PEMBAHASAN
1.
Tafsir
Al-Qur’an Surat Al-Baqarah (2) Ayat 188 :
Artinya: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta
sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah)
kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan
sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa,
padahal kamu Mengetahui”. (QS. Al-Baqarah : 188)
Tafsir
Pada ayat 188 ini Allah SWT menerangkan hukum memakan atau
mempergunakan harta orang lain dengan cara yang bathil atau dengan cara yang
tidak shah.
Sebab turunnya ayat ini ialah seperti yang
diriwayatkan bahwa: Ibnu Asywa’ Al Hadrami dan Imriil Qais, terlibat dalam suatu
perkara soal tanah yang masing-masing tidak dapat memberikan bukti. Maka
rasulullah menyuruh Imrill Qais (sebagai terdakwa yang ingkar) supaya
bersumpah, Tatkala Imriil Qais hendak melaksanakan sumpah itu, turunlah ayat
ini.
Pada bagian pertama ayat ini Allah melarang agar
jangan memakan harta orang lain dengan jalan yang bathil. Yang dimaksud dengan
“memakan” disini ialah “mempergunakan atau memanfaatkan”, sebagaimana biasa
dipergunakan dalam bahasa arab dan bahasa lainnya. Dan yang dimaksud dengan
“bathil” ialah dengan cara yang tidak menurut hukum yang telah ditentukan
Allah.
Para ahli Tafsir mengatakan banyak hal-hal yang
dilarang yang termasuk dalam lingkungan bagian pertama dari ayat ini, antara
lain:
a.
Memakan riba.
b.
Menerima zakat bagi
orang yang tidak berhak menerimanya.
c.
Makelar-makelar
yang melaksanakan penipuan terhadap pembeli atau penjual.
Kemudian pada bagian kedua atau bagian terakhir dari
ayat ini Allah SWT melarang membawa urusan harta kepada hakim dengan maksud
untuk mendapat sebagian dari harta orang lain dengan cara yang bathil, dengan
menyogok atau memberikan sumpah palsu atau sanksi palsu. Rasullullah bersabda,
“sesungguhnya saya adalah manusia, dan
kamu datang membawa suatu perkara untuk saya selesaikan. Barang kali diantara
kamu lebih pintar berbicara sehingga saya memenangkannya, berdasarkan
alasan-alasan yang kedengarannya baik”. Maka barangsiapa yang mendapat keputusasan
hukum dari saya untuk memperoleh bagian dari harta saudaranya (yang bukan
haknya) maka janganlah ia mengambil harta itu, karena ini berarti saya
memberikan sepotong api neraka kepadanya”. Mendengar ucapan itu keduanya
bersedia mengikhlaskan harta bagian kepada kawannya. Lalu Rasulullah SAW
memerintahkan: “pergilah kamu berdua dengan rasa penuh persaudaraan dan lakukan
undian dan terimalah bahagiaanmu masing-masing menurut hasil undian itu dengan
penuh keikhlasan.”
Kesimpulan
1.
Tidak boleh memakan
harta orang lain dengan jalan yang tidak shah.
2.
Tidak boleh
menyogok dan menerima sogokan untuk memperoleh sesuatu yang tidak shah dan
membuat sumpah palsu atau menjadi saksi palsu.[2]
Secara Gramatika / ‘Irāb
و تدلوا بها إلى الحكام ;
lafadz " وتدلوا " ada
kalanya dibaca
majzūm (shigat nahi), karena ‘athaf pada firman
Allah sebelumnya (ولا تأكلوا...), dalam
hal ini seakan-akan dikatakan; ".. وَلاَ
تُدْلُوا..".
Ada kalanya dibaca manshūb karena
perkiraan masuknya " أنْ "
setelah huruf " وَ " yang jatuh sebagai jawāb
dari nahi, hal ini bermakna al-jam’u (mengumpulkan), seakan
dikatakan; " وَ لاَ تَجْمَعُوْا
َبْينَ أنْ تَأْكُلُوْا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ، وَ أَنْ تُدْلُوْا
بِهَا إِلىَ الْحُكَّامِ ".
