I. PENGERTIAN ADAT
Adat berasal dari bahasa arab yaitu, عادات yang artinya “cara”; “kebiasaan”. Secara terminologi menurut Prof. Amura, istilah adat berasal dati bahasa Sanskerta, kerena menurutnya kata adat sudah dipakai oleh orang Minangkabau kurang lebih 2000 tahun lalu, dan adat berasal dari dua kata, a dan dato, a berarti tidak dan dato berarti kebendaan.[1]
Hukum adat, menurut Soerjono Soekanto, adalah adat-adat atau kompleks adat istiadat yang kebanyakan tidak tertulis, bersifat memaksa dan memiliki sanksi-sanksi hukum, sehingga penerapannya mempunyai sanksi hukum.
Sedangkan Moh. Koesnoe berpendapat bahwa hukum adat adalah hukum yang lahir langsung dari kebutuhan hukum dan perasaan hukum rakyat Indonesia serta merupakan hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan RI.[2]
Definisi yang ditawarkan oleh masyarkat Indonesia secara umum. karena adat pada esensinya dipahami sebagai sebuah norma yang mengikat dan dipelihara dalam masyarakat dalam rangka kepentingan mereka untuk mengatur kehidupan harian masyarakat, maka ia dengan demikian adalah hukum itu sendiri.[3]
Adat kebiasaan merupakan hukum rakyat dan dipatuhi demi tertibnya pergaulan masyarakat. hukum rakyat itu tidak dibuat (by design), tetapi lahir, tumbuh, dan berkembang dari suatu masyarakat seerhana yang tercermin pada setiap tingkag laku individu-individu (law is from its social) ke masyarakat komlpeks, yang kesadaran hukum tampak pada ucapan-ucapan para ahli hukumnya, sedangkan negara mawa tata berarti negara sebagai pemerintah pusat dan hukum negara sebagai tata aturan hasil eksekutif dan legislatif yang harus dipatuhi demi tertib hukum dan tertib kehidupan bernegara.[4]
II. TEORI YANG BERKEMBANG PADA MASA PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA TENTANG HUKUM ADAT
1. Teori Receptio In Complexu
Teori Receptio In Complexu dipelopori oleh Prof. Mr. Lodewijk Willem Christiaan Van den Berg (1845-1927). Tampaknya ajaran Van den Berg ini merupakan kesimpulan dari penelitian-penelitian mengenai hukum Islam di Indonesia. Terbukti pada tahun 1884 dia telah mampu menerbitkan bukunya mengenai asas-asas hukum Islam (Mohammedaanche Rect) menurut ajatan Hanafi dan Syafi’i. dan, pada tahun 1892 ia meluncurkan buku tentang hukum famili dan hukum waris Islam di jawa dan Madura dengan beberapa penyimpangannya dalam praktik. selain itu, ia juga sempat menerjemahkan kitab Fath al-Qarib dan Minhaj ath-Thalibin ke dalam bahasa Prabcis.[5]
Peresmian Pengadilan Agama di Jawa-Madura pada tahun 1882 terjadi ketika berkembang pendapat dikalangan Belanda bahwa hukum yang berlaku bagi orang-orang Indonesia asli adalah undang-undang agama mereka, yakni hukum Islam. Menganut teori yang sangat terkenal, Receptio in Complexu, yang sejak tahun 1855 telah memperoleh landasan perundang-undangan Hindia-Belanda melalui pasal 75, 78, dan 109 tahun 1854 (Stbl. 2855 No. 2). Sementara itu, sejak tahun 1838, dikalangan pemerintah Belanda sendiri muncul keinginan untuk memberlakukan kodifikasi hukum perdata berdasarkan asas kondordasi di Hindia Belanda.[6]
Akan tetapi, dalam rangka pelaksanaan hukum barat (Eropa) itu,Mr. Scholten Van Oud Haarlem yang menjadi ketua Komisi Penyesuaian Undang undang Belanda dengan Keadaan Istimewa di Hindia-Belanda, membuat sebuah nota kepada pemerintahnya: “ Untuk mencegah timbulnya keadaan yang tidak menyenangkan, mungkin juga perlawanan, jika diadakan pelanggaran terhadap agama orang bumiputera, maka harus diikhtiarkan sedapat-dapatnya agar mereka itu dapat tinggal tetap dalam lingkungan (hukum) agama serta adat istiadat mereka.” Pendapat itu sejalan dengan Lodewijk Willem Chrisrian Van Den Berg Bahwa hukum mengikuti agama yang dianut seseorang. Jika orang itu beragama islam, hukum islamlah yang berlaku baginya. menurut Van Den Berg, orang islam Indonesia telah melakukan resepsi hukum islam dalam keseluruhannya dan sebagai kesatuan.
