Sosialisasi politik merupakan proses yang mentransmisikan dan mewariskan nilai-nilai politik dari generasi ke generasi. Gabriel A. Almond dan G Bingham Powel, misalnya, mengartikan sosialisasi politik sebagai “the process by which political cultures are formed, maintained, and changed”. Dengan demikian, batasan ini lebih menekankan pada fungsi sosialisasi politik sebagai pembentuk dan penerus budaya politik suatu masyarakat.[1]
Menurut Harold Crouch dalam sebuah tulisan yang dimuat dalam jurnal Word Politics (1979), format politik Indonesia menyimpan elemen neo-patrimonialisme. Term “patrimonialisme” itu sendiri berasal dari Weber untuk mengistilahkan bentuk organisasi social yang belum mencapai karakter birokrasi modern yang impersonal dan rasional. Sedangkan term “neo” menunjuk pada perkembangan baru suatu organisasi social yang sudah menggunakan berbagai sarana modern namun masih mempunyai karakter patrimonialisme. Dalam neo-patrimonialisme, stabilitas system terjaga bukan karena system ini rasional, efisien dan adil, melainkan karena kemampuan sang pemimpin untuk merekatkan berbagai kelompok kepentingan di sekitarnya. Loyalitas berbagai kekuatan politik cukup kuat karena distribusi pemenuhan kepentingan berbagai kelompok kepentingan itu terselenggara dengan baik. Berbagai Negara neo-patrimonialisme di Dunia Ketiga selalu ditandai oleh personalism, yaitu besarnya peran dan kewibawaan pemimpin untuk mendistribusikan benefit dalam rangka mendapatkan loyalitas politik.[2]
Budaya politik patrimonial yang masih menjadi kerak dalam tubuh system demokrasi di Indonesia sangat erat kaitannya dengan proses sosialisasi politik yang berlangsung di Indonesia. Nusantara sebelum dan pada masa penjajahan Hindia Belanda memiliki budaya patrimonial yang sangat kuat dengan eksistensi kerajaan-kerajaan di Nusantara pada waktu itu, baik kerajaan Hindu-Budha maupun Islam. Latar belakang sejarah yang sangat kental dengan nuansa patrimonial berkembang melalui proses sosialisasi politik. Demokrasi pada saat ini di Indonesia merupakan system politik yang terbentuk dan berkembang melalui proses sosialisasi politik. Dimana kekuatan-kekuatan modernitas (yang bersifat ‘pragmatis’, ‘sekuler’, ‘rasional’, ‘dan ‘legal) bersaing dengan kekuatan yang merepresentasikan sisa-sisa budaya Jawa Kuno yang kharismatik dan patrimonial (Robinson, 1986, hlm viii).[3]
[1] Suleman Zulfikri, Demokrasi Untuk Indonesia: Pemikiran Politik Bung Hatta, cet. Ke-1 (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), hlm 20.
[2] J.A Denny, Catatan Politik, cet. Ke-1 (Yogyakarta: LKiS, 2006), hlm 4.
[3] Philpott Simon, Meruntuhkan Indonesia: Poliyik Postkolonial dan Otoritarianisme, cet. Ke-1 (Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm 115.
0 komentar:
Post a Comment