وَ أنتم تَعْلَمُوْنَ ;
jumlah ismiyyah menempati kedudukan nashab karena menjadi hāl dari dlamīr
marfū’ pada lafadz " لتأكلوا..".
Tafsir Mufradāt
وَ لاَ تَأْكُلُوْا أمْوَالَكُمْ بَيْنَكُم
بِالْبَاطِلِ ; Jangan sebagian kalian makan harta sebagian yang lain dengan cara yang
tidak benar
(menurut Syara’); yang dimaksud dengan "الأكل" :
yaitu mengambil (al-akhdu) dan menguasai (al-istilā`),
diungkapkan dengan lafadz"الأكل" karena tujuan yang terbesar/terpenting dari harta adalah
untuk dimakan.
Makan
harta dengan cara bathil ini ada dua klasifikasi; pertama, didapatkannya
harta itu dengan dengan perbuatan dhalim,
seperti mencuri, merampas (ghasab) dan sebagainya; kedua,
diperolehnya harta itu dari cara-cara yang dilarang, seperti judi, upah
menyanyi, serta semua cara yang diharamkan oleh Syara’. Dan ayat di atas telah
mewanti-wantikan keharaman semua itu; Lafadz " الباطل "
secara bahasa adalah sinonim dengan dengan lafadz " الزائل" dan
"الذاهب" berarti yang tergelincir atau yang hilang, sedangkan yang
dimaksud di sini ialah yang diharamkan oleh Syara’, seperti mencuri, ghasab,
dan mencakup semua pengambilan tanpa ganti atau tanpa ada kerelaan dari
pemiliknya, atau mentasharufkan kepada sesuatu yang nyata-nyata tidak ada
manfaatnya.
و تدلوا .. ; kamu
berikan sejumlah harta itu
kepada para Hakim, sebagai suap agar kamu mendapatkan keputusan hukum yang
sesuai dengan kemaslahatan (yang kamu kehendaki).
بالإثم ; dengan berbuat dosa, yakni perbuatan dhalim dan aniaya;
termasuk persaksian palsu, sumpah dusta, dan sebagainya. Semua itu merupakan perbuatan dosa, karena dosa itu tergantung
pada pelakunya.
و أنتم تعلمون ; sedangkan kalian tahu, bahwa kalian orang yang salah dan berbuat dosa, ini menunjukkan mubālaghah
(keterlaluan) dalam olehnya berani dan berbuat kemaksiatan.
Sabab Nuzūl
Muqatil bin Hayyan berkata : ayat ini turun mengenai prihal Amru’ Qays bin Abbas
Al-Kindy dan ‘Abdan bin Asywa’ Al-Hadlrāmy. Jelasnya, keduanya bersengketa
tentang sebidang tanah dan membawanya kehadapan Rasulullah SAW, dalam pada itu
Amru’ Al-Qays sebagai pihak yang dituntut (terdakwa), dan ‘Abdan bin Al-Hadramy
sebagai penuntut. Kemudian Allah SWT menurunkan ayat ini (Al-Baqarah : 188),
Rasulullah SAW memenangkan ‘Abdan pada sebidang tanahnya, dan dengan keputusan
itu Amru’ Al-Qays pun tidak menentangnya.
Sa’id bin Jabir berkata ; bahwasa Amru’ bin Qays bin Abbas dan ‘Abdan bin Asywa’
Al-Hadlrāmy bersengketa mengenai sebidang tanah, lalu Amru’ Al-Qays
menginginkan ‘Abdan bersumpah, maka turunlah ayat ; "
ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل .." .