2. Teori Resepsi
Setelah teori Receptio in Complecu ada perubahan sikap para pembuat dan penentu kebijakan hukum dan penjajahan di Belanda terhadap tanah jajahannya, dalam hal ini mengenai hukum perdata/hukum keluarga. Perubahan sikap itu antara lain dianjurkan oleh Cornelis Van Vollenhoven (1874-1933) yang mulai mengkritik dan menyerang pasal 75 dan 09 RR Stbl. 1855, tentang Receptio in Complexu itu. Vallenhoven sesungguhnya ahli hukum adat. dialah yang memperkenalkan Het Indische Adatrect, hukum Adat Indonesia. Di kalangan Islam, Hurgronje dikenal sangat anti-Islam. Dia sangat menentang teori Recectio in Complexu dari Van Den Breg dan para ahli lain. dia memperkenalkan teori yang sama sekali lain. Menurutnya, yang sesungguhnya berlaku di Indonesia bukan hukum Islam, melainkan Hukum adat. Kedalam hukum adat itu memang masuk hukum Islam, tetapi hukum islam baru mempunyai kekuatan kalau sudah diterima sebagai hukum adat. Teori Hurgronje itu terkenal dengan nama Resepsi.
III. PERMASALAHAN ADAT SEBAGAI HUKUM
Para ahli hukum barat tampaknya enggan untuk memerima adat sebagai sebuah hukum. Mungkin ini memang disebabkan oleh perbadaan pemahaman mengenai makna hukum dalam tradisi masyarakat Barat dibanding makna tersebut dalam masyarakat Indonesia, yang kerenanya sikap mereka terhadap adat pun juga berbeda. Khususnya sejak era Pencerahan (Enlightment), ketika ide penciptaan hukum melalui proses yang mekanis dan formal menjadi begitu kuat, masyarakat Barat pada umumnya cenderung untuk melihat hukum hanya dalam dimensi legislasi dan presenden yang diturunkan dari sumber tertulis saja. Hukum dalam bentuk yang lain dihasilkan dari tradisi lisan (oral) dan tak tertulis dalam masyarakat pada umumnya kemudian dilihat sebagai sesuatu yang “bukan hukum” tetapi hanya sekedar”kebiasaan”. pandangan inilah yang tampak umum dalam literatur hukum Barat sekarang ini. Sejak awalnya, para sarjana Barat senantiasa melihat aspek hukum dari adat melalui lensa pengajaran dan definisi hukum yang diterima dalam dunia Barat. dan pandangan inilah yang saat itu mempengaruhi pemerintah kolonial belanda ketika menghadapi fenomena adat dalam masyarakat lokal.
Adat sesungguhnya dapat kita pandang sebagai suatu bentuk hukum bila dilihat dari definisi yang ditawarkan oleh masyarkat Indonesia secara umum. karena adat pada esensinya dipahami sebagai sebuah norma yang mengikat dan dipelihara dalam masyarakat dalam rangka kepentingan mereka untuk mengatur kehidupan harian masyarakat, maka ia dengan demikian adalah hukum itu sendiri. inilah dasar kita untuk mengatakan bahwa masyarakat pada kenyataannya tidak pernah memahami adat sebagai suatu entitas yang terpisah dengan hukum. setidaknya ada dua hal yang menjadi dasarnya: pertama, masyarakat memahami adat sebagai norma yang berhubungan dengan keseluruhan hidup manusia, yang berhubungan tidak hanya dalam hal hubungan antar manusia tetapi juga hubungan mereka dengan fenomena alam; dan kedua, terminologi adat digunakan untuk membedakan tradisi hukum yang asli dengan nilai-nilai hukum yang dibawa oleh agama, khususnya setelah masuknya pengaruh tradisi agama dari luar seperti ISlam dan Hindu. Kita meliahat disini sebagaimana tradisi hukum masyarakat asli, yang diturunkan dari ajaran para nenek monyang dan dipelihara dalam kehidupan masyarakay, membedakan antara terminologi “hukum” atau “hukum agama” untuk menyebut hukum yang beraasl dari ajaran agama. munculnya terminologi “hukum adat” dalam kosa kata masyarakat (Adat law dalam bahasa inggris atau adatrecht dalam bahasa Belanda sebagai mana digunakan oleh Snouck Hurgronje) dengan demikian merupakan fenomena yang baru muncul kemudian. Hal ini sejatinya sekedar produl dari kebingungan para sarjana Belanda pada waktu itu ketika melihat fenomena adat ini. Dengan menggunakan lensa pemahaman meeka tentang hukum Barat, para sarjana belanda berusaha untuk memisahkan antara adat yang sekedar suatu kebiasaan dengan adat yang merupakan manifestasi hukum; karenanya, mereka menciptakan terminologi adatrecht untuk yang terakhir, yaitu adat yang berisi aturan hukum.
