Artinya, tindakan aktor dalam realitas sosial menjadi titik sentral yang mampu mengembangkan rangkaian sejarah kemanusiaan mereka atau mampu untuk merekonstruksi realitas sosial mereka sendiri. William James sendiri mengakui posisi sentral manusia dalam konstruksi tindakan sosial mereka terutama di realitas sosial-keagamaan mereka; ia dalam konteks keberagaaman menyatakan, secara umum, sikap moral dan praktis manusia pada suatu waktu tertentu merupakan resultan dari dua kelompok kekuatan didalam diri manusia, yaitu dorongan hati yang membawa manusia kesuatu arah serta halangan dan mengekangan yang menahan manusia. Dalam diri aktor terdapat proses pemilihan sikap yang akan muncul dalam bentuk tindakan sosial mereka nantinya, fakta ini jamak dikenal dengan bentuk pemikiran. Dalam pandangan pragmatis, berfikir dan berbuat merupakan satu kesatuan yang dimunculkan aktor dari suatu proses penafsiran terhadap realitas sosial mereka.
Pandangan tersebut yang paling substantive dalam interaksionisme simbolik dan ia banyak mendominasi konstruksi teoritis dalam karya pragmatis-filosofis John Dewey. John Dewey dalam memahami pikiran tidak dipancangkan pada tatanan suatu benda atau suatu struktur, tetapi lebih tepatnya sebagai suatu proses berfikir yang melibatkan serangkaian tahap. Tahap-tahap itu mencakup beberapa hal, antara lain: pendefisian objek-objek di dunia sosial, menguraikan cara-cara berperilaku, membayangkan efek-efek rangkaian tindakan alternative, melenyapkan kemungkinan-kemungkinan yang mustahil, dan akhirnya memilih cara bertindak yang optimal. Secara detailistik K. J. Veeger mendeskripsikan alur pandangan John Dewey: ia menyatakan kalau John Dewey tidak memahami pikiran manusia sebagai pencermina dunia luar, melainkan sebagai hasil aktivitas manusia sendiri. Manusia terlibat aktif dalam proses pengenalan! Ia menghadapkan kesadaran pada hal-hal yang diluar dirinya. Ia memasalahkan hal-hal dan benda-benda itu. Ia bertanya-tanya apa arti mereka? Bagaimana memahami mereka? Apa yang harus dibuat sehubungan dengan mereka? Sebelum ia menentukan sikapnya dan perbuatannya terhadap mereka, ia timbang menimbang, menilai, dan akhirnya memilih di antara pelbagai kemungkinan bertindak. Dalam proses aktif ini, pikiran manusia tidak hanya berperan menjadi instrument atau sarana untuk bertindak, tetapi menjadi bagian dari sikap kelakuan manusia.
Fokus pada proses berfikir yang demikian tersebut berpengaruh cukup signifikan terhadap pengembangan anatomi teori interaksionisme simbolik. Hal ini pun sangat diakui George Herbert Mead, kalai dirinya dipengaruhi oleh rekan dan sahabatnya tersebut (John Dewey). Akan tetapi faktualnya, David Lewis dan Richard Smith mengajukan suatu tesis bahwa John Dewey bersama William James lebih berpengaruh didalam perkembangan interaksionisme simbolik dari pada George Herbert Mead sendiri. Lebih lanjut, ia juga menyatakan kalau karya George Herbert Mead awalnya merupakan pelengkap bagi arus utama sosiologi Chicago. Tesis ini memang mengandung sisi “kebenaran” dari aspek akar teoritis, dimana ada beberapa fakta substantive yang diadopsi dari pragmatism seperti yang telah dibahas pada sub bab ini juga kalau ada beberapa pendangan pragmatism yang terlibat jelas dalam interaksionisme simbolik dan dikembangkan oleh interaksionisme simbolik sendiri. Hal ini (ilmuwan) berikutnya, salah satu contohnya adalah pandangan filsafat Cartesian (pikiran merupakan suatu yang natural, maka ia merupakan fenomena biologis sekaligus sosiologis) yang dipertahankan pula oleh George Herbert Mead.