Munāsabah
Hubungan ayat ini dengan ayat-ayat sebelumnya jelas,
yaitu berhubungan dengan orang yang mengerjakan ibadah kepada Allah SWT; berpuasa,
menahan nafsu dari kebiasaan makan, minum, menggauli istrinya pada siang hari,
dan segala larangan dalam puasa. Demikian tidakl selayaknya makanan dan
minuman yang ia santap kecuali yang jelas-jelas halal lagi bersih, yang bisa
membuat hati menjadi terang/bercahaya, dan menambah kepekaan/ketajaman mata
hati (bashīrah), yang dapat mendorong semangat/kesungguhan dalam
beribadah. Oleh karena itu maka Allah melarang memakan barang-barang haram yang
menjadikankan puasanya tidak diterima.
Tafsīr & Penjelasan
Dalam ayat-ayat
puasa Allah SWT telah menjelaskan halalnya seseorang memakan sebagian dari
hartanya, di sini Allah menghubungkannya dengan penyebutan hukum memakan harta orang lain.
Allah SWT melarang sebahagian diantara kita memakan harta
sebahagian yang lain dengan cara yang tidak dibenarkan oleh syara’. Kata "أموال" diidlāfah-kan kepada jamā’ah/orang banyak (kepada dlamīr كُمْ)
supaya timbul perasaan bahwa pada hakikatnya harta itu adalah harta umat atau
jama’ah/orang banyak, yaitu umat yang satu, sepenanggunagan yang saling
menanggung satu sama lain. Juga sebagai peringatan untuk saling menghormati dan
menjaga harta milik orang lain, menghormati dan menjaga (supaya tetap) pada pemiliknya
(yang sah). Maka berbuat aniaya atau merampas harta milik orang lain merupakan
tindakan kriminal terhadap umat, karena ia termasuk individu dan bagian
anggota pada kesatuan umat. Kata "أموال"
disandarkan kepada dlamīr manhi (yakni dlamīr " كُمْ ", menjadi mafūl dari "لا تأكلو
.."), menunjukkan bahwa masing-masing individu, kesemuanya
dilarang.
Memakan harta secara bathil mencakup segala bentuk perolehan harta yang tidak
benar. Seperti riba dan judi; keduanya termasuk mengambil harta tanpa ada gantinya,
suap dan membela kebathilan; karena keduanya termasuk membantu perbuatan
dhalim, bersedekah kepada orang yang mampu berusaha; karena itu akan
merendahkannya dan ia tidak boleh mengambilnya kecuali jika terpaksa, mencuri
dan ghasab; karena keduanya merupakan perbuatan aniaya (menggunakan tanpa hak)
terhadap harta orang lain, baik itu terhadap materinya maupun manfaatnya, atau
berbuat aniaya terhadap manfaat harta orang lain, seperti memperkerjakan tanpa
upah, atau mengurangi upah, makan harta anak yatim secara dhalim, upah dari
tari-tarian dan menyani, bayaran pelacur, upah meramal, membuat jimat-jimat dan
menghatamkan Al-Qur’an, dan segala harta yang diambil dengan cara tipu daya dan
kebohongan dan cara-cara haram lainnya, yang dapat menghantarkan kepada neraka;
oleh karena setiap anggota tubuh yang tumbuh dari barang yang haram, maka
baginya neraka lebih semestinya.
Larangan memakan harta
dengan cara bathil, juga hadir dalam ayat-ayat lain. Diantaranya ialah ;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا
أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ
تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ
رَحِيمًا .[النساء :
٢٩]
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. (QS. An-Nisa’ : 29)
Diantaranya juga firman Allah :
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا
يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا .
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dhalim,
Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk
ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)”. (QS. An-Nisa’ : 10)
Makna " و تدلوا بها إلى
الحكام " ; jangan kalian memberikan harta kepada para hakim sebagai
upaya untuk menyuap mereka, karena mengambil harta orang dengan perbuatan dosa,
seperti sumpah dusta atau persaksian palsu, dan semua yang dapat menghantarkan
kepada keharaman. Ayat ini mencakup dua segi; pertama, memberikan harta kepada
para hakim sebagai suap, yang dengan maksud agar para hakim itu memenagkan
mereka dengan cara bathil dan mengambil hak orang lain; kedua,
mengangkat suatu keputusan (masalah) terhadap juru hukum dengan berpegang pada
argumentasi (hujjah) yang bathil, dan mendeskreditkan kebenaran,
persaksian palsu, dan sumpah bohong.
Inilah yang diingatkan oleh Nabi SAW dalam haditsnya Ummu
Salamah yang diriwayatkan oleh
Malik, Ahmad, dan Ashhāb al-kutub as-sittah (Bukhari, Muslim, Abu Dawud,
Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah), Ummu Salamah berkata ; “aku berada di sisi
Rasulullah SAW, kemudian datang dua laki-laki yang bersengketa
mengenai harta warisan dan suatu masalah lain, lalu Rasulullah SAW bersabda” :
“ Aku hanyalah manusia biasa, sedangkan kalian bersengketa kepadaku, bisa jadi
sebagian diantara kalian lebih lihai dalam berargumentasi daripada yang lain,
maka aku memenangkannya berdasarkan apa yang aku dengar, maka barang siapa yang
aku menangkan baginya daripada sesatu hak saudaranya, janganlah ia
mengambilnya, karena aku memotongkan baginya potongan api neraka”, lantas kedua
laki-laki yang bersengketa itu menangis, dan masing-masing keduanya berkata;
“Aku halal untuk sahabatku, kemudian Nabi SAW bersabda; “Pergilah kalian dan
tetaplah bersaudara, kemudian undilah dan hendaknya masing-masing
seorang diantara kalian menghalalkan hak sahabatnya”.
Beberapa Aspek Hukum
Ayat tersebut melarang semua individu umat Muhammad untuk
memakan harta sebagian mereka diantara mereka atas sebagian yang lain dengan
cara yang tidak benar, ini meliputi; perjudian, penipuan, ghasab, menentang
kebenaran, apa yang tidak direlakan oleh pemilik, atau yang diharamkan oleh
Syara’ sekalipun diberikan atas kerelaan, seperti bayaran pelacur (tukang
zina), upah dukun, harga hasil jual khamr, babi, dan segala yang
mengarah pada permainan yang haram.
Termasuk diantara memakan harta dengan cara bathil yaitu;
ketika seorang qādli memenangkan kamu, sementara kamu tahu bahwa kamu
salah. Ayat tersebut jelas mengenai dosanya orang yang makan sedang ia tahu bahwa ia dhalim dengan
perbuatannya (makan) itu. Adapun jika tidak tahu maka tidak berdosa baginya.
Yang haram tetap haram, tidak otomatis menjadi halal karena putusan hakim,
karena hakim itu hanya menghukumi berdasarkan fakta zhahir, sebagaimana yang
ditunjukkan dalam hadits Ummu Salamah di atas, Nabi menyesuaikan dengan wāqi’
(fakta yang ada saat itu).
Meski demikian, masih muncul perbedaan pendapat (Khilāf)
diantara para ulama mengenai tema ini;
Abu Hanifah berkata; Putusan hakim dapat terjadi secara
dhahir dan bathin dalam masalah akad dan penceraian. Jika seorang hakim
berdasarkan bukti menghukumi terjadinya akad atau batalnya akad maka
hukumnya dapat berlaku, seperti halnya akad yang dilaksanakan di muka,
sekalipun saksi-saksinya itu adalah palsu. Sebagai contoh, jika seorang
laki-laki mengaku bahwa ia telah menikahi seorang wanita, kemudian wanita itu
mengingkarinya, lalu ia mendantangkan dua orang saksi palsu, kemudian halim
memutuskan telah terjadinya akad antara keduanya maka halal bagi laki-laki itu
untuk istimtā’ dengannya, demikian jika hakim memutuskan terjadinya thalāk,
maka terjadilah perceraian antara keduanya, sekalipun laki-laki itu
mengingkarinya. Dapat berlakunya keputusan qādli, sebagaimana di atas terikat oleh dua syarat;
a) Ia (qādli) tidak tahu bahwa keberadaan para saksi tersebut adalah palsu.
b) Dalam hal-hal yang diperkirakan (dengan keputusan itu)
ada kebaikan yang akan timbul.