Walaupun Snouck Hurgronje sendiri yang telah menciptakan terminologi adatrecht dalam kamus kata Belanda, namun dua sarjana lain, Van Vollenhoven dan Ter Haar-lah, yang kemudian mengembangkan konsep dari terminologi tersebut, yaitu sebagai terminologi untuk menyebut adat yang dapat disebut sebagai hukum. mengikuti pemahaman Barat tentang hukum sebagai suatu institusi yang mengandung suatu sanksi, van Vollenhoven menggunakan logika ini untuk menyebut adat sebagai suatu tradii hukum. Ter Haar, disisi lain, menerima adat sebagai mana yang diputuskan oleh para pemuka adat sebagai suatu institusi hukum. Tampak jelas dari dua teori ini bahwa untuk merespon pertanyaan apakah adat itu merupakan hukum, para sarjana menggunakan pendekatan positivistik Austinian yang mendefiniskan hukum sebagai “suatu aturan umum yang dikeluarkan sebagai “suatu aturan atau perintah umum yang dikeluarkan oleh seseorang penguasa dalam suatu wilayah negara merdeka untuk warga negara sendiri dan dilengkapi dengan sanksi.” [7]
Sebagaimana diketahui, pada zaman penjajahan Belanda, hukum golongan Eropa dipandang lebih tinggi daripada hukum golongan Bumiputera dan Timur Asing. (Perhatikan penundukan golongan Bumiputra dan Timur Asing kepada hukum untuk golongan Eropa tetapi tidak sebaliknya). Selain itu, hukum golongan Eropa bersifat Tertulis, sedangkan hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis. Oleh karena pasal 131 IS berpegang pada asas hukum tertulis (menurut istilah Prof. Soepomo, “menghendaki supaya hukum itu ditulis tetap dalam ordonansi”), maka kedudukan hukum adat lebih dianggap “rendah” tingakatnya dari pada hukum golongan Eropa yang tertulis.[8]
DAFTAR PUSTAKA
Amrullah Ahmad, Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Gema Insani, Jakarta, 1996.
Amrullah Ahmad, Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Gema Insani, Jakarta, 1996.
Budi Susanto, S.J, Ingatan Hikmat Indonesia Masa Kini, Hikmat Masa Lalu Rakyat, Kanisius, Yogyakarta, 2005.
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat#Terminologi.
Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara, LKiS, Yogyakarta, 2001.
Prof. Dr. Ade Saptomo,Hukum dan Kearifan Lokal, Grasindo, Jakarta, 2010.
Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia, Jakarta, IMR Press, 2012.
Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia, Jakarta, IMR Press, 2012.
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat#Terminologi, diakses pada tanggal 9 mei 2012.
[2] Budi Susanto, S.J, Ingatan Hikmat Indonesia Masa Kini, Hikmat Masa Lalu Rakyat, Kanisius, Yogyakarta, 2005, hal 86
[3] Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia, Jakarta, IMR Press, 2012, hal 8.
[4] Prof. Dr. Ade Saptomo,Hukum dan Kearifan Lokal, Grasindo, Jakarta, 2010, hal 26-27.
[5] Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara, LKiS, Yogyakarta, 2001, hal 83.
[6] Amrullah Ahmad, Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Gema Insani, Jakarta, 1996, hal 5.
[7] Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia, Jakarta, IMR Press, 2012, hal 7-9.
[8] Amrullah Ahmad, Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Gema Insani, Jakarta, 1996, hal 150.
