Klaim korelasi yang kuat antara efek praktis dengan kebenaran bagi pandangan pragmatism menjadikan keduanya kebagai bentuk ketunggalan. Artinya, antara efek praktis dengan kebenaran tidak bisa dikristalisasikan dalam bentuk dualitas yang berdiri sendiri, tetapi dua entitas tersebut merupakan satu kesatuan;sesuatu itu benar jika memuat hasil praktis sebagai efek dan sesuatu itu memuat hasil praktis maka dikatakan sesuatu itu benar. Jadi prinsip dasar yang dipakai pragmatism dalam rangka memperoleh kejelasan pemikiran tentang suatu objek adalah mmepertimbangkan efek-efek yang dapat dipahami dari jenis praktis yang mungkin dilibatkan oleh objek tersebut. Oleh sebab itu, pemeo ini bisa dikatakan sebagai kerangka pasti sebagaimana korelasi antara efek praktis dengan kebenaran memastikan makna yang dikandung oleh sebuah konsepsi akal dengan memerhatikan efek-efek praktis yang nantinya akan memunculkan kebenaran dari konsepsi itu sendiri.
Di sisi lain, muncul dakta nihil yang akan memberikan penjelasan dari pemeo tersebut, yaitu suatu keadaan yang tidak menimbulkan efek praktis, dimana keadaan demikian sudah tentu tidak akan memunculkan makna. Dengan demikian, predikat suatu kebenaran tidak akan pernah muncul pula sebagi dasar dalam menentukan makna tindakan yang sangat berarti yang perlu diambil. Untuk memahami objek pemikiran, manusia perlu mempertimbangakan akibat praktis yang menurut akal sehat termuat dalam objek itu. Konsepsi manusia tentang akibat-akibat itu, sejauh konsepsi itu benar-benar mempunyai arti positif. Demikian pula tindakan tidak akan dapat dipahami jika manusia tidak memahami efek-efek praktis atau hasil dari tindakan itu. Prinsip dasar ini kemudian berkembang pada suatu kerangka keyakinan yang dianut oleh kalangan pragmatism. Dimana mereka meyakini kebenaran dari sebuah gagasan (ide) hanya dapat di uji lewat pengalaman pribadi individu; dan mereka yaitu manusia merupakan actor aktif dalam menciptakan lingkungannya melalui tindakan (pengalaman) mereka sendiri. Oleh sebab itu, John Dewey sangat percaya jika pengalaman manusia mempunyai integritas sebab ia menyatu dengan alam.
Dari deskripsi tersebut jelas ada beberapa varian fundamental yang secara manifes muncul mempengaruhi teori interaksionisme simbolik yang dikembangkan oleh George Herbert Mead, antara lain: pertama. Bagi pragmatis kebenaran tidak ada “diluar sana” di dunia nyata; kebenaran itu diciptakan secara aktif ketika manusia didalam dan kearah dunia; kedua, manusia akan mengingat dan mendasarkan pengetahuan mereka pada dunia ketika sesuatu tersebut terbukti bermanfaat bagi mereka; dan ketiga, manusia mendefinisikan “objek-objek” sosial dan materiil yang mereka jumpai didalam dunia menurut aspek kegunaannya bagi mereka. Tiga varian besar dari pragmatism ini sangat berpengaruh pada pembentukan pandangan dan pemahaman interaksionisme simbolik terhadap realitas sosial. Mereka memahami, pada hakikatnya realitas sosial itu tidak pernah ada didunia nyata, melainkan secara aktif “diciptakan” ketika manusia bertindak “di dan terhadap” dunia atau lingkungan sekitarnya. Sesuatu yang nyata bagi manusia tergantung pada “definisi, interpretasi (penafsiran), dan pandangan actor itu sendiri.” Jadi, manusia dalam melakukan sesuatu dalam konteks tindakan sosial berdasarkan pada pemahaman dan pengetahuannya sendiri tentang dunia atau lingkungannya, apakah sesuatu tersebut bermakna atau berguna bagi hidupnya. Artinya, manusia mendefinisikan objek fisik dan non fisik adalah berdasarkan “kegunaan dan tujauannya.”
Jadi tidak berlebihan jika ada pernyataan, akhirnya, jika kita ingin memahami para actor, kita harus mendasarkan pengertian pada apa yang benar-benar dilakukan orang di dalam dunia; finally, if we want to understand actors, we must base that understanding on what people actually do in the world. Pernyataan ini dapat ditafsairkan sebagai suatu metode untuk memahami hakikat manusia melalui tindakan sosial menusia itu sendiri yang tergambanr apda situasi mereka sendiri. John Dewey sendiri memiliki pandangan yang relative sama ketika ingin memahami manusia, ia bertolak dari situasi kehidupan manusia dimana tindakan sosial dari actor teraktualisasi. Oleh sebab itu dalam pandangan pragmatism, manusia dikatakan sebagai actor dalam realitas sosial mampu untuk menciptakan nilai bagi dirinya sendiri secara alamiah. Demikian juga dalam interaksionisme simbolik terdapat tiga poin penting sebagai bentuk penekanan pandangan, antara lain: 1). Memfokuskan pada interaksi diantara aktor dan realitas sosialnya; 2). Pandangan mengenai aktor maupun realitas sosial sebagai suatu proses dinamis dan bukan struktur-struktur statis yang tidak bisa berubah (stagnan); dan 3). Memberi ruang makna yang luas pada kemampuan aktor untuk menafsirkan realitas sosialnya.