Ali Karramallāhu wajhah pernah memutuskan suatu
masalah, yang bisa menguatkan pendapat ini. Jelasnya, telah
datang beliau seorang laki-laki yang mengaku sebagai suami atas seorang permpuan, sedangkan perempuan itu mengingkarinya, ia mendatangkan
dua orang saksi, wanita itu berkata; “Sungguh aku tidak menikah dengannya”, Ali
berkata padanya; “ dua orang saksi itu telah membuktikan pernikhan kamu’.
Demikian halnya kisah li’ān Hilal bin Umayyah dengan istrinya, lalu Nabi
SAW memutuskan pisah antara keduanya, dan itu setelah beliau mengatakan; “Jika
anak itu dengan sifat begini, maka anak itu kepunyaan Hilal, jika dengan sifat
begini, maka milik Syarik bin Sahma` ”, kemudian istrinya itu datang dengan
sifat yang tidak disukainya, maka Nabi bersabda; “Sekiranya tidak karena sumpah
yang telah lalu, pasti aku punya hak (menentukan) dan ia (istrinya) mendapat
haknya”. Kisah tentang li’ān itu menunjukkan bahwa, seorang istri bisa
saja sampai pada perceraian suaminya lantaran li’ān dusta, yang
sekiranya hakim mengetahui kebohongannya pasti akan menolak dan tidak
memisahkan keduanya. Ini tidak masuk dalam umumnya sabda Nabi SAW ; “..barang
siapa yang aku menangkan baginya daripada sesatu hak saudaranya, janganlah ia
mengambilnya ..”.
Menurut Jumhur ulama; keputusan hakim itu berlaku secara dhāhir bukan bāthin.
Baik dalam masalah harta maupun hukum-hukum yang lain, seperti pernikahan,
thalak, dan jinayat. Maka keputusan hakim tidak serta merta menghalalkan yang
haram, tidak pula menimbulkan hak, tetapi ia hanya menampakkan dan mengungkap
masalah-masalah itu sesuai dengan fakta yang ada, berdasarkan haditsnya Ummu
Salamah di atas, yang dari padanya di ambil sebuah kaidan berikur ;
"
نَحْنُ نَحْكُمُ بِا الظَّاهِرِ ، وَ اللهُ يَتَوَلَّى السَّرَائِرَ "
“ Aku memnghukumi dengan fakta dhāhir (yang kongkrit), Allah lah yang
menangani sarāir (yang abstrak/tersembunyi)”
Inilah penerapan terhadap ‘ām, kecuali
yang telah di-takhshīsh dengan nash seperti masalah li’ān.
Dalam keadaan apapun,
tidak diperkenankan bagi orang mukmin menyelesaikan urusan terhadap hakim,
dengan bertumpu pada bayaran dan melimpahkan perkara dakwaan, sedangkan ia tahu
bahwa dirinya yang salah dalam dakwaan itu.
Tidak halal pula bagi seorang mukmin mengambil harta
saudaranya atau yang bukan haknya, sekalipun qādli dalam
keputusannya menetapkan harta itu untuknya; karena qādli adalah manusia
yang tidak luput dari salah, ia memutus perkara berdasarkan fakta dhahir,
sedangkan keutusannya tidak dapat mengubah fakta yang sebenarnya. Sesungguhnya
yang pasti yang akan diperlihatkan adalah hisab yang benar dihadapan Allah SWT,
yang mana tiada sesuatupun yang tersembunyi, dan manusia akan mendapatkan
baladan sesuai dengan perbuatannya. Allah senantiasa meliput dan mengawasinya,
baik dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan. Dan hanya kepada-Nya lah
seharusnya seorang muslim merasa takut secara dhāhir dan bāthin.