Adat berasal dari bahasa arab yaitu, عادات yang artinya “cara”; “kebiasaan”. Secara terminologi menurut Prof. Amura, istilah adat berasal dati bahasa Sanskerta, kerena menurutnya kata adat sudah dipakai oleh orang Minangkabau kurang lebih 2000 tahun lalu, dan adat berasal dari dua kata, a dan dato, a berarti tidak dan dato berarti kebendaan.[1]
Hukum adat, menurut Soerjono Soekanto, adalah adat-adat atau kompleks adat istiadat yang kebanyakan tidak tertulis, bersifat memaksa dan memiliki sanksi-sanksi hukum, sehingga penerapannya mempunyai sanksi hukum.
Sedangkan Moh. Koesnoe berpendapat bahwa hukum adat adalah hukum yang lahir langsung dari kebutuhan hukum dan perasaan hukum rakyat Indonesia serta merupakan hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan RI.[2]
Definisi yang ditawarkan oleh masyarkat Indonesia secara umum. karena adat pada esensinya dipahami sebagai sebuah norma yang mengikat dan dipelihara dalam masyarakat dalam rangka kepentingan mereka untuk mengatur kehidupan harian masyarakat, maka ia dengan demikian adalah hukum itu sendiri.[3]
Adat kebiasaan merupakan hukum rakyat dan dipatuhi demi tertibnya pergaulan masyarakat. hukum rakyat itu tidak dibuat (by design), tetapi lahir, tumbuh, dan berkembang dari suatu masyarakat seerhana yang tercermin pada setiap tingkag laku individu-individu (law is from its social) ke masyarakat komlpeks, yang kesadaran hukum tampak pada ucapan-ucapan para ahli hukumnya, sedangkan negara mawa tata berarti negara sebagai pemerintah pusat dan hukum negara sebagai tata aturan hasil eksekutif dan legislatif yang harus dipatuhi demi tertib hukum dan tertib kehidupan bernegara.[4]
II. TEORI YANG BERKEMBANG PADA MASA PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA TENTANG HUKUM ADAT
1. Teori Receptio In Complexu
Teori Receptio In Complexu dipelopori oleh Prof. Mr. Lodewijk Willem Christiaan Van den Berg (1845-1927). Tampaknya ajaran Van den Berg ini merupakan kesimpulan dari penelitian-penelitian mengenai hukum Islam di Indonesia. Terbukti pada tahun 1884 dia telah mampu menerbitkan bukunya mengenai asas-asas hukum Islam (Mohammedaanche Rect) menurut ajatan Hanafi dan Syafi’i. dan, pada tahun 1892 ia meluncurkan buku tentang hukum famili dan hukum waris Islam di jawa dan Madura dengan beberapa penyimpangannya dalam praktik. selain itu, ia juga sempat menerjemahkan kitab Fath al-Qarib dan Minhaj ath-Thalibin ke dalam bahasa Prabcis.[5]
Peresmian Pengadilan Agama di Jawa-Madura pada tahun 1882 terjadi ketika berkembang pendapat dikalangan Belanda bahwa hukum yang berlaku bagi orang-orang Indonesia asli adalah undang-undang agama mereka, yakni hukum Islam. Menganut teori yang sangat terkenal, Receptio in Complexu, yang sejak tahun 1855 telah memperoleh landasan perundang-undangan Hindia-Belanda melalui pasal 75, 78, dan 109 tahun 1854 (Stbl. 2855 No. 2). Sementara itu, sejak tahun 1838, dikalangan pemerintah Belanda sendiri muncul keinginan untuk memberlakukan kodifikasi hukum perdata berdasarkan asas kondordasi di Hindia Belanda.[6]
Akan tetapi, dalam rangka pelaksanaan hukum barat (Eropa) itu,Mr. Scholten Van Oud Haarlem yang menjadi ketua Komisi Penyesuaian Undang undang Belanda dengan Keadaan Istimewa di Hindia-Belanda, membuat sebuah nota kepada pemerintahnya: “ Untuk mencegah timbulnya keadaan yang tidak menyenangkan, mungkin juga perlawanan, jika diadakan pelanggaran terhadap agama orang bumiputera, maka harus diikhtiarkan sedapat-dapatnya agar mereka itu dapat tinggal tetap dalam lingkungan (hukum) agama serta adat istiadat mereka.” Pendapat itu sejalan dengan Lodewijk Willem Chrisrian Van Den Berg Bahwa hukum mengikuti agama yang dianut seseorang. Jika orang itu beragama islam, hukum islamlah yang berlaku baginya. menurut Van Den Berg, orang islam Indonesia telah melakukan resepsi hukum islam dalam keseluruhannya dan sebagai kesatuan.