Terlepas dari hal tersebut, dalam mengajukan tesis tersebut, David Lewis dan Richard Smith mencoba untuk membedakan dua cabang pragmatism, yakni realism filosofis (yang diasosiasikan kepada William James dan John Dewey). Dalam pandangan mereka, interaksionisme simbolik dipengaruhi lebih dominative oleh pendekatan nominalis, sedangkan pendekatan realism filosofis sendiri tidak konsisten. Pendirian para nominalis adalah bahwa meskipun ada fenomena makro, ia tidak mempunyai “efek-efek independen, menentukan sedasaran dan perilaku individu.” secara lebih positif, pandangan tersebut “memahami diri sendiri sebagai para agen yang bebas menerima, menolak, memodifikasi atau sebaliknnya “mendefinisikan” norma masyarakat, peran, kepercayaan, dan sebagainya, menurut kepentingan pribadinya sendiri maupun rencana-rencana pada saat itu.” kontrasnya, bagi realis sosial penekanannya pada amsyarakat dan bagaimana masyarakat mendasari dan mengendalikan proses mental individu. Dari pada menjadi agen yang bebas, para aktor dan perilaku, serta pengamatan mereka dikendalikan oleh masyarakat yang lebih besar.
Dari deskripsi tersebut jelas perbedaan yang sangat mendasar antara realisme filosofis dengan pragmatis nominalis dalam melihat kebebasan individu sebagai aktor utama. Pandangan ini memiliki implikasi yang luar biasa bagi konstruksi terori dari masing-masing cabang pragmatisme tersebut terutama dalam susunan teori interaksionisme simbolik. Mengapa hal ini bisa terjadi? Pertanyaan ini wajar untuk dimunculkan, sebab tatkala melihat objek kajian interaksionisme simbolik yang menekankan pada relasi antara simbol dan interaksi, sehingga inti dari penekanan ini adalah individu itu sendiri. Maka sudut pandanag perlakuan terhadap individu sebagai aktor akan sangat mempengaruhi teori yang akan dilahirkannya. Dengan demikian, adanya perbedaan tersebut terlebih dengan melihat pandangan dasar serta teori yang dihasilkannya, posisional George Herbert Mead lebih dimasukkan kedalam cabang realisme filosofis yang tidak mempunyai korelasi kuat dengan pragmatis nominalis yang diambil oleh interaksionis simbolik. Figur utama dalam pengembangan pragmatis nominalis adalah Herbert Blumer, ia mengklaim dirinya bekerja dengan pendekatan Meadilan, walaupun dalam realitasnya ia sangat nominalis oleh sebab itu, ada kalangannya yang menyatakan, Blumer... Moved completely toward psychical interactionism... Unlike the Meadian social behaviourist, the psychical interactionist holds that the meanings of symbols are not universal and objective: rather meanings are individual and subjective in that they are “attached‘ to the symbols by receiver according to however he or she chooses to “interpret” them.
Pandangan tersebut yang paling substantive dalam interaksionisme simbolik dan ia banyak mendominasi konstruksi teoritis dalam karya pragmatis-filosofis John Dewey. John Dewey dalam memahami pikiran tidak dipancangkan pada tatanan suatu benda atau suatu struktur, tetapi lebih tepatnya sebagai suatu proses berfikir yang melibatkan serangkaian tahap. Tahap-tahap itu mencakup beberapa hal, antara lain: pendefisian objek-objek di dunia sosial, menguraikan cara-cara berperilaku, membayangkan efek-efek rangkaian tindakan alternative, melenyapkan kemungkinan-kemungkinan yang mustahil, dan akhirnya memilih cara bertindak yang optimal. Secara detailistik K. J. Veeger mendeskripsikan alur pandangan John Dewey: ia menyatakan kalau John Dewey tidak memahami pikiran manusia sebagai pencermina dunia luar, melainkan sebagai hasil aktivitas manusia sendiri. Manusia terlibat aktif dalam proses pengenalan! Ia menghadapkan kesadaran pada hal-hal yang diluar dirinya. Ia memasalahkan hal-hal dan benda-benda itu. Ia bertanya-tanya apa arti mereka? Bagaimana memahami mereka? Apa yang harus dibuat sehubungan dengan mereka? Sebelum ia menentukan sikapnya dan perbuatannya terhadap mereka, ia timbang menimbang, menilai, dan akhirnya memilih di antara pelbagai kemungkinan bertindak. Dalam proses aktif ini, pikiran manusia tidak hanya berperan menjadi instrument atau sarana untuk bertindak, tetapi menjadi bagian dari sikap kelakuan manusia.