Memberikan harta kepada hakim sebagai suap hanya akan
menyia-nyiakan harta itu, membuatnya lenyap/hilang percuma. Maka tidak dibenarkan bagi seorang
muslim mensia-siakan harta dan menyuap para hakim, supaya mereka memenangkan
baginya lebih banyak daripada haknya, atau sesuatu yang bukan haknya.
Ulama Ahlussunnah sepakat bahwa orang yang mengambil apa
yang dinamakan "مال" (harta)
secara bathil, baik sedikit maupun banyak; bahwa hal itu akan menjadikan ia
fasik, dan baginya haram mengambilnya.[3]
2.
Tafsir
Al-Qur’an Surat an – Nisa’ 135
“Wahai
orang-orang
yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi
Karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia
Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu Karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika
kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya
Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”
Dalam bahasa Arab perkataan
'Qawwamin' dengan makna sungguh-sungguh kerana ia dikenali sebagai kalimah
`Sighah Mubalaghah'. Ertinya kamu hendaklah bersungguh dalam melaksanakan
keadilan dalam perkara penyaksian untuk memberi hak kepada seseorang ataupun
menjatuhkan hukuman kepada seseorang semata-mata kerana Allah bukan kerana
kepentingan duniawi.
Allah memberi pahala yang besar
kepada orang yang menegakkan keadilan walaupun di atas diri sendiri. Ertinya
kamu menjadi saksi dengan penuh keadilan ke atas diri kamu sehingga dijatuhkan
hukuman. Begitulah juga terhadap orang lain.
Ataupun ke atas kedua ibu bapa kamu.
Kamu menjadi saksi yang adil ke atas keduanya sehingga mengakibat ibu bapa kamu
itu dijatuhkan hukuman. Soal penyaksian yang adil ini tidak termasuk dalam
kes menderhakai ibu bapa kerana dengan menjatuhkan hukuman akibat penyaksian
yang adil itu menyebabkan keduanya terselamat dari seksaan api neraka. [5]
Ibnu Katsir menafsirkan
ayat ini, beliau menjelaskan : “Bahwa ayat ini adalah perintah dari Allah Subhanahu
Wata’ala kepada setiap orang yang beriman untuk senantiasa berkata benar.
Tidak sepantasnya bagi seorang mu’min untuk meninggalkan kebenaran dan mudah
terpaling darinya. Sebaliknya, orang-orang yang beriman seyogyanya saling bahu
membahu, tolong menolong dan menyatu-padukan tekad, guna memperjuangkan
kebenaran. Mereka menegakkan kebenaran demi menggapai keridhaan Allah Subhanahu
Wata’ala. Bila ketulusan niat ini telah terwujud pada diri seseorang,
niscaya ucapan dan perbuatannya-pun benar, adil dan jauh dari penyelewengan
atau manipulasi. Kebenaran dan kejujuran ini senantiasa menghiasi kehidupan
orang yang beriman, walaupun kadang kala beresiko mendatangkan kerugian pada
diri sendiri. Bila hal itu terjadi, maka Allah Subhanahu Wata’ala tidak
akan menyia-nyiakan amal baiknya. Allah Subhanahu Wata’ala pasti
memberi orang yang taat kepada-Nya jalan keluar bagi setiap problematikanya.