2. Teori Resepsi
Setelah teori Receptio in Complecu ada perubahan sikap para pembuat dan penentu kebijakan hukum dan penjajahan di Belanda terhadap tanah jajahannya, dalam hal ini mengenai hukum perdata/hukum keluarga. Perubahan sikap itu antara lain dianjurkan oleh Cornelis Van Vollenhoven (1874-1933) yang mulai mengkritik dan menyerang pasal 75 dan 09 RR Stbl. 1855, tentang Receptio in Complexu itu. Vallenhoven sesungguhnya ahli hukum adat. dialah yang memperkenalkan Het Indische Adatrect, hukum Adat Indonesia. Di kalangan Islam, Hurgronje dikenal sangat anti-Islam. Dia sangat menentang teori Recectio in Complexu dari Van Den Breg dan para ahli lain. dia memperkenalkan teori yang sama sekali lain. Menurutnya, yang sesungguhnya berlaku di Indonesia bukan hukum Islam, melainkan Hukum adat. Kedalam hukum adat itu memang masuk hukum Islam, tetapi hukum islam baru mempunyai kekuatan kalau sudah diterima sebagai hukum adat. Teori Hurgronje itu terkenal dengan nama Resepsi.
III. PERMASALAHAN ADAT SEBAGAI HUKUM
Para ahli hukum barat tampaknya enggan untuk memerima adat sebagai sebuah hukum. Mungkin ini memang disebabkan oleh perbadaan pemahaman mengenai makna hukum dalam tradisi masyarakat Barat dibanding makna tersebut dalam masyarakat Indonesia, yang kerenanya sikap mereka terhadap adat pun juga berbeda. Khususnya sejak era Pencerahan (Enlightment), ketika ide penciptaan hukum melalui proses yang mekanis dan formal menjadi begitu kuat, masyarakat Barat pada umumnya cenderung untuk melihat hukum hanya dalam dimensi legislasi dan presenden yang diturunkan dari sumber tertulis saja. Hukum dalam bentuk yang lain dihasilkan dari tradisi lisan (oral) dan tak tertulis dalam masyarakat pada umumnya kemudian dilihat sebagai sesuatu yang “bukan hukum” tetapi hanya sekedar”kebiasaan”. pandangan inilah yang tampak umum dalam literatur hukum Barat sekarang ini. Sejak awalnya, para sarjana Barat senantiasa melihat aspek hukum dari adat melalui lensa pengajaran dan definisi hukum yang diterima dalam dunia Barat. dan pandangan inilah yang saat itu mempengaruhi pemerintah kolonial belanda ketika menghadapi fenomena adat dalam masyarakat lokal.
Adat sesungguhnya dapat kita pandang sebagai suatu bentuk hukum bila dilihat dari definisi yang ditawarkan oleh masyarkat Indonesia secara umum. karena adat pada esensinya dipahami sebagai sebuah norma yang mengikat dan dipelihara dalam masyarakat dalam rangka kepentingan mereka untuk mengatur kehidupan harian masyarakat, maka ia dengan demikian adalah hukum itu sendiri. inilah dasar kita untuk mengatakan bahwa masyarakat pada kenyataannya tidak pernah memahami adat sebagai suatu entitas yang terpisah dengan hukum. setidaknya ada dua hal yang menjadi dasarnya: pertama, masyarakat memahami adat sebagai norma yang berhubungan dengan keseluruhan hidup manusia, yang berhubungan tidak hanya dalam hal hubungan antar manusia tetapi juga hubungan mereka dengan fenomena alam; dan kedua, terminologi adat digunakan untuk membedakan tradisi hukum yang asli dengan nilai-nilai hukum yang dibawa oleh agama, khususnya setelah masuknya pengaruh tradisi agama dari luar seperti ISlam dan Hindu. Kita meliahat disini sebagaimana tradisi hukum masyarakat asli, yang diturunkan dari ajaran para nenek monyang dan dipelihara dalam kehidupan masyarakay, membedakan antara terminologi “hukum” atau “hukum agama” untuk menyebut hukum yang beraasl dari ajaran agama. munculnya terminologi “hukum adat” dalam kosa kata masyarakat (Adat law dalam bahasa inggris atau adatrecht dalam bahasa Belanda sebagai mana digunakan oleh Snouck Hurgronje) dengan demikian merupakan fenomena yang baru muncul kemudian. Hal ini sejatinya sekedar produl dari kebingungan para sarjana Belanda pada waktu itu ketika melihat fenomena adat ini. Dengan menggunakan lensa pemahaman meeka tentang hukum Barat, para sarjana belanda berusaha untuk memisahkan antara adat yang sekedar suatu kebiasaan dengan adat yang merupakan manifestasi hukum; karenanya, mereka menciptakan terminologi adatrecht untuk yang terakhir, yaitu adat yang berisi aturan hukum.