Fokus pada proses berfikir yang demikian tersebut berpengaruh cukup signifikan terhadap pengembangan anatomi teori interaksionisme simbolik. Hal ini pun sangat diakui George Herbert Mead, kalai dirinya dipengaruhi oleh rekan dan sahabatnya tersebut (John Dewey). Akan tetapi faktualnya, David Lewis dan Richard Smith mengajukan suatu tesis bahwa John Dewey bersama William James lebih berpengaruh didalam perkembangan interaksionisme simbolik dari pada George Herbert Mead sendiri. Lebih lanjut, ia juga menyatakan kalau karya George Herbert Mead awalnya merupakan pelengkap bagi arus utama sosiologi Chicago. Tesis ini memang mengandung sisi “kebenaran” dari aspek akar teoritis, dimana ada beberapa fakta substantive yang diadopsi dari pragmatism seperti yang telah dibahas pada sub bab ini juga kalau ada beberapa pendangan pragmatism yang terlibat jelas dalam interaksionisme simbolik dan dikembangkan oleh interaksionisme simbolik sendiri. Hal ini (ilmuwan) berikutnya, salah satu contohnya adalah pandangan filsafat Cartesian (pikiran merupakan suatu yang natural, maka ia merupakan fenomena biologis sekaligus sosiologis) yang dipertahankan pula oleh George Herbert Mead.
Terlepas dari hal tersebut, dalam mengajukan tesis tersebut, David Lewis dan Richard Smith mencoba untuk membedakan dua cabang pragmatism, yakni realism filosofis (yang diasosiasikan kepada William James dan John Dewey). Dalam pandangan mereka, interaksionisme simbolik dipengaruhi lebih dominative oleh pendekatan nominalis, sedangkan pendekatan realism filosofis sendiri tidak konsisten. Pendirian para nominalis adalah bahwa meskipun ada fenomena makro, ia tidak mempunyai “efek-efek independen, menentukan sedasaran dan perilaku individu.” secara lebih positif, pandangan tersebut “memahami diri sendiri sebagai para agen yang bebas menerima, menolak, memodifikasi atau sebaliknnya “mendefinisikan” norma masyarakat, peran, kepercayaan, dan sebagainya, menurut kepentingan pribadinya sendiri maupun rencana-rencana pada saat itu.” kontrasnya, bagi realis sosial penekanannya pada amsyarakat dan bagaimana masyarakat mendasari dan mengendalikan proses mental individu. Dari pada menjadi agen yang bebas, para aktor dan perilaku, serta pengamatan mereka dikendalikan oleh masyarakat yang lebih besar.
Dari deskripsi tersebut jelas perbedaan yang sangat mendasar antara realisme filosofis dengan pragmatis nominalis dalam melihat kebebasan individu sebagai aktor utama. Pandangan ini memiliki implikasi yang luar biasa bagi konstruksi terori dari masing-masing cabang pragmatisme tersebut terutama dalam susunan teori interaksionisme simbolik. Mengapa hal ini bisa terjadi? Pertanyaan ini wajar untuk dimunculkan, sebab tatkala melihat objek kajian interaksionisme simbolik yang menekankan pada relasi antara simbol dan interaksi, sehingga inti dari penekanan ini adalah individu itu sendiri. Maka sudut pandanag perlakuan terhadap individu sebagai aktor akan sangat mempengaruhi teori yang akan dilahirkannya. Dengan demikian, adanya perbedaan tersebut terlebih dengan melihat pandangan dasar serta teori yang dihasilkannya, posisional George Herbert Mead lebih dimasukkan kedalam cabang realisme filosofis yang tidak mempunyai korelasi kuat dengan pragmatis nominalis yang diambil oleh interaksionis simbolik. Figur utama dalam pengembangan pragmatis nominalis adalah Herbert Blumer, ia mengklaim dirinya bekerja dengan pendekatan Meadilan, walaupun dalam realitasnya ia sangat nominalis oleh sebab itu, ada kalangannya yang menyatakan, Blumer... Moved completely toward psychical interactionism... Unlike the Meadian social behaviourist, the psychical interactionist holds that the meanings of symbols are not universal and objective: rather meanings are individual and subjective in that they are “attached‘ to the symbols by receiver according to however he or she chooses to “interpret” them.
Bagian pertama
Bagian kedua
Bagian terakhir
0 komentar:
Post a Comment