Demikianlah kepribadian orang-orang yang benar-benar beriman. Keinginan untuk
mendapatkan keuntungan pribadi dan berbagai perasaan dirinya tidak dapat
memalingkannya dari menegakkan keadilan dalam segala aspek kehidupannya.”[6]
Sebab turunya ayat ini ditakhrîj
`Ibn Jarîr dari al-Sadiyyi. Ketika ayat ini diturunkan, terdapat dua orang
lelaki yang sedang bersengketa yaitu satu kaya dan
satu fakir. Sedangkan Nabi Muhammad SAW menyebelahi yang fakir, dengan
pandangan orang fakir tidak mungkin menzalimi yang kaya. Maka Allah enggan
menerimanya kecuali menegakkan keadilan dalam arti seimbang di antara yang kaya
dan fakir.[7]
3. Tafsir Al-Qur’an Surat al Maidah Ayat ke 46-47
Artinya:
“Dan
Kami iringkan jejak mereka (nabi nabi Bani Israil) dengan Isa putera Maryam,
membenarkan Kitab yang sebelumnya, yaitu: Taurat. Dan Kami telah
memberikan kepadanya Kitab Injil sedang
didalamnya (ada) petunjuk dan dan cahaya (yang menerangi), dan membenarkan
kitab yang sebelumnya, yaitu Kitab Taurat. Dan menjadi petunjuk serta
pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa.”
“Dan
hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah didalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa
yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.”
Setelah ayat-ayat
sebelumnya menjelaskan hukum Allah dalam kitab
Taurat dan orang-orang Yahudi kemudian dipesan untuk
melaksanakan hukum-hukum tersebut sesuai dengan Taurat. Sementara dua ayat
ini berbicara kepada orang-orang Kristen dan mengatakan, Injil
adalah kitab Allah yang menjadi petunjuk dan pencerah, sekaligus
menetapkan hukum-hukum yang ada pada kitab
Taurat. Begitu juga terkait ciri nabi yang akan datang setelah Nabi Musa
as memiliki kesesuaian dengan Nabi Isa as. Bila memang demikian adanya, kalian
harus menaati semua ajaran yang ditetapkan di dalam Injil dan
janganlah kalian menolak serta mengingkari perintah-perintah Allah Swt.
Karena jika demikian kalian akan termasuk kedalam golongan orang-orang yang
munafik.
Bagaimanapun juga, setiap yang
disebutkan al-Quran tentang Taurat dan Injil, maka yang dimaksud adalah Taurat
dan Injil yang belum diselewengkan. Sedangkan Taurat dan Injil
yang sudah disimpangkan, maka ia tidak lagi memiliki sifat-sifat sebagai kitab
pemberi petunjuk. Seandainya seseorang benar-benar mengamalkan ajaran kitab
Taurat dan Injil, maka sudah tentu ia akan beriman pula
kepada nabi akhir zaman yang kitab sucinya ialah al-Quran. Karena
Taurat dan Injil yang sudah menyimpang dari aslinya sudah tidak dapat
lagi diamalkan. Kalaupun seseorang mengamalkan ajaran
Taurat dan Injil yang ada sekarang dengan baik dan benar, tetap saja
Allah tidak menerimanya.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga pelajaran
yang dapat dipetik:
1. Semua kitab samawi
mengajak dan menyeru manusia kepada kebersihan dan takwa. Karena itu hanya
orang-orang yang bersih dapat menerima teladan dan pengaruh.
2. Semua kitab samawi
serta para nabi berada di jalan yang sama. Satu sama lain saling membenarkan,
bahkan
di kalangan mereka tidak terdapat perselisihan dan pertentangan.
3. Semua kitab samawi
tidak hanya untuk dibaca, tetapi untuk diamalkan baik pada pribadi, keluarga
dan masyarakat.[9]
dalam al Maidah ayat 47, ayat ini hendak
menjelaskan tentang perintah kepada orang-orang Kristen agar menerapkan hukum
Tuha yang terdapat dalam Kitab Injil. Iman al-Zamakhsyari menjelaskan, terdapat perbedaan antara Kitab Taurat dan Kitab Injil. kalau didalam kitab
taurat terdapat banyak hukum Tuhan, maka di dalam kitab Injil hanya didapatkan
sedikit hukum Tuhan. pada umumnya, kitab Injil berisi tentang nasihat-nasihat dan
pesan kearifan. ini artinya ppenting, ayat, kami
jadikan diantara kalian Syariat dan jalan (QS. Al-Maidah 48). tuhan
menurunkan wahyu kepada nabi dalam setiap agama dengan syariat yang berbeda,
tergantung konteks masyarakat yang dihadapi oleh setiap nabi. dalam konteks
Kristen, konteks kehiduppan Nabi Isa as telah menuntut agar Tuhan lebih banyak
menurunkan pesan-pesan moral dari pada hukum, sebagaimana kitab Taurat.[10]
4.