Walaupun Snouck Hurgronje sendiri yang telah menciptakan terminologi adatrecht dalam kamus kata Belanda, namun dua sarjana lain, Van Vollenhoven dan Ter Haar-lah, yang kemudian mengembangkan konsep dari terminologi tersebut, yaitu sebagai terminologi untuk menyebut adat yang dapat disebut sebagai hukum. mengikuti pemahaman Barat tentang hukum sebagai suatu institusi yang mengandung suatu sanksi, van Vollenhoven menggunakan logika ini untuk menyebut adat sebagai suatu tradii hukum. Ter Haar, disisi lain, menerima adat sebagai mana yang diputuskan oleh para pemuka adat sebagai suatu institusi hukum. Tampak jelas dari dua teori ini bahwa untuk merespon pertanyaan apakah adat itu merupakan hukum, para sarjana menggunakan pendekatan positivistik Austinian yang mendefiniskan hukum sebagai “suatu aturan umum yang dikeluarkan sebagai “suatu aturan atau perintah umum yang dikeluarkan oleh seseorang penguasa dalam suatu wilayah negara merdeka untuk warga negara sendiri dan dilengkapi dengan sanksi.” [7]
Sebagaimana diketahui, pada zaman penjajahan Belanda, hukum golongan Eropa dipandang lebih tinggi daripada hukum golongan Bumiputera dan Timur Asing. (Perhatikan penundukan golongan Bumiputra dan Timur Asing kepada hukum untuk golongan Eropa tetapi tidak sebaliknya). Selain itu, hukum golongan Eropa bersifat Tertulis, sedangkan hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis. Oleh karena pasal 131 IS berpegang pada asas hukum tertulis (menurut istilah Prof. Soepomo, “menghendaki supaya hukum itu ditulis tetap dalam ordonansi”), maka kedudukan hukum adat lebih dianggap “rendah” tingakatnya dari pada hukum golongan Eropa yang tertulis.[8]
DAFTAR PUSTAKA
Amrullah Ahmad, Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Gema Insani, Jakarta, 1996.
Amrullah Ahmad, Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Gema Insani, Jakarta, 1996.
Budi Susanto, S.J, Ingatan Hikmat Indonesia Masa Kini, Hikmat Masa Lalu Rakyat, Kanisius, Yogyakarta, 2005.
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat#Terminologi.
Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara, LKiS, Yogyakarta, 2001.
Prof. Dr. Ade Saptomo,Hukum dan Kearifan Lokal, Grasindo, Jakarta, 2010.
Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia, Jakarta, IMR Press, 2012.
Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia, Jakarta, IMR Press, 2012.
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat#Terminologi, diakses pada tanggal 9 mei 2012.
[2] Budi Susanto, S.J, Ingatan Hikmat Indonesia Masa Kini, Hikmat Masa Lalu Rakyat, Kanisius, Yogyakarta, 2005, hal 86
[3] Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia, Jakarta, IMR Press, 2012, hal 8.
[4] Prof. Dr. Ade Saptomo,Hukum dan Kearifan Lokal, Grasindo, Jakarta, 2010, hal 26-27.
[5] Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara, LKiS, Yogyakarta, 2001, hal 83.
[6] Amrullah Ahmad, Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Gema Insani, Jakarta, 1996, hal 5.
[7] Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia, Jakarta, IMR Press, 2012, hal 7-9.
[8] Amrullah Ahmad, Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Gema Insani, Jakarta, 1996, hal 150.
0 komentar:
Post a Comment