram yang telah diputihkan dimasukkan kembali ke dalam
sirkulasi dalam bentuk yang sesuai dengan aturan hukum, dan telah berubah
menjadi legal. Ada tulisan yang menyebutkan bahwa cara tersebut juga disebut spin dry yang merupakan gabungan antara
repatriation dan integration. [28]
3. Alasan
Memerangi Pencucian Uang
Pencucian uang secara potensial dapat
menghancurkan ekonomi, keamanan dan membawa dampak sosial. Pencucian uang
menyediakan bahan bakar bagi penyelundupan narkoba, penyapan dan lainnya untuk
menjalankan dan memperluas perusahaan mereka. Secara faktual kegiatan pencucian uang sulit untuk ditindak
dan diberantas, tetapi pencucian uang harus di persempit ruang geraknya
/diperangi, karena kegiatan itu telah mengganggu sistem ekonomi suatu bangsa dan
sistem-sistem lainnya. Adapun dampak buruk pencucian uang antara lain :
A. Melemahkan
sektor swasta yang sah
Pencucian uang dapat mendirikan
perusahaan topeng yang bergerak dalam kegiatan bisnis. Misalnya di Amerika
serikat ,misalnya kejahan terorganisasi menggunakan kedai-kedai pissa untuk
menopengi hasil penyelundupan heroin dan kedai pizza tersebut menjual pissa
dengan haraga murah yang membuat pengusaha pissa dan perusahaan lainnya yang bersih akan akan kalah saing. Bila keadaan ini bertahan
lama perusahaaan yang sah tidak bertahan lama dan kejahatan akan semakin sulit
diberantas.[29]
B. Merusak
intregitas Pasar keuangan
Jika pencucian uang hasil kejahatan
masuk kedalam ranah negara (yang
biasanya masuk dalam jumlah besar maka hampir dipastikan akan menimbulkan
likuiditas .Institusi keuangan yang menerima hasil kejahatan memiliki tantangan
tambahan dalam mengelola aset ,liabilitas dan operasi mereka .Contoh sejumlah
besar uang hasil kejahatan yang telah dicuci mungkin ada di institusi keuangan
,tetapi menghilang tiba-tiba tanpa pemberitahuan ,melalui transfer elektronek
sebagai respons terhadap faktor non pasar mseperti penegakan hukum .Hal ini
dapat berdampak pada bank itu sendiri yag menimbulkan masalah likuiditas
.Penarikan uang yang telah dicuci menyebabkan krisis likuiditas dan kegaglan
bannk ,karena bank mengelola sebagian besar
hasil kejahatan .Hal ini akan menimbulakan krisis keuangan dan bank akan
tutup sperti Europa Bank union dan BCCI.[30]
C. Berisiko
Pada Reputasi Negara
Pencucian uang dapat merudsak reputasi
negara .Tidak stu negara pun di dunia ,terlebih di era global saat ini ,yang
bersedia kehilangan reputasinya akibat pencucian uang. Kepercayaan pasar akan
terkikis karena kegiatan jahat tersebut . Kemudian negara akan kehilangan
kexempatan yang sah untuk memperoleh keuntungan dari industri keuangannya.[31]
D. Menimbulakan
Biaya Sosial
Pencucian uang merupakan proses yang
paling penting dalam organisasi sehingga dapat melaksanakan kejahatan mereka
.Pencucian uang memungkinkan para penjua dan pengedar narkoba ,penyelundup dan
lainnya akan memperluas kegiatannya .Hal ini dapat berakibat pada
pemberantasan kejahatan tersebut
/penanganan dan penegakan hukum .Pencucian uang bisa-bisa memindahkan ekonomi
pasar ,pemerintah ,dan warga negar kepada para penjahat .Tidak mustahil ,bila
terus menerus meluas ,dalam kasus ekstrim hal ini dapat mengakibatkan
terjadinya pengambilalihan kekuasaan pemerintah yang sah .[32]
4. Undang-Undang Pencucian Uang
Penanganan tindak pidana pencucian
uang di Indonesia yang dimulai sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2002 tentang Tindak Pidana Pencucian uang sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15
tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian uang, telah menunjukkan arah
positif. Hal itu, tercermin dari meningkatnya kesadaran dari pelaksana Undang-Undang
tentang tindak Pidana Pencucian Uang, seperti penyedia jasa keuangan dalam
melaksanakan kewajiban pelaporan, lembaga Pegawas dan Pengatur dalam pembuatan
peraturan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam
kegiatan analisis, dan penegak hukum dalam menindaklanjuti hasil analisis
hingga penjatuhan sanksi pidana dan/atau sanksi administrative (UU No. 8 Tahun
2010).[33]
Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun
2010 memuat materi muatan, yaitu:
1.