Tafsir
Al-Qur’an Surat al
Maidah ayat
48
“Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami
berikan aturan dan jalan. Seandanya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan
kamu satu umat, tetapi Allah hendak menguji kamu mengenai pemberian-Nya
kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” (QS. Al-Maidah 48).
seandainya Tuhan menghendaki kesatuan
pendapat, niscaya diciptakan-Nya manusia tanpa akal budi seperti binatang, atau
benda-benda tak bernyawa yang tidak memiliki kemampuan memilih dan memilah, karena hanya dengan demikian seluruhnya akan menjadi satu pendapat.
Dari sini, seorang Muslim dapat memahami adanya pandangan atau
bahkan pendapat yang berbeda dengan pendangan kehendak hati. kalaupun nalarnya
tidak dapat memahami kenapa Tuhan berbuat demikian, kenyataan yang diakui Tuhan
itu tidak akan menggelisahkan atau menghantarkannya “mati” atau memaksa orang
lain secara halus maupun kasar agar menganut pandangan agamanya.[11]
kenapa mereka diwajibkan untuk menerapkan
Injil, padahal Al-Quran sudah ditirunkan kepada nabi Muhammad saw? bukankah
hanya Islam sebagai agama yang palig benar? Imam Ar-Razi menghadirkan sejumlah jawaban, pertama, yang dimaksud dengan penegakan Injil adalah mengimami
tanda-tanda kedatangan Nabi Muhammad, sebagaimana terdapat didalam kitab Injil. Kedua, ayat
ini merpakan perintah bagi orang-orang Kristen agar melaksanakan hukum-hukum
yang tidak diabrogasi oleh Al-Quran. sedangkan jawaban yang ketiga, yaitu
peringatan agar orang-orang Kristentidak mengullangi apa yang diperbuat oleh
orang Yahudi terhadap hukum tuhan yang terdapat dalam kitan Taurat.
menurut Imam Al-Qurthubi, merupakan pendapat
yang moderat karena Tuhan menurunkan kitab suci dengan tujuan tertentu, yaitu
agar umat melaksanakan perintahnya dengan konsisten.[12]
[1] http://www.dudung.net/quran-online/indonesia/5
[2]
Alquran Dan Tafsirnya, yayasan penyelenggara penerjemahan/penafsir Al Quran,
Jilid I, hal 336-338
[4] http://www.dudung.net/quran-online/indonesia/5
[5] http://tuntelanai.blogspot.com/2011/12/tazkirah-tafsir-al-quran-surah-nisa.html
[6] http://www.hasmi.org/sulitnya-mencari-kejujuran/
[7] http://nawar-paloh.blogspot.com/2012/09/tafsir-ahkam-tentang-keadilan-surah.html
[8] http://www.dudung.net/quran-online/indonesia/5
[9] http://indonesian.irib.ir/al-quran/-/asset_publisher/b9BB/content/id/5270344
[10] Zuhairi
Misrawi, Alquran Kitab Toleransi, Jakarta:
Fitrah, 2007, hal 389
[11]Quraish Shihab,
Wawasan al-Quran: tafsir maudhu'i atas pelbagai persoalan umat, Bandung:
Mizan, 1996, hal 492
[12] Zuhairi
Misrawi, Alquran Kitab Toleransi, …
hal 389
0 komentar:
Post a Comment