Di sisi lain, muncul dakta nihil yang akan memberikan penjelasan dari pemeo tersebut, yaitu suatu keadaan yang tidak menimbulkan efek praktis, dimana keadaan demikian sudah tentu tidak akan memunculkan makna. Dengan demikian, predikat suatu kebenaran tidak akan pernah muncul pula sebagi dasar dalam menentukan makna tindakan yang sangat berarti yang perlu diambil. Untuk memahami objek pemikiran, manusia perlu mempertimbangakan akibat praktis yang menurut akal sehat termuat dalam objek itu. Konsepsi manusia tentang akibat-akibat itu, sejauh konsepsi itu benar-benar mempunyai arti positif. Demikian pula tindakan tidak akan dapat dipahami jika manusia tidak memahami efek-efek praktis atau hasil dari tindakan itu. Prinsip dasar ini kemudian berkembang pada suatu kerangka keyakinan yang dianut oleh kalangan pragmatism. Dimana mereka meyakini kebenaran dari sebuah gagasan (ide) hanya dapat di uji lewat pengalaman pribadi individu; dan mereka yaitu manusia merupakan actor aktif dalam menciptakan lingkungannya melalui tindakan (pengalaman) mereka sendiri. Oleh sebab itu, John Dewey sangat percaya jika pengalaman manusia mempunyai integritas sebab ia menyatu dengan alam.
Dari deskripsi tersebut jelas ada beberapa varian fundamental yang secara manifes muncul mempengaruhi teori interaksionisme simbolik yang dikembangkan oleh George Herbert Mead, antara lain: pertama. Bagi pragmatis kebenaran tidak ada “diluar sana” di dunia nyata; kebenaran itu diciptakan secara aktif ketika manusia didalam dan kearah dunia; kedua, manusia akan mengingat dan mendasarkan pengetahuan mereka pada dunia ketika sesuatu tersebut terbukti bermanfaat bagi mereka; dan ketiga, manusia mendefinisikan “objek-objek” sosial dan materiil yang mereka jumpai didalam dunia menurut aspek kegunaannya bagi mereka. Tiga varian besar dari pragmatism ini sangat berpengaruh pada pembentukan pandangan dan pemahaman interaksionisme simbolik terhadap realitas sosial. Mereka memahami, pada hakikatnya realitas sosial itu tidak pernah ada didunia nyata, melainkan secara aktif “diciptakan” ketika manusia bertindak “di dan terhadap” dunia atau lingkungan sekitarnya. Sesuatu yang nyata bagi manusia tergantung pada “definisi, interpretasi (penafsiran), dan pandangan actor itu sendiri.” Jadi, manusia dalam melakukan sesuatu dalam konteks tindakan sosial berdasarkan pada pemahaman dan pengetahuannya sendiri tentang dunia atau lingkungannya, apakah sesuatu tersebut bermakna atau berguna bagi hidupnya. Artinya, manusia mendefinisikan objek fisik dan non fisik adalah berdasarkan “kegunaan dan tujauannya.”
Jadi tidak berlebihan jika ada pernyataan, akhirnya, jika kita ingin memahami para actor, kita harus mendasarkan pengertian pada apa yang benar-benar dilakukan orang di dalam dunia; finally, if we want to understand actors, we must base that understanding on what people actually do in the world. Pernyataan ini dapat ditafsairkan sebagai suatu metode untuk memahami hakikat manusia melalui tindakan sosial menusia itu sendiri yang tergambanr apda situasi mereka sendiri. John Dewey sendiri memiliki pandangan yang relative sama ketika ingin memahami manusia, ia bertolak dari situasi kehidupan manusia dimana tindakan sosial dari actor teraktualisasi. Oleh sebab itu dalam pandangan pragmatism, manusia dikatakan sebagai actor dalam realitas sosial mampu untuk menciptakan nilai bagi dirinya sendiri secara alamiah. Demikian juga dalam interaksionisme simbolik terdapat tiga poin penting sebagai bentuk penekanan pandangan, antara lain: 1). Memfokuskan pada interaksi diantara aktor dan realitas sosialnya; 2). Pandangan mengenai aktor maupun realitas sosial sebagai suatu proses dinamis dan bukan struktur-struktur statis yang tidak bisa berubah (stagnan); dan 3). Memberi ruang makna yang luas pada kemampuan aktor untuk menafsirkan realitas sosialnya.
0 komentar:
Post a Comment