Redefinisi
pengertian hal yang terkait dengan tindak pidana Pencucian uang.
2.
Penyempurnaan
Kriminalisasi tindak pidana Pencucian uang.
3.
Pengaturan
mengenai penjatuhan sanksi pidana dan sanksi administrative.
4.
Pengukuran
penerapan prinsip mengenali Pengguna Jasa.
5.
Perluasan
pihak Pelapor.
6.
Penetapan
mengenai jenis pelaporan oleh penyedia barang dan/atau jasa lainnya.
7.
Penataan
mengenai Pengawasan Kepatuhan.
8.
Pemberian
kewenangan kepada Pihak Pelapor untuk menunda transaksi.
9.
Perluasan
kewenangan Direktorat jenderal Bea dan Cukai terhadap pembawaan uang tunai dan instrument
pembayaran lain ke dalam atau ke luar daerah pabean.
10.
Pemberian
kewenangan kepada penyidik tindak pidana asal untuk menyidik dugaan tindak
pidana Pencucian uang.
11.
Perluasan
instasi yang berhak menerima hasil analisis atau pemeriksaan PPATK.
12.
Penataan
kembali kelembagaan PPATK.
13.
Penambahan
kewenangan PPATK, termasuk kewenangan untuk menghentikan sementara Transaksi.
14.
Penataan
kembali hukum acara pemeriksaan tindak pidana Pencucian uang, dan
15.
Pengaturan
mengenaii penyitaan Harta Kekayaan yang berasal dati tindakan pidana.[34]
A. Pertama
Tindak
pidana pencucian uang aktif, yaitu Setiap Orang yang
menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, menbayarkan,
menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan
dengan uang uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan
yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta
Kekayaan. (Pasal 3 UU RI No. 8 Tahun 2010).[35]
Berdasarkan
UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian uang, perbbuatan
pencucian uang dapat dikelompokkan menjadi aktif dan pasif (Husein 2010).
Tindak pidana pencucian uang yang aktif melibatkan orang yang sengaja melakukan
pencucian uang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 4 yaitu:
Pasal 3
Setiap
orang yang menempatkan, mentranfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan,
menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan
dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta kekayaan
yang diketahui atau perlu diduganya merupakan hasil tindak pidana…
Pasal
Setiap
orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul, sumber, lokasi,
peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta
Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana…
Berdasarkan
Pasal 1 angka 13 UU Pencegahan Pemberantasan Tindak Pidana pencucian uang, yang
dimaksud dengan harta kekayaan adalah semua benda bergerak maupun benda tidak
bergerak, baik berwujud maupun tidak berwujud, yang diperoleh baik secara
langsung maupun tidak langsung.[36]
B. Kedua
Tindak
pidana pencucian uang pasif yang dikenakan kepada setiap Orang
yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah,
sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal tersebut dianggap juga sama dengan
melakukan pencucian uang. Namun, dikecualikan bagi Pihak Pelapor yang
melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
(Pasal 5 UU RI No. 8 Tahun 2010).[37]
Berdasarkan
Pasal 5 pelaku tindak pidana pasis adalah setiap orang yang menerima atau
menguasai harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil
tindak pidana melalui: a. Penempatan, b. Pentransferan, c. Pembayaran, d.
Hibah, e. Sumbangan, f. penitipan, g. Penukaran atau h. Menggunakan harta
kekayaan.
Unsure
obyektif dalam Pasal 5 di atas adalah perbuatan penempatan, pentranferan,
pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta
kekayaan yang diketahui atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.
Sedangkan unsure subyektifnya adalah mengetahui, atau patut diduga, bahwa harta
kekayaan yang didapat merupakan hasil tindak pidana.[38]
C. Ketiga
Dalam
Pasal 4 UU RI No. 8/2010, dikenakan pula bagi mereka yang menikmati hasil tindak pidana pencucian uang
yang dikenakan kepada setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal
usul, sumber lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang
sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan
hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal ini pun
dianggap sama dengan melakukan pencucian uang.[39]
5. Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang
Mengenai
sanksi terhadap orang yang telah melakukan pencucian uang telah diatur sedemikian
rupa dalam UU TPPU. Seperti halnya dalam Pasal 3 dalam UU TPPU Setiap Orang yang menempatkan,
mentransfer mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan,
menitipkan,membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang
atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya
atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta
Kekayaan dapat dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana
penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Dengan
demikian, disinilah peran Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai lembaga independen yang dibentuk dalam rangka
mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang dengan cara menyediakan
informasi inteligen yang dihasilkan dari analisis terhadap laporan-laporan yang
disampaikan kepada PPATK .[40] Dalam
melaksanakan tugasnya, PPATK mempunyai fungsi sebagai berikut (Pasal 40 UU No.
8 Tahun 2010):
1.
Pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang;
2.
Pengelolaan
data dan informasi yang diperoleh ppatk
3.
Pengawasan
terhadap kepatuhan pihak pelapor
4.
Analisis atau
pemeriksaan laporan dan informasi transaksi keuangan yang berindikasi tindak
pidana pencucian uang dan/atau tindak pidana lain .[41]
Selain itu
PPATK sendiri sudah memiliki banyak mitra dalam membantu menelusuri aliran dana
mencurigakan tersebut seperti Kejaksaan, Kepolisian, Bea Cukai, Direktorat
Pajak bahkan Koperasi Simpan Pinjam serta BNN.
Di indonesia sendiri yang saat ini
menjadi pusat perhatian media mengenai kasus Pencucian uang salah satunya adalah kasus Irjen Djoko susilo untuk kasus pencucian uang
terkait korupsi simulator SIM, Djoko didakwa
Pasal 3 dan atau 4 Undang-undang
nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pencucian Uang.Kemudian,
dia juga didakwa atas pencucian uang selama 2003 hingga 2010, Djoko didakwa melanggar Pasal 3 dan atau 4 UU Nomor 8 Tahun
2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan
Pasal 3 ayat 1 dan atau Pasal 6 ayat 1 UU 15/2002 tentang TPPU dengan pidana
penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp 10 miliar.[42]
Hal ini
terbukti dengan di sitanya beberapa rumah milik Djoko Susilo di antaranya di
Yogyakarta, Solo, dan Semarang.Dia memakai hasil tindak pidana korupsi dalam
simulator sim dengan melakukan pencucian uang dengan mengubahnya dengan menyamarkan
hasil uang haram itu dengan membeli beberapa rumah. Selain
itu Komisi Pemberantasan Korupsi bisa menjerat istri-istri Inspektur Jenderal
Polisi Djoko Susilo dengan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) selama
ditemukan dua alat bukti yang cukup. Menurut surat dakwaan, istri-istri Djoko ikut menguasai aset
yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Terdapat sejumlah aset Djoko
yang diatasnamakan istri-istrinya.
"Ya,
bisa, sepanjang memenuhi unsur-unsur seperti yang tertuang dalam Pasal 3 Pasal
4 UU TPPU dan dengan dukungan bukti-bukti," ujar Juru Bicara KPK Johan
Budi, Rabu (24/4/2013).[43]Dengan pasal
TPPU, KPK sedianya bisa menjerat kerabat, keluarga, atau teman dekat Djoko yang
diduga menerima atau menguasai asetnya. Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang Tindak
Pidana Pencucian Uang menyebutkan bahwa penerima hasil korupsi dapat dikenakan
pidana serta denda.
"Setiap
orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran,
hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar," demikian bunyi pasal tersebut.
Surat
dakwaan Djoko menyebutkan, jenderal bintang dua itu diduga menyamarkan beberapa
hartanya tahun 2010 dengan menggunakan nama Djoko Waskito (ayah kandung Dipta
Anindita, istri muda Djoko). Djoko membeli tanah lengkap dengan stasiun
pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Jakarta Utara. Harga di akta Rp 5,3
miliar, harga sebenarnya Rp 11,5 miliar.Pada tahun 2012, Dipta dibelikan tanah
senilai Rp 7,1 miliar di Semarang. Ia juga dibelikan tanah di Surakarta senilai
Rp 6 miliar.[44]Pada tahun 2011,
mengatas namakan istri kedua, Mahdiana, terdakwa Djoko Susilo membeli sebidang
tanah di Jakarta Selatan senilai Rp 46 juta dan Rp 6,1 miliar. Pembelian Rp 6,1
miliar menggunakan perantara Erick Maliangkay. Mahdiana juga dibelikan tanah
senilai Rp 5 miliar pada 2012. Terdakwa membeli tanah dengan menggunakan nama
lain, yaitu Mudjiharjo. Empat bidang tanah dibeli di Yogyakarta tahun 2011 dan
2012 senilai Rp 3 miliar dan Rp 389 juta.
Untuk
pembelian kendaraan, terdakwa menggunakan nama Sudiyono. Selain itu, Djoko
diduga menyamarkan hartanya dengan menggunakan nama Eva Handayani. Wanita ini
diduga sebagai istri mudanya yang lain. Aset yang disamarkan atas nama Eva di
antaranya berupa SPBU, tanah beserta bangunannya di daerah Depok, Jawa Barat,
dan tanah di Jagakarsa seluas 200 meter persegi. Djoko juga diduga membeli
sebidang tanah di Subang untuk istri pertamanya, Suratmi.
[1] Redaksi Grhatama, UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
KORUPSI, Yogyakarta: Pustaka Grhatama, 2009, hal 135.
[2] Boy Leon dan Sonny
Ericson, MANAJEMEN AKTIVA PASIVA BANK
NONDEVISA: Pengetahuan Dasar bagi Mahasiswa dan Praktisi Perbankan, Jakarta:
Grasindo, (tanpa tahun), hal 122.
[3] Adrian Sutedi ,S.H.,MH,
HUKUM
PERBANKAN: Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, Dan Kepailitan, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hal 18.
[6] Adrian Sutedi ,S.H.,MH, TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG, Bandung :PT Citra Aditya
Bakti Bandung, 2008, hal. 1
[7] Adrian Sutedi ,S.H.,MH,
HUKUM
PERBANKAN: Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, Dan Kepailitan, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hal 17.
[8] Ivan Yustiavandana, Arman
Nefi dan Adiwarman, TINDAK PIDANA
PENCUCIAN UANG DI PASAR MODAL, Bogor:
Ghalia Indonesia, 2010, hal 7.
[9] Jamie King, 111, KONSPIRASI MENGHEBOHKAN DUNIA terjamahan
dari CONSPIRACY THEORIES, Depok: Raih Asa Sukses, hal 210.
[10] Ivan Yustiavandana ,Arman Nefi , dan Adiwarman, TINDAK
PIDANA PENCUCIAN DI PASAR MODAL, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010, hal 7.
[11] Tim New Merah Putih, UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
ANTI KORUPSI, Yogyakarta: New Merah Putih, 2008, hal 196.
[12] Adrian Sutedi ,S.H.,MH,
HUKUM
PERBANKAN: Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, Dan Kepailitan, Jakarta: Sinar Grafika, 2007,Hal 19.
[14] Jimmy Gurule, UNFUNDING TERROR: The Legal Response to The
Financing of Global Terrorism, Chelthemham: Edward ElgarPublishing Limited, 2008, hal 104.
[15] Ivan Yustiavandana ,Arman Nefi , dan Adiwarman, TINDAK
PIDANA PENCUCIAN DI PASAR MODAL, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010, hal 7.
[16] Adrian Sutedi ,S.H.,MH,
HUKUM
PERBANKAN: Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, Dan Kepailitan, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hal 19.
[17] Adrian Sutedi ,S.H.,MH,
HUKUM
PERBANKAN: Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, Dan Kepailitan, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hal 20.
[18] Ivan Yustiavandana ,Arman Nefi , dan Adiwarman, TINDAK
PIDANA PENCUCIAN DI PASAR MODAL, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010, hal 11.
[19] Santoso, T., Chandra, R.,
Sinaga, A.C., muhajir, M. dan Mardiah, s., PANDUAN
INVESTIGASI DAN PENUNTUTAN DENGAN PENDEKATAN HUKUM TERPADU, Bogor: Cifor,
2011, hal 49.
[20] Santoso, T., Chandra, R.,
Sinaga, A.C., muhajir, M. dan Mardiah, s., PANDUAN
INVESTIGASI DAN PENUNTUTAN DENGAN PENDEKATAN HUKUM TERPADU, Bogor: Cifor,
2011, hal 45.
[21] Adrian Sutedi ,S.H.,MH,
HUKUM
PERBANKAN: Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, Dan Kepailitan, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hal 24.
[22] Adrian Sutedi ,S.H.,MH,
HUKUM
PERBANKAN: Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, Dan Kepailitan, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hal 24.
[23] Ismanthono, Henricus W., KAMUS ISTILAH EKONOMI DAN BISNIS,
Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010, Hal 199.
[24] Elvyn, G. Masassya, CARA
CERDAS MENGELOLA KEUANGAN PRIBADI, Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2006, hal
125.
[25] Santoso, T., Chandra, R.,
Sinaga, A.C., muhajir, M. dan Mardiah, s., PANDUAN
INVESTIGASI DAN PENUNTUTAN DENGAN PENDEKATAN HUKUM TERPADU, Bogor: Cifor,
2011, hal 45.
[26] Adrian Sutedi ,S.H.,MH “TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG” Bandung :PT
Citra Aditya Bakti Bandung, 2008 hal 19.
[27] Santoso, T., Chandra, R.,
Sinaga, A.C., muhajir, M. dan Mardiah, s., PANDUAN
INVESTIGASI DAN PENUNTUTAN DENGAN PENDEKATAN HUKUM TERPADU, Bogor: Cifor,
2011, hal 46.
[28] Adrian Sutedi ,S.H.,MH “TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG” Bandung :PT
Citra Aditya Bakti Bandung, 2008 hal 21.
[29] Ivan Yustiavandana ,Arman Nefi , dan Adiwarman, TINDAK
PIDANA PENCUCIAN DI PASAR MODAL, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010, hal 14.
[30] Ivan Yustiavandana ,Arman Nefi , dan Adiwarman, TINDAK
PIDANA PENCUCIAN DI PASAR MODAL, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010, hal 15.
[31] Ivan Yustiavandana ,Arman Nefi , dan Adiwarman, TINDAK
PIDANA PENCUCIAN DI PASAR MODAL, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010, hal 20.
[32] Ivan Yustiavandana ,Arman Nefi , dan Adiwarman, TINDAK
PIDANA PENCUCIAN DI PASAR MODAL, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010, hal 21.
[33] Santoso, T., Chandra, R.,
Sinaga, A.C., muhajir, M. dan Mardiah, s., PANDUAN
INVESTIGASI DAN PENUNTUTAN DENGAN PENDEKATAN HUKUM TERPADU, Bogor: Cifor,
2011, hal 48.
[34] Santoso, T., Chandra, R.,
Sinaga, A.C., muhajir, M. dan Mardiah, s., PANDUAN
INVESTIGASI DAN PENUNTUTAN DENGAN PENDEKATAN HUKUM TERPADU, Bogor: Cifor,
2011, hal 49.
[35] Undang-Undang No.8 tahun 2010
[36] Santoso, T., Chandra, R.,
Sinaga, A.C., muhajir, M. dan Mardiah, s., PANDUAN
INVESTIGASI DAN PENUNTUTAN DENGAN PENDEKATAN HUKUM TERPADU, Bogor: Cifor,
2011, hal 51.
[37] Undang-Undang No.8 tahun 2010
[38] Santoso, T., Chandra, R.,
Sinaga, A.C., muhajir, M. dan Mardiah, s., PANDUAN
INVESTIGASI DAN PENUNTUTAN DENGAN PENDEKATAN HUKUM TERPADU, Bogor: Cifor,
2011, hal 51.
[39] Undang-Undang No.8 tahun 2010
[40] Adrian Sutedi ,S.H.,MH, HUKUM PERBANKAN: Suatu Tinjauan Pencucian Uang,
Merger, Likuidasi, Dan Kepailitan, Jakarta: Sinar Grafika, 2007
0 komentar:
Post